Berkomunikasi yang Berbudaya

Artikel Selasa 19 Maret 2013

Oleh : Bonaventura Satya Bharata, SIP, M.Si.

Bulan Maret 2013 dunia internasional diwarnai dua peristiwa penting. Pertama, meninggalnya Presiden Venezuela, Hugo Chavez (58 tahun) yang berkuasa hampir 15 tahun lamanya. Kedua, terpilihnya Kardinal Argentina, Jorge Mario Borgoglio  (76) sebagai Paus baru (Paus Fransiskus I) menggantikan  Paus Benedictus XVI yang mengundurkan diri karena faktor usia. Paus merupakan pemimpin tertinggi umat  Katolik di seluruh dunia. Dalam tradisi Gereja Katolik Roma,  Paus memiliki peran sentral karena dipercaya sebagai Wakil Tuhan di dunia.

Ada yang unik dari kedua sosok ini, Presiden Hugo Chavez dan Paus. Semasa hidupnya, dunia internasional mengenal Presiden Hugo Chavez sebagai tokoh yang sangat anti kapitalisme Amerika. Persahabatannya dengan tokoh-tokoh anti Amerika seperti Presiden Iran (Mahmoud Ahmadinejad), Presiden Kuba (Fidel Castro), dan Presiden Bolivia (Evo Morales),  membuat pemerintah Amerika Serikat gerah. Kebijakannya pun juga nyata-nyata menentang imperialisme dan neo-liberalisme. Tindakan fenomenalnya adalah  menasionalisasi industri minyak dan gas bumi di negaranya. Langkah kontroversial ini  memicu kemarahan investor asing (baca: Barat), yang di masa sebelumnya mendominasi kepemilikan sektor industri tersebut di Venezuela.

Hugo Chavez juga pernah memberikan kritik keras kepada beberapa lembaga penyiaran televisi swasta yang ikut andil dalam penggulingan kekuasaan tahun 2001. Kritik keras ini dilontarkan sehubungan dengan konspirasi antara para pemilik televisi swasta dengan para pengusaha besar Venezuela yang merasa terganggu kebijakan Hugo Chavez yang lebih mendahulukan kepentingan masyarakat kebanyakan dibandingkan kepentingan para pengusaha. Tidaklah mengherankan, sikap dan tindakan Hugo Chavez  menempatkan dirinya sebagai salah satu pemimpin dunia yang memiliki jiwa sosialis dan menjadi musuh utama kapitalisme.

Sedangkan Paus sebagai pemimpin Gereja Katolik yang berpusat di Tahta Suci Vatican, selain menjadi pemimpin rohani umat Katolik sedunia, merupakan sosok yang sangat concern pada isu-isu internasional. Isu ini adalah konflik dan perdamaian, peredaran narkoba, permasalahan perempuan dan reproduksi, serta perkembangan generasi muda. Semua concern dan perhatian Paus tersebut tertuang dalam Surat Gembala yang diedarkan secara tertulis dan kemudian diterjemahkan ke semua jaringan Gereja Katolik di seluruh dunia pada perayaan-perayaan tertentu. Dengan demikian umat Katolik di seluruh dunia dengan mudah memahami pandangan Gereja Katolik terhadap isu-isu tertentu yang sedang hangat dibicarakan.

Salah satu isu yang akhir-akhir ini mendapatkan perhatian khusus Paus adalah masalah perkembagan teknologi komunikasi dan informasi. Ketika memperingati Hari Komunikasi Sosial Sedunia ke 45 tahun 2011, Paus Benedictus XVI bahkan secara khusus memberikan pendapatnya melihat perkembangan yang sangat cepat dan luar biasa dari teknologi komunikasi dan informasi. Paus menyatakan teknologi komunikasi dan informasi baru tidak hanya mengubah cara kita berkomunikasi melainkan juga mempengaruhi komunikasi  sehingga orang menegaskan bahwa kita hidup dalam suatu periode transformasi budaya yang besar.

Lalu apa relevansinya kita ketika dengan sikap Hugo Chavez yang anti kapitalisme Amerika dan  sikap Paus pada perkembangan teknologi komunikasi dan informasi? Tidak dapat dipungkiri,  perkembangan pesat teknologi komunikasi dan informasi tidak lepas dari perkembangan ekonomi pasar (kapitalisme). Teknologi komunikasi dan informasi merupakan salah satu infrastruktur yang diperlukan untuk melakukan ekspansi ekonomi atau pengembangan modal yang bersifat trans-nasional.

Vincent Mosco (1996), pemikir kritis ekonomi-politik yang mengenalkan konsep spasialisasi, meyakini bahwa pertumbuhan kapital  secara signifikan mendorong perkembangan teknologi komunikasi dan informasi (juga transportasi). Pengembangan teknologi ini dimaksudkan untuk mengecilkan faktor ruang dan waktu agar  menggerakkan barang, orang, dan pesan-pesan hingga mampu melampaui batas-batas geografis. Bila dahulu orang sulit melakukan pengiriman uang dari satu daerah ke daerah lain bahkan antar negara, maka dengan bantuan teknologi komunikasi dan informasi sekarang di bidang perbankan, hal tersebut menjadi sangat mudah dan praktis untuk dilakukan.

