Oleh: Lukas S Isprandiarno
Analis Kedaulatan Rakyat, 01/03/2012
LAZIMNYA politisi gandrung pada media, sebab ada perkawanan antara politik dan media, misalnya televisi. Melalui perkawanan itu politisi atau partai politik mendapatkan ruang amat lebar dalam menyebarkan ide, kebijakan, tapi juga penampilan. Lalu, mengapa ada kader sebuah partai politik tersinggung dengan liputan media?
Ada sejumlah alasan mengapa hal itu terjadi. Para ahli mengungkap kedekatan antara komunikasi dengan politik. Komunikasi bahkan menjadi pusat studi politik, kekuatan politik dan pemerintahan. EE Schattschneider beralasan, kekuatan politik terletak pada mereka yang menguasai arena perdebatan dan arah wacana (Crigler, 1996), maka panggung perdebatan dan arah wacana diburu. Panggung itu adalah media massa, koran, tabloid, radio, internet dan terutama televisi. Di republik ini televisi menjadi saluran paling perkasa untuk memengaruhi khalayak. Sebuah lembaga penelitian menyebut tingkat penetrasinya mencapai angka 94%. Sungguh luar biasa. Artinya, sekali seseorang tampil di layar televisi, jutaan orang menyaksikannya. Dan bila penampilannya buruk, celakalah ia, karena semua hal tentang dirinya dianggap buruk.
Namun penampilan ‘buruk’ disebabkan sejumlah faktor. Antara lain, siapa atau media mana yang menampilkan. Media massa sebagai sebuah industri mempunyai kepentingan untuk mendapatkan keuntungan ganda berupa uang sekaligus pengaruh. Maka iklan di media menjadi sarana paling ampuh meraup kekayaan sehingga isi atau program media dirancang sedemikian rupa agar menerbitkan air liur para pemodal dan menjajakan barang dagangannya di sana. Sebagai kekuatan politik, media juga menuruti kemauan pemilik. Bila kehendak politik pemilik televisi berseberangan dengan kepentingan partai yang sedang tampil di medianya sejumlah hal bisa terjadi, positif atau negatif. Bisa juga kompromi. Maka isi media kadang membingungkan, tidak jelas arahnya.
Faktor lain adalah kualitas dan kinerja politisi atau parpol. Bila sebuah parpol memang berkinerja bagus setidaknya untuk konstituennya sendiri maka media apapun yang memberitakannya tidak akan terlalu menggoyahkan kredibilitas. Namun bila partai politik memang jeblok, tidak bermutu, suka berbohong, korup, habislah ia.
Pendekatan kuno dan dominan dalam studi komunikasi politik berpusat pada efek media. Salah satu pendekatan disebut peluru sihir (magic bullet). Cara kerja pendekatan ini mengandaikan peluru yang ditembakkan sehingga menembus pikiran khalayak. Mereka yang terkena tembakan media berupa foto, video, peristiwa disertai ulasan dengan pesan tertentu akan terpengaruh dan mengikuti isi pesan tersebut, bagaikan kena ilmu sihir. Pesan-pesan itu tampil di ruang utama media, dengan huruf besar dan cetak tebal (headline) disampaikan presenter yang menawan. Pemberitaan yang terus menerus, berulang-ulang, disebut propaganda. Sejumlah pemimpin politik menggunakan model ini untuk memengaruhi rakyat. Hitler misalnya menggunakan mesin propanda untuk mendapat dukungan rakyat dalam melakukan peperangan. Tidak sedikit pimpinan kementerian dan politisi kita mengiklankan ‘kesuksesan’ programnya di televisi.
Para ahli juga berpendapat pendekatan ini dianggap kuno karena media bukan menjadi penyebab dominan kehadiran pengaruh. Ada sejumlah faktor lain, lingkungan, pendidikan dan lainnya, tapi boleh jadi model ini masih relevan dalam masyarakat kita. Keberhasilan kandidat Susilo Bambang Yudhoyono menjadi presiden bahkan hingga dua periode merupakan salah satu petunjuk, tanpa mengesampingkan faktor di luar media.
Studi komunikasi politik juga menyediakan jawaban lain, mengapa kader parpol galau dengan tayangan televisi. Pendekatan kedua ini menaruh perhatian pada jurnalis, si pembuat berita. Model ini menguji pembentukan berita melalui wawancara, observasi, maupun observasi-berpartisipasi jurnalis. Beberapa peneliti menemukan bahwa nilai dan pola kerja jurnalis memberi sumbangan pada sebuah berita tertentu, misalnya berita yang seragam, mirip satu sama lain.
Meski pendekatan konstruktivisme mengandalkan faktor jurnalis akan tetapi terdapat beberapa hal lain di sekeliling jurnalis, seperti latarbelakang pendidikan, ideologi, dan otonomi jurnalis. Media yang profesional mestinya memberikan dukungan pada otonomi jurnalis sehingga produk yang dihasilkannya sungguh memberi kemanfaatan bagi publik. Dengan independensinya jurnalis akan melaporkan kondisi riil sebuah parpol, tanpa menambah atau mengurangi. Walau demikian tidak berarti bahwa jurnalis dan media bisa bersikap seratus persen independen. Mustahil media benar-benar objektif. Sedikit atau banyak ia akan berpihak, bahkan di sejumlah negara media berpihak pada partai politik karena ia dimiliki oleh partai itu. Pasca reformasi media di Indonesia pada umumnya lebih berpihak pada masyarakat luas seiring dengan bekerjanya sistem politik demokrasi.
Masih galau? Masyarakat luas bisa ikut galau bila semakin banyak stasiun televisi namun dimiliki hanya segelintir orang. Kepemilikan perusahaan televisi memang harus dibatasi dengan ketat. Kegalauan diusir dengan meningkatkan pemahaman, daya kritis dan kecerdasan masyarakat. (Penulis adalah pakar ilmu komunikasi, Dekan FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta)-b.