Hak Politik Penyandang Disabilitas

Bernas Jogja, Selasa 11 Februari 2014

Oleh E. Imma Indra Dewi W, SH, M.Hum

Setiap warga negara berhak terlibat aktif dalam kehidupan berpolitik. Hak ini terkandung dalam berbagai ketentuan hukum baik yang bersifat internasional maupun nasional. Begitu pula penyandang disabilitas. Sebagai bagian dari warga negara Indonesia, para penyandang disabilitas juga berhak terlibat aktif dalam kehidupan politik. Pasal 21 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Pasal 25 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, Pasal 28D ayat (3), Pasal 28H ayat 2 dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 setelah amandemen dan Pasal 43 ayat (1) dan (2) UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia menegaskan setiap warga negara berhak mendapatkan kesempatan yang sama dalam pemerintahan, baik untuk dipilih maupun memilih tanpa diskriminasi.

Selain ketentuan tersebut hak penyandang disabilitas juga diperkuat dengan Konvensi PBB tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas dan UU No. 4 tahun 1997 tentang Penyandang cacat. Pada Pasal 29 Konvensi PBB tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas diatur bahwa negara-negara anggota menjamin hak-hak politik penyandang disabilitas dan memberikan kesempatan bagi mereka menggunakan hak tersebut setara dengan anggota masyarakat lainnya, baik untuk dipilih maupun memilih.

Berkaitan dengan pemilu masih ada beberapa peraturan pelaksana lain yaitu UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wapres, UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD, Peraturan KPU No. 3 tahun 2009 tentang Pedoman Teknis Pelaksanaan Pemungutan dan Penghitungan Suara di Tempat Pemungutan Suara dalam Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, DPR Provinsi dan Kabupaten/Kota, Peraturan KPU No. 29 Tahun 2009 tentang Pedoman Teknis Pelaksanaan Pemungutan dan Penghitungan Suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, Peraturan KPU No. 3 Tahun 2009. Peraturan KPU No. 23 Tahun 2008 Tentang Pedoman Pelaksanaan Sosialisasi dan Penyampaian Informasi Pemilu Anggota DPR, DPD Dan DPR Provinsi dan Kabupaten/Kota.

Namun demikian peraturan-peraturan tersebut belum cukup menjamin hak penyandang disabilitas dalam memberikan suara pada pemilu. Hak berpolitik mereka terasa masih diabaikan. Masih banyak hambatan pada berbagai tahapan dan mekanisme pemilu yang mengakibatkan hak suara penyandang disabilitas rentan dimanipulasi.

Hambatan-hambatan

Pada tahapan pemilu terdapat penghambat dari tahap pemutakhiran data pemilih sampai dengan pemungutan dan penghitungan suara. Beberapa contoh misalnya, tak ada iklan layanan masyarakat untuk penyandang disabilitas, beberapa penderita disabilitas tertentu tidak didaftarkan dalam daftar pemilih, pengumuman atau sosialisasi tahapan pemilu kurang mempertimbangkan kebutuhan akses informasi penyandang tunarungu dan tunanetra. Hambatan lainnya, penyandang tuna grahita sedang dan berat banyak yang tidak ikut pemungutan suara. Dalam pelaksanaan pemilu terdapat beberapa TPS yang tidak aksesibel bagi pengguna kursi roda sehingga pemungutan suara dilakukan oleh petugas dengan cara mendatangi mereka. Penyandang tuna rungu yang tidak mendengar pada saat dipanggil namanya untuk giliran mencoblos dianggap tidak ada, selain itu sistem contreng/coblos dianggap tidak konsisten pada pemilu 2009.

Hambatan teknis saat pemilu yang tidak mendukung pelaksanaan aspirasi penyandang disabilititas meliputi penggunaan istilah sehat jasmani dan rohani yang merugikan terutama calon legislatif penyandang disabilitas. Juga belum adanya pemahaman maupun penyelesaian atas pelanggaran pemilu akses.

Selain itu terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang membatasi hak-hak penyandang disabilitas dalam menggunakan hak politiknya. Misalnya tidak dicantumkannya UU yang mendukung prinsip non-diskriminasi pada UU pemilu, serta pencantuman persyaratan sehat jasmani dan rohani merupakan terminologi  merugikan  yang tidak mengacu pada UU No.36 Tahun 2008 Tentang Kesehatan.

Yang harus dilakukan

Setiap hambatan pasti dapat diselesaikan jika disertai dengan niat baik. Begitu pula hambatan yang dihadapi penyandang disabilitas dalam penggunaan hak politiknya. Pada tahapan pemilu hambatan-hambatan tersebut dapat diatasi dengan pendampingan bagi penyandang tuna grahita oleh keluarga. Untuk mempermudah segala sosialisasi atau pengumuman bagi penyandang tunarungu adalah dengan adanya interpreter tunarungu di layar bagian bawah sebelah kiri atau kanan layar TV. Cara lain dapat juga ditempuh dengan menyediakan teks berjalan di TV. Hambatan sosialisasi dan pengumuman penyandang tunanetra dapat diatasi dengan membuat media informasi/pengumuman dalam bentuk braille. Cara lain dengan memberikan informasi melalui radio atau website yang dilengkapi dengan teknologi screen reading yang memudahkan tunanetra. TPS bagi pengguna kursi roda sebaiknya dipilih  di tempat yang rata. Sistem pemilihan yang tepat bagi penyandang tunanetra adalah coblos, namun jika akan dilaksanakan dengan sistem contreng sebaiknya disediakan template contreng bagi pemilih tuna netra untuk memudahkan pelaksanaan hak pilih di bilik suara. Perlu juga dipersiapkan petugas KPPS yang memahami kebutuhan penyandang disabilitas.

Hambatan teknis saat pemilu dapat diatasi dengan menentukan syarat kesehatan calon anggota legislatif dengan mengacu UU No. 38 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Pelanggaran pemilu akses dapat diselesaikan dengan membentuk badan monitoring pemilu akses, merevisi UU Pemilu. PPUA PENCA sebagai sebuah organisasi yang memantau akses pemilu seharusnya memberikan rekomendasi terkait akses untuk para penyandang disabilitas  melalui beberapa kegiatan seperti pelatihan untuk Bawaslu. Penyandang disabilitas  juga harus bersedia mendaftar sebagai anggota Bawaslu agar hak-hak politikya tidak dimanipulasi.

Beberapa peraturan yang membatasi hak penyandang disabilitas juga perlu direvisi. Di antaranya  Konsideran Revisi UU No. 10 Tahun 2008. Seharusnya ditambahkan Pasal 28 h ayat (2) dan Pasal 28 i ayat (2) UUD 1945 sebagai bahan pertimbangan. Juga ditambahkan UU No. 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak Disabilitas. Masyarakat secara umum juga diharuskan  mengembangkan persepsi bahwa para penyandang disabilitas adalah anggota masyarakat yang setara yang memiliki berbagai hak dan kebebasan yang sama seperti semua warganegara lain.

*E. Imma Indra Dewi W, SH, M.Hum, dosen FH UAJY.

 

 

 

 

 

.

 

Search

Pengumuman