Kampanye Persuasif vs Kampanye Negatif

Oleh Yohanes Widodo

 Bernas, 25 Maret 2014

Hari-hari ini ruang publik kita dijejali kampanye Pemilu. Media massa, terutama televisi, kian sarat dengan iklan politik. Jumlahnya tak main-main. Menurut perhitungan Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI), nilai belanja iklan politik tahun ini mencapai Rp12,5 triliun (Okezone.com, 14/02/ 2013).

Upaya menggaet pemilih lewat kampanye relatif tak berubah dibandingkan pemilu-pemilu sebelumnya.  Satu yang masih mengemuka: cara atau model kampanye lebih mengandalkan baliho, poster, mobilisasi massa hingga kampanye negatif atau kampanye hitam.  Persoalannya, seberapa efektif kampanye mampu mempengaruhi pemilih?

 

Kampanye Pemilu

Kampanye adalah peristiwa politik ketika calon wakil rakyat dan rakyat yang diwakilinya berinteraksi. Kampanye adalah bentuk komunikasi untuk mempengaruhi persepsi dalam proses pengambilan keputusan pemilih. Setidaknya ada tiga hal yang perlu menjadi perhatian dalam kampanye politik.

Pertama, tantangan bagi calon legislatif atau calon presiden adalah bagaimana menarik hati pemilih. Di sini pentingnya pesan atau informasi terkait profil atau rekam jejak, pesan yang membangun kepercayaan publik, filosofi politik, serta komitmen untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi rakyat jika nanti terpilih. Satu hal yang sering kali dilupakan, calon harus mampu menjelaskan mengapa dia adalah calon yang lebih baik dibandingkan calon lain.

Kedua, isi kampanye menyentuh agenda publik. Kenyataannya, kampanye atau iklan/kampanye cenderung kurang menyentuh isu-isu penting bagi publik. Sebagian besar kampanye atau iklan politik bersifat umum (all segments). Padahal, bicara segmentasi, setiap kelompok atau target massa memiliki kepentingan masing-masing yang bisa jadi berbeda-beda.

Pemilih biasanya dikelompokkan berdasarkan generasi/umur, jenis kelamin, etnik, pekerjaan, dan lain-lain. Masing-masing memiliki kepentingan  berbeda-beda untuk merespon pesan-pesan kampanye. Contohnya, orang tua mungkin akan lebih tertarik pada isu layanan kesehatan, sementara untuk anak muda lebih pas ketika diajak bicara tentang pendidikan. Pemilih memiliki beragam isu atau agenda yang dianggap penting dan kelompok yang berbeda bisa memberikan respon yang berbeda terhadap pesan kampanye.

Ketiga, relevansi pesan. Pesan dianggap persuasif jika berkaitan dengan khalayak dan khalayak memahami pesan tersebut. Ketika memutuskan pesan mana yang akan menjadi perhatian, maka relevansi pesan menjadi dasar pengambilan keputusan. Orang cenderung lebih fokus pada pesan yang dianggap relevan dan mengabaikan pesan yang dianggap tidak atau kurang relevan (William J. McGuire, 1989). Dengan demikian, pemilih akan lebih termotivasi memilih ketika kebutuhan atau kepentingan mereka disentuh.  Pemilih akan memberi perhatian lebih pada pesan atau isu yang dianggap relevan dengan kehidupan mereka sehari-hari.

 

Efektivitas Kampanye

Hal yang sering ditanyakan, apakah kampanye menjamin seorang calon atau  partai pasti menang? Beberapa studi tentang efek kampanye membuktikan bahwa kampanye efektif atau menentukan, namun kampanye bukan satu-satunya penentu.

Ada semacan konsensus  para ahli bahwa kampanye memiliki efek minimal dalam arti memberi persuasi minimal. Kampanye jarang mengubah atau mempengaruhi pikiran pemilih apalagi pemilih telah memiliki informasi tertentu dan adanya prasangka tertentu.

