Bernas Jogja, Rabu, 13 Maret 2013
Oleh Ike Devi Sulistyaningtyas, M.Si
“Eksis banget lu” begitulah kata-kata yang diungkapkan Managing Director BlackBerry South Asia dengan logat Inggris dalam acara peluncuran salah satu produk terbarunya (4/3/2013) di Jakarta. Seorang managing director yang notabene bukan orang Indonesia berusaha menirukan tweet (kicauan berupa status atau komentar) di twitter dengan bahasa slank ala Jakarta. Kicauan yang diadopsi dari twitter merupakan bentuk apresiasi yang diberikan pada brand yang diusungnya. Pengutipan kata itu dilakukannya karena Jakarta dianggap sebagai penduduk kota yang paling sering menulis tweet dibanding seluruh kota lain di dunia. Demikian menurut hasil riset yang dilakukan penghasil ponsel Blackberry ini.
Dalam kasus lain, perusahaan penerbangan ternama KLM juga menggunakan media sosial untuk memberikan kejutan dan apresiasi kepada para pelanggan pengguna jasanya. Tweet pengguna menjadi rujukan di mana dan menuju ke mana para pelanggan akan bepergian, sehingga setiba di tempat tujuan, tim pemberi kejutan KLM segera menemui dan memberikan hadiah sesuai dengan kebutuhan pelanggan berdasarkan kondisi yang dituangkan dalam tweetnya.
Selain kedua kasus tersebut, masih banyak lagi cerita sukses dalam dunia bisnis yang menggunakan media sosial. Tidak ketinggalan para selebriti turut serta memanfaatkan media sosial demi popularitas dan upaya menjadikan dirinya sebagai duta produk (brand ambassador). Seorang selebriti berhasil menjerat massa sebagai pengikut (follower) dengan jumlah fantastis hingga ratusan ribu. Pada jumlah itulah letak daya pikat yang membuat brand tertarik memanfaatkannya sebagai duta produk. Bahkan seorang Barack Obama, Presiden Amerika Serikat terpilih, sangat kondang dengan strategi media sosialnya untuk menjaring massa sebelum tiba masa pemilihan, hingga berujung pada kemenangannya.
Daya Bidik Pengikut
Berbasis pada kasus-kasus dunia bisnis dan relasinya dengan media sosial, dapat dikatakan bahwa para pelaku bisnis telah mendapatkan daya dukung dari follower setia perusahaan atau produknya. Dalam pendekatan public relations, pesan-pesan yang telah disebarkan para follower dalam media sosial, memberikan daya bidik bagi pencitraan perusahaan ataupun produk yang dihasilkan. Nama perusahaan ataupun produk yang menjadi bahan pembicaraan (buzzing), dapat memperoleh efek positif sekaligus menggerakkan stakeholder untuk turut memberikan komentar. Para follower dalam media sosial sejatinya adalah titik tembak dari bidikan yang dilontarkan oleh penggagas pesan. Maka kelak follower dapat berperan sebagai pihak ketiga (third party endorsement) yang akan menyampaikan pesan kepada pihak lain, sehingga pesan lebih cepat menyebar dan jangkauannya pun semakin meluas.
Daya bidik media sosial bagi perusahaan maupun brand, mampu menurunkan biaya kampanye yang biasanya dilakukan secara konvensional. Media sosial membentuk pola komunikasi yang menjanjikan adanya interaksi lebih intensif antara perusahaan dan follower. Dalam media sosial follower bebas mengekspresikan apa saja yang ingin diungkapkan. Ruang media sosial sepenuhnya dikendalikan para follower, itulah sebabnya kedekatan dapat terwujud, sebab tidak lagi berjarak dengan interaksi timbal balik untuk memenuhi kebutuhan follower.
Dengan demikian hal penting dari media sosial adalah proses interaksi. Kehadiran media sosial mampu menghilangkan batas ruang dan waktu, yang selama ini menjadi pembatas berinteraksi bagi mereka yang berada pada tempat yang berjauhan. Dengan kondisi tersebut, telah lahir global vilage. Istilah global village merupakan kondisi yang menganalogikan dunia sebagai sebuah desa yang besar di mana jarak sudah tidak lagi menjadi masalah dalam komunikasi. Dengan kata lain dunia sudah tidak lagi bulat tetapi flat, karena dianggap semua individu bisa berada pada waktu yang sama untuk melakukan interaksi secara bersamaan.
Nilai dalam Pemanfaatan Media Sosial
Bagi perkembangan komunikasi antara perusahaan dan follower, media sosial bahkan memungkinkan peningkatan nilai (value) pelakunya, dengan menggunakan prinsip membangun relasi antara perusahaan dengan follower. Nilai yang dimaksudkan di sini adalah bagaimana setelah jalinan kedua belah pihak pelaku media sosial terwujud, terdapat dampak positif yang tidak hanya berimbas pada satu pihak saja, namun juga merambah pada cakupan yang lebih luas.
Artinya terdapat proses menyemai (seeding) agar embrio pesan dari apa yang telah disebarluaskan perusahaan dalam media sosial dapat tumbuh dan berkembang. Pada tataran selanjutnya, akan dirasakan efek domino oleh seluruh pengakses media sosial. Pola komunikasi pada media sosial ini sesungguhnya merupakan proses transfer dari pola pengembangan kelompok, komunitas, ataupun kerumunan pada dunia nyata yang dialihkan ke dunia maya. Cara yang diadopsi media sosial tersebut bahkan dapat menyentuh berbagai lini masyarakat sebagai follower. Sehingga dalam konteks ini, semangat yang diangkat adalah pembentukan kolaborasi para pengguna media sosial.
Pendekatan komunikasi yang dikembangkan dalam media sosial, mensyaratkan adanya beberapa hal. Pertama, transparan, yang menunjukkan semua orang dapat mengakses pesan yang disebarluaskan melalui media sosial dan dapat mendokumentasikannya secara digital. Kedua, unik, artinya pesan yang tertuang dalam media sosial mengandung kekhasan, karena adanya kreativitas dan pengembangan ide. Ketiga, asli, mengandung makna bahwa pesan yang dibuat bersumber dari pengirim pesan yang dapat dirujuk keasliannya melalui kepemilikan akun dalam media sosial.
Ketiga syarat tersebut sedikit banyak memaksa pelaku pengguna media sosial beradaptasi dengan pengembangan ide atau pesan yang sangat cepat terjadi dan tersebar luas. Bahkan ketika follower menuangkan kritik atau komentar yang bernada negatif kepada perusahaan atau brand, perusahaan perlu memberikan respon, sanggahan atau penjelasan secara transparan yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Pada akhirnya, media sosial dengan daya bidiknya pada para follower telah mengubah perilaku manusia dalam berinteraksi. Kolaborasi yang dihasilkan melalui media sosial tidak hanya mampu mengeratkan relasi antara perusahaan dan follower, namun perusahaan juga harus selalu siap dengan muatan pesan yang beraroma negatif dari para follower. Dengan demikian melalui media sosial dan daya bidiknya inilah, nama baik perusahaan layak untuk dipertaruhkan.
*Ike Devi Sulistyaningtyas, M.Si, dosen Prodi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta