Bernas Jogja, Selasa, 24 Juni 2014
Oleh Lukas S. Ispandriarno
Sungguh malang nasib seorang warga negara bernama Dwi Sumaji alias Iwik. Selama 17 tahun ia dinyatakan sebagai tersangka pembunuh Fuad Muhammad Syafrudin (Udin) oleh Kepolisian Daerah DIY. Keyakinan Polda bahwa Iwik pembunuh Udin dituangkan dalam surat bernomor B/208/II/2013 Ditreskrimum bertanggal 20 Februari 2013. Iwik menggugat Polda DIY.
Iwik dijadikan tersangka oleh kepolisian beberapa saat setelah pembunuhan Udin di bulan Agustus 1996. Pada tahun 1997 Pengadilan Negeri Bantul menyatakan Iwik bebas murni karena tidak terbukti melakukan pembunuhan. Sejak keputusan itu, kepolisian bukannya segera mencari pembunuh asli Udin tetapi tetap bertahan dan meyakini bahwa Iwiklah pembunuhnya. Kengototan polisi mengakibatkan penanganan perkara berlarut-larut tak kunjung selesai hingga 17 tahun.
Bagi warga Yogyakarta lamanya menemukan pelaku pembunuhan wartawan Bernas, Fuad M.Syafrudin alias Udin sungguh sangat disesalkan. Tak ada lagi kata yang pas untuk melukiskan kejengkelan, kemarahan, ketaksabaran, dan sekaligus kepedihan warga atas sikap “nggugu karepe dewe” lembaga kepolisian negara. Sudah terlalu banyak masukan diberikan masyarakat terutama kalangan jurnalis bagaimana menguak perkara ini. Sudah berulang kali digelar diskusi atau dialog antara komunitas jurnalis dengan Polda DIY, namun selalu tidak membuahkan hasil konkrit, tidak ada kemajuan, karena kepolisian ngotot bahwa Udin dibunuh lantaran berselingkuh dan pembunuhnya adalah Iwik.
Kini, mejawab gugatan Iwik, juga mewakili pergulatan panjang para jurnalis dan warga masyarakat yang percaya bahwa Udin dibunuh karena berita yang ditulisnya, Pengadilan Negeri Sleman menyatakan Polda DIY melakukan perbuatan melawan hukum sekaligus tidak menghormati putusan PN Bantul No.16/Pid.B/1997/PN Btl bertanggal 5 Desember 1997. PN Sleman menghukum Polda membayar ganti rugi sebesar Rp16.281.00. Selesaikah? Akankah hukuman itu menggerakkan segenap pimpinan kepolisian DIY berpikir jernih, terbuka, jujur, sportif dalam mengusut pembunuh Udin?
Menjawab pertanyaan wartawan usai sidang gugatan dalam acara pemeriksaan saksi, pengacara Polda DIY antara lain mengatakan penyelidikan kasus Udin masih berlanjut. “Hingga kini polisi masih mengumpulkan materi, dan meminta keterangan dari penyidik yang waktu itu melakukan pemeriksaan perkara.” (suaramerdeka.com, 7/5/2014). Lagi-lagi ini pernyataan basi, seperti pernyataan belasan Kapolda DIY yang kini sudah bertugas di tempat lain. Permasalahannya, kepolisian ataupun tim penyidik tidak pernah menyampaikan hasil sidikannya kepada publik. Waktu itu dikatakan, tidak mungkin mengungkap hasil penyidikan ke ranah publik. Cara kerja Polda DIY selama 17 tahun tidak mengalami kemajuan sedikitpun. Hanya membantah dan membantah, tapi tidak memberikan dasar bantahan berdasarkan hasil kerja.
Perkara Udin yang sudah memasuki tahun ke-18 bukanlah satu-satunya perkara kekerasan di DIY. Juga bukan satu-satunya kekerasan terhadap jurnalis. Ada sejumlah kasus kekerasan yang dibiarkan berlalu oleh kepolisian meski sudah dilaporkan masyarakat maupun korban. Satu dari dua aksi kekerasan di Sleman di awal Juni mengakibatkan seorang jurnalis televisi mengalami trauma dan luka-luka, kameranyapun dirampas. Adakah kelanjutan tindakan kepolisian?
Ketua Komisi Nasional Hak-hak Asasi Manusia, Siti Noor Laila di Yogyakarta beberapa waktu lalu mengatakan, tidak tuntasnya kepolisian menyelesaikan kasus kekerasan agama atau intoleransi mengakibatkan terjadinya peningkatan kekerasan. Peningkatan aksi kekerasan di DIY menyentak perhatian banyak pihak, tidak hanya di wilayah Yogyakarta tetapi juga di tingkat nasional dan internasional. Berbagai media mengabarkan suara-suara keprihatinan atas peristiwa ini dan berharap para pimpinan pemerintahan DIY terutama kepolisian mengambil tindakan konkrit.
Merespon berbagai keprihatinan tersebut, sejumlah pimpinan pemerintahan menyepakati sebuah MOU penanganan penghentikan aksi kekerasan di DIY (5/6/2014). Kesepakatan ditandatangani Polda DIY, Gubernur HB X, Korem 072 Pamungkas, Kejaksaan Tinggi, dan BIN DIY. Saat itu Kapolda Brigjen Pol Haka Astana mengatakan, konflik kekerasan yang terjadi di DIY tidak bisa diselesaikan sendirian oleh kepolisian. Dikatakan pula bahwa kesepakatan ini sejalan dengan Grand Strategy Polri tahun 2010-2014, membangun kemitraan dengan implementasi terus menerus serta akan selalu dipantau dan dilaporkan secara berjenjang.
Kepolisian sudah sering berdalih tidak bisa melakukan pekerjaannya sendirian. Dalam menangani pembunuhan Udin, alasan ini juga kerap dimunculkan, polisi membutuhkan bantuan dan informasi dari masyarakat. Namun ketika masukan diberikan oleh komunitas jurnalis, informasi itu tidak digunakan alias diabaikan hingga penyelesaian perkara berlarut-larut selama 17 tahun. Peralihan Grand Strategy Polri dari Trust Building ke Partnership and Networking sebenarnya juga dipertanyakan. Bukanlah lembaga ini belum berhasil mendapatkan kepercayaan publik atas kinerjanya selama ini? Dalam menangani perkara korupsi misalnya, kepolisian tidak memiliki prestasi bagus, justru menjadi bagian dari permasalahan. Pelayanan kepada masyarakat juga masih terus dipertanyakan dalam hal kemudahan, kecepatan dan transparansi. Polisi masih meminta sumbangan sukarela bila masyarakat meminta jasa, termasuk surat keterangan kehilangan.
Memasuki masa kritis pemilihan presiden 9 Juli, kerja kepolisian sebagai pengayom masyarakat akan diuji. Polri, seperti halnya TNI, dituntut netralitas dan profesionalisme bekerja mengamankan hajat maha besar ini. Pembiaran berbagai kekerasan harus segera diakhiri dan dituntaskan penyelesaiannya.
*Lukas S. Ispandriarno, dosen FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Koordinator Masyarakat Peduli Media (MPM) DIY.