Jika mau disebut, efek kampanye yang paling penting adalah persuasi dan priming–meski keduanya tidak sangat mutlak. Priming mengacu pada setiap perubahan sistematis pada sikap dan persepsi pemilih. Dalam teori komunikasi, priming dianggap sebagai perpanjangan dari agendasetting yang mengacu pada kekuatan media untuk mempengaruhi agenda publik. Dalam konteks pemilu, makin banyak media memberi perhatian terhadap suatu isu, makin besar isu tersebut ‘penting’ bagi khalayak. Priming terjadi ketika pemberitaan atau kampanye yang ekstensif menyebabkan pemilih mengaitkan sebuah isu yang ‘penting’ ketika mencoblos (Elisabeth Gidengil et.al, 2000).

Persuasi mengacu pada perubahan sistematis pada nilai, sikap dan persepsi yang relevan terhadap sebuah kampanye (Larry M. Bartels, 2006).  Persuasi bertujuan memotivasi pemilih untuk mendukung calon tertentu melalui  pesan persuasi dengan meminta pemilih menerima nilai-nilai, sikap, atau tindakan tertentu yang bermanfat kepentingan atau keuntungan mereka (Dylan Moore, 2009).

Selain itu, kampanye juga mampu mempengaruhi pemilih dengan menginformasi dan memobilisasi mereka serta menumbuhkan minat dan ketertarikan. Namun efek yang paling penting adalah kemauan atau kesiapan untuk memilih. Di sisi lain, efek kampanye bisa jadi justru terjadinya bertentangan ketika kampanye menjadi semacam demobilisasi pemilih.

Kampanye negatif tak efektif?

Untuk mencapai tujuan politiknya, caleg atau capres sering melakukan upaya-upaya manipulatif antara lain melalui kampanye negatif dan kampanye hitam. Kampanye negatif dilakukan dengan menyebarkan pesan negatif terhadap lawan.  Dalam kampanye model ini, calon atau partai politik mengeluarkan serangan terkait kelemahan lawan-lawan politiknya.

Kampanye hitam adalah informasi palsu atau berasal dari sumber yang tidak jelas (gosip) yang digunakan untuk menjelek-jelekkan, mempermalukan atau mendiskreditkan lawan politik. Biasanya informasi atau isu yang dimainkan terkait dengan isu yang menyangkut suku, agama atau ras. Contohnya, ketika Presiden AS, Barack Obama, digosipkan sebagai seorang Muslim dan bukan orang yang dilahirkan di Amerika.

Pandangan umum menyatakan bahwa kampanye negatif efektif. Namun ada sebagian kalangan berpendapat bahwa kampanye negatif punya efek  tidak diharapkan dan justru berakibat buruk pada sistem politik dan demokrasi. Studi Richard R. Lau et.al (2007) menemukan, tak ada bukti kuat terhadap klaim bahwa kampanye negatif efektif sebagai sarana untuk memenangkan Pemilu.

Kampanye negatif atau kampanye hitam adalah kampanye yang tidak cerdas dan manipulatif. Terhadap hal ini ada dua sikap yang mungkin diambil oleh pemilih. Pertama, pemilih tidak akan begitu saja percaya atas informasi atau pesan yang disampaikan dalam kampanye. Apalagi jika informasi itu diterima oleh partisan atau pengikut partai tertentu. Mereka cenderung memfilter pesan yang masuk.

Kedua, informasi ketika disampaikan untuk melawan salah satu partai atau calon, tentu akan mendapat tantangan. Dengan kata lain, ada kontestasi wacana di situ. Klaim oleh satu partai akan ditentang oleh partai lain. Di sinilah peran media massa menjadi penting untuk menganalisis dan memverifikasi atas klaim-klaim yang dibuat partai-partai politik.

Pada prinsipnya kampanye menolak adanya manipulasi. Namun, ini hanya bisa terjadi jika kampanye bersifat kompetitif, ketika semua partai dan calon memiliki kemampuan yang membuat mereka layak untuk didengar.

Kampanye adalah upaya mengangkat citra baik di mata massa pemilih untuk meraih simpati. Tetapi dia juga berpotensi memberikan citra buruk di mata setiap  konstituen.  Kampanye dialogis, door to door, yang fokus pada isu yang relevan bagi pemilih dan disampaikan dengan cara yang sopan dan elegan akan lebih menarik bagi pemilih dan meningkatkan partisipasi mereka. Sebaliknya, kampanye negatif atau kampanye yang menyerang (attack ad) justru akan menumbuhkan sikap tidak suka dan mendorong pemilih untuk golput.

 

*Yohanes Widodo, dosen Prodi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

 

Search

Pengumuman