Tidak mengherankan bila perusahaan korporasi internasional  berupaya mengembangkan teknologi komunikasi dan informasi ini. Untuk perangkat software komputer misalnya, kita mengenal sosok Bill Gates dari Microsoft dan Steve Job dari Apple. Sedangkan untuk perangkat hardware komputer, bila dahulu Personal Computer (PC) sangat populer, namun sekarang produk notebook dan bahkan ultrabook lebih mendominasi. Beragam merek perusahaan korporasi internasional pun bersaing keras, mulai dari Hewlett Packard, Samsung, Lenovo, Acer, Vaio Sony, Asus. Belum lagi perangkat telekomunikasi seluler, kita mengenal produk-produk dari Nokia, Samsung, Sony, I-Phone,dan Blackberry. Sedangkan untuk perangkat operasinya kita mengenal produk-produk  Symbian untuk Nokia, iOS untuk I-Phone (Apple) dan OS untuk Blackberry serta Android yang diupayakan oleh perusahan internet raksasa Google.

Perkembangan pesat teknologi komunikasi dan informasi merasuk sedemikian rupa dalam kehidupan sosial umat manusia, tak terkecuali pada masyarakat Indonesia. Tidak hanya untuk keperluan bisnis semata, namun juga keperluan personal umat manusia. Menjadi jamak  ketika kita melihat pelajar SD terbiasa membawa handphone dari produk bermerek terkenal, pelajar SMA atau mahasiswa membawa komputer jinjing atau bahkan juga tablet. Tidak mau ketinggalan, pedagang sayur keliling pun juga memiliki handphone untuk memudahkan layanan pelanggannya. Bahkan boleh percaya boleh tidak, penulis pernah pula menjumpai komunitas pengemis jalanan di Yogyakarta yang juga menggunakan handphone untuk memudahkan komunikasi antar mereka. Ini semua tentu tidak terbayangkan pada 10 hingga 20 tahun yang lalu.

Namun penetrasi yang sangat luar biasa dari perkembangan teknologi komunikasi dan informasi tersebut tidak jarang diiringi  perilaku yang tidak diharapkan. Sering kita melihat pengendara mobil atau motor ber-SMS ria saat berkendara di lalu lintas yang ramai. Kita sering pula melihat semacam rambu untuk tidak mengoperasikan telepon seluler (gambar handphone disilang) selama prosesi ibadah berlangsung dipasang di rumah-rumah ibadah. Kita menyaksikan pula melalui layar kaca, anggota parlemen   justru asyik dengan handphone di genggaman tangan dibandingkan serius menyimak rapat pleno. Sebagai seorang pengajar, penulis juga sering menemukan mahasiswa tengah asyik ber-surfing via tablet di tengah-tengah  berlangsungnya jam kuliah. Bahkan mungkin tidak jarang pula kita lebih memilih untuk ber-chatting via internet dengan teman sekerja walau sebenarnya secara fisik, ruangan kita hanya dipisah oleh sekat pembatas meja dengan rekan tersebut. Aneh memang, namun terjadi nyata di masyarakat kita.

Munculnya perilaku-perilaku seperti ini sebenarnya merupakan wujud ketidakpahaman masyarakat terhadap apa dan bagaimana sebenarnya teknologi. Arnold Pacey (1993) menyatakan,  teknologi sebaiknya dipahami tidak hanya sebagai sebuah alat semata, yang lepas dari konteks budaya mengapa sebuah teknologi tersebut dilahirkan. Maka bila kita  mengadopsi teknologi, baiknya kita tidak hanya memperlakukan sebagai alat bantu saja. Akan lebih bijaksana bila kita juga berupaya memahami dahulu konteks budaya  yang mengiringi eksistensi teknologi tersebut. Konteks budaya ini meliputi tujuan, nilai, dan aspek-aspek etika dalam menggunakan teknologi.  Artinya aspek-aspek tersebut lahir bersama dan tidak dapat dipisahkan dengan hadirnya teknologi.

Dengan demikian ketika kita menggunakan sebuah produk teknologi,  produk ini tidak hanya jatuh sebagai perangkat teknis semata yang membantu kita  memecahkan persoalan, namun diiringi dengan sebuah kesadaran bahwa kita mampu menggunakannya dalam situasi dan kondisi yang tepat. Dengan pernyataan lain, manusialah yang mengendalikan teknologi karena manusia yang menciptakan tekologi. Bukan sebaliknya teknologi yang mengendalikan manusia.

Bila masyarakat Indonesia menyadari hal ini, tidak perlu lagi kita melihat perilaku aneh masyarakat dalam berteknologi seperti yang telah penulis sampaikan di atas. Dengan bersikap mawas diri dalam berteknologi, kita tidak akan mudah dijebak oleh para pengusaha (baca: kapitalis) industri teknologi komunikasi dan informasi yang sangat aktif merayu kita untuk selalu merogoh kocek lebih dalam guna memenuhi ambisi berkomunikasi. Sebuah sikap yang sama yang ditunjukkan  Presiden Venezuela Hugo Chavez  yang selalu waspada berhadapan dengan Amerika Serikat, simbol kapitalisme dunia.

Di sisi lain, seperti yang diharapkan Paus, kitapun selalu tetap memelihara jalinan komunikasi yang nyata (bukan yang virtual) dengan umat manusia lain tanpa selalu mengandalkan perantaraan teknologi.  Hal ini dilakukan agar kita selalu menjaga sisi humanisme  berhadapan dengan orang lain. Bila semua ini berlangsung, tentu kehidupan masyarakat kita jauh akan lebih baik dengan hadirnya teknologi.

*Bonaventura Satya Bharata, SIP, M.Si., dosen Ilmu Komunikasi FISIP-Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Search

Pengumuman