Bernas Jogja, Selasa 4 Maret 2014
Oleh Lukas Deni Setiawan
Anies Baswedan ‘menyenggol’ televisi. Belakangan, menurut salah satu peserta Konvensi Calon Presiden Partai Demokrat ini, televisi swasta kerap menayangkan program tidak mendidik. Ia khawatir, program televisi yang tidak mendidik akan merusak bangsa ini. “Kita tidak akan berubah. Kalau pagi, guru mengajar hal positif. Kalau malam, guru ‘kotak’ mengajarkan hal yang menganulir ajaran guru pagi”, katanya. Pokok masalahnya, selain masih saja ada perusahaan yang mau mensponsori program-program semacam itu, kesadaran pengelola program itu sendiri masih perlu dibangun dan digenjot (Kompas.com).
Sebagai calon presiden (capres), Anies berjanji menghapus kekhawatiran itu dengan solusi. Bila nanti ia menjabat RI-1, ia tak segan memanggil pimpinan produksi acara tidak mendidik itu dan membuat terapi untuk menyadarkan mereka. “Saya akan panggil dan minta mereka nonton setiap hari selama satu bulan acara yang mereka produksi,” katanya
Pertanyaannya, siapa sebenarnya pihak yang berhak mengklaim sebuah program acara televisi itu mendidik atau tidak, merusak atau tidak? Bagaimana pula mekanisme penyadaran stasiun televisi yang menayangkan program tidak mendidik atau merusak semacam itu?
Anatomi Produk Televisi
Mau tidak mau, isu di atas membawa kita pada wacana hubungan antara televisi dengan nilai-nilai sosial dalam masyarakat. Program-program televisi bisa saja mengandung nilai-nilai tersebut, namun bisa juga menjadi pembentuknya. Untuk membahasnya, perlu penilaian secara normatif muatan produk televisi dan pelacakan terhadap peran televisi dalam proses sosialisasi nilai-nilai sosial. Tak jadi soal bila proses sosialisasi itu sejalur dengan institusi sosial yang konvensional, seperti keluarga dan sekolah. Namun, lain halnya bila televisi justru dianggap mensosialisasikan nilai-nilai yang berlawanan dengan nilai-nilai konvensional dan diakui oleh institusi sosial yang sudah mapan (Ashadi Siregar dalam Mulyana dan Ibrahim, 1997: 275).
Siregar menambahkan, secara garis besar, untuk menilai kandungan nilai sosialnya, muatan produk televisi dapat dilihat melalui karakter pokok, yaitu sifat materi dan fungsi bagi khalayak. Sifat materi dapat dibagi menjadi produk faktual dan fiksional. Kedua sifat itu membawa konsekuensi fungsi masing-masing. Sifat materi faktual membawa fungsi pragmatis sosial, yaitu membawa khalayak ke alam sosial (luar) yang membangun pemahaman. Sedangkan sifat materi fiksional membawa fungsi pragmatis psikologis, yaitu membawa khalayak ke alam dalam diri (inner) yang membangun penghayatan.
Efek berupa pemahaman dan penghayatan ini tidak hanya berhenti dalam diri, namun dapat menjadi acuan perilaku. Kemudian penilaian dapat dilakukan terhadap perilaku yang berakar pada materi yang dipahami dan dihayati sesuai atau tidak dengan standar perilaku masyarakat. Bila ada kesesuaian, hal ini merupakan cermin ideal fungsi institusional media massa. Namun, acap kali, yang muncul adalah perilaku menyimpang. Misalnya, berita televisi mengenai peristiwa pengeroyokan oleh sekelompok pemuda terhadap seorang pemuda lain desa dapat memberikan gambaran kondisi masyarakat terkini. Masyarakat bisa menjadi lebih well-informed. Namun, bila yang muncul adalah peristiwa eksesif yaitu pembalasan dendam oleh kelompok pemuda dari desa asal pemuda yang dikeroyok, maka yang terjadi adalah disfungsional peran media. Bisa jadi, inilah salah satu hal yang dikhawatirkan Anies. Namun demikian, siapakah yang sebenarnya berhak mempertimbangkan hal-hal seperti ini, merumuskan dalam aturan-aturan, menerapkan, dan menegur program-program yang berpotensi melanggar?
Ada KPI
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dibentuk bukan tanpa maksud. Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 mendaulatnya menjadi sebuah lembaga independen pemantau dunia penyiaran kita yang memakai frekuensi sebagai ranah publik (public domain). Ia diandaikan menjadi lembaga bebas dari campur tangan kekuasaan, politik (negara), ekonomi (pemodal), maupun komunal (kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat). Lembaga inilah yang kita angankan dapat menetapkan standar program siaran, menyusun pedoman perilaku penyiaran, serta mengawasi dan memberi sanksi terhadap lembaga penyiaran yang melanggar aturan-aturan tersebut.
Dengan demikian, sederhana saja, orang awam pun seharusnya bisa mafhum peraturan mengenai isi siaran stasiun televisi sudah diolah oleh sebuah lembaga independen. Penerapan, pengawasan, hingga pemberian sanksi pun menjadi tugasnya. Oleh karena itu, jelas pula bahwa seorang presiden tidak bisa menentukan aturannya sendiri. Ia tidak dapat menentukan sendiri batasan mengenai program mana yang mendidik atau tidak dan merusak atau tidak. Ia pun tidak perlu gegabah menggunakan wewenang besarnya mengumpulkan para awak media dan melakukan terapi terhadap mereka supaya mereka mengerti program siaran televisi yang baik menurut versinya. Pendeknya, percayakan dan serahkan saja tugas itu ke KPI. Masalah KPI ini tegas atau tidak, berintegritas atau tidak, dan orang-orangnya jujur atau tidak, itu perkara lain. Masih bisa diperdebatkan panjang lebar waktu lain.
Anies Baswedan pasti sangat mengerti bahwa niat memperbaiki program siaran televisi yang merusak itu adalah ‘program’ populer di mata masyarakat. Namun, sebagai calon presiden, ia mesti menyadari bahwa calon solusi yang ia cetuskan itu agaknya bakal melalui jalan terjal. Cara-cara penyelesaian masalah media dengan mengundang, mengumpulkan, dan memberi pengarahan kepada awak media agar segera dapat ‘kembali ke jalan yang benar’, rasanya sudah lewat zamannya. Tidak hanya Anies, siapapun yang ingin maju menjadi calon pejabat publik, hendaknya tidak hanya mempertimbangkan program yang populer di mata masyarakat, namun (jangan-jangan) juga (harus) populer di mata media.
* Lukas Deni Setiawan, dosen Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta