Kemampauan Debat dan Kemungkinan Dipilih

Bernas Jogja, Selasa 1 Juli 2014

Oleh Yudi Perbawaningsih

Sudah tiga kali acara debat calon presiden (capres) dilaksanakan dan disiarkan televisi. Banyak sekali komentar yang bermunculan, baik melalui media massa konvensional dan media berbasis internet, baik oleh pengamat intelektual dan masyarakat umum, baik yang bernada positif dan negatif. Analisis dan kajian tentang debat ini pun juga tidak kalah banyak. Kajian linguistik, semiotik, politik, dan komunikasi adalah beberapa di antara banyak kajian tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa acara debat ini sangat menarik dan memicu banyak respon.

Sebagai sebuah acara di televisi, bisa dikatakan bahwa acara ini memiliki peringkat daya tarik berdasarkan jumlah penonton (rating) yang tinggi.  Produser televisi tentu punya alasan tertentu untuk menayangkan acara debat ini di televisi. Demikian pula  Komisi Pemilihan Umum  punya alasan yang cukup kuat untuk menyelenggarakan debat. Televisi memiliki dua kepentingan (1) ekonomi dan (2) tanggung jawab sosial. Kepentingan ekonomi atas penayangan acara ini sudah sangat jelas, yaitu meraup iklan. Dari sisi tanggung jawab sosial, televisi berharap ikut serta dalam mencerdaskan masyarakat dalam bidang politik.  Sedangkan dari sisi Komisi Pemilihan Umum, debat calon presiden ditujukan untuk memberikan bekal pengetahuan tentang visi misi dan program calon presiden kepada masyarakat terutama pemilih.  Dengan pengetahuan tersebut masyarakat dapat memilih presiden secara tepat dan beralasan. Di sisi lain, bagi calon presiden, debat ini diharapkan dapat mempengaruhi keputusan pemilih. Semakin baik penilaian publik tentang kemampuan debat capres, semakin mungkin publik memilihnya dalam pemilu  mendatang. Dengan kata lain, debat dapat menjadi sarana atau alat yang diyakini dapat mempengaruhi publik untuk memberikan suara. Oleh karena itu, dapat dipahami di balik setiap penampilan capres dalam debat tersebut terdapat usaha keras para tim sukses mempersiapkan materi “perdebatan” dan mempersiapkan capresnya untuk memiliki kemampuan berdebat yang baik. Pertanyaannya adalah apakah tujuan ini tercapai?

Siapa lebih penting dari apa

Berdasarkan pengalaman Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) Presiden kita pada saat ini, seperti yang dituliskan dalam bukunya “Selalu Ada Pilihan – Untuk Pecinta Demokrasi dan para Pemimpin Indonesia Mendatang”, pada debat capres 2009, banyak pemilih di Indonesia yang tidak memperhatikan isi atau substansi dari debat itu. Mereka lebih tertarik pada penampilan para capres termasuk sikap, gaya dan tutur katanya (Nasihat SBY soal Debat, Kompas 24 Juni 2014, h.2). Jika pada tahun 2014, publik melakukan hal yang sama seperti apa yang disampaikan oleh SBY, maka secara pasti dapat dikatakan tujuan penyelenggaraan debat tidak tercapai. Debat pada akhirnya hanya diposisikan sebagai sebuah acara hiburan, bukan sebagai acara pendidikan atau informasi.

Merujuk pada komentar yang muncul di media sosial seperti facebook, respon publik terkait dengan debat memang sebagian lebih mengarah pada penampilan kedua capres seperti gaya berbicara termasuk gesture (gerak gerik) dan pilihan kata. Oleh karena itu, muncullah pemaknaan yamg cukup ramai diperincangkan publik di media – terutama media sosial yakni Jokowi lamban, “klemak klemek”, “ndeso”, sederhana, merakyat, membumi, konkrit, tidak tegas, “nervous”, sedangkan untuk Prabowo dikatakan sebagai capres yang tegas, bersemangat, meyakinkan, negarawan, abstrak, bahasa tinggi, muluk-muluk, dinamis. Pemaknaan-pemaknaan ini semuanya bersumber pada pengamatan publik pada cara penyampaian pesan (how to deliver the messagehow to say). Hanya sebagian kecil publik yang menyorot isi atau substansi debat. Publik yang sedikit inipun kebanyakan adalah para intelektual, yang diminta untuk mengomentari atau menganalisis debat tersebut. Juga bukan tidak mungkin, hanya sedikit dari publik yang memberikan perhatian pada analisis atau kajian para intelektual ini. Di sisi lain, juga ditemukan bahwa publik juga lebih tertarik untuk memperbincangkan siapa yang berbicara dibanding apa yang dibicarakan. Ini terlihat dari tingginya intensitas yang terkait dengan isu tentang latar belakang (sejarah) capres. Merujuk pada hal tersebut, pengalaman SBY pada debat 2009 terkait dengan publik pemilih masih tidak berbeda dengan perilaku publik pada debat 2014. Publik cenderung lebih memperhatikan pembicara (baca: capres) daripada pesan (baca: substansi atau isi perdebatan).

Mengapa bisa demikian?

Merujuk pada salah satu teori komunikasi persuasi yaitu Elaboration Likelihood Model (ELM) yang dicetuskan oleh Cacioppo, terdapat dua rute yang mungkin dipilih untuk memproses pesan persuasi yaitu rute pusat dan rute pinggiran. Disebut sebagai rute pusat jika publik mengolah pesan atau argumentasi persuasi, sedangka rute pinggiran jika yang diolah adalah elemen-elemen di luar argumentasinya atau pada “kemasan”nya, salah satunya adalah komunikator atau sumbernya. Pada rute pusat, publik melakukan elaborasi terhadap argumentasi. Untuk melakukan hal ini, publik harus memiliki kemampuan, motivasi dan kesempatan untuk mengolah dan mengkritisi pesan.  Sedangkan, jika publik  tidak memenuhi kriteria tersebut maka rute yang dipakai adalah rute pinggiran. Akibat dari pilihan rute tersebut adalah ada  ketahanan sikap yang dibentuk. Jika publik menggunakan rute pusat, sikap atau perilaku yang dibentuk sebagai akibat dari proses persuasi ini lebih bertahan lama (relatif stabil), sedangkan jika rute pinggiran yang digunakan maka sikap atau perilaku bersifat sementara (mudah berubah).

Publik pemilih di Indonesia dapat dikatakan menggunakan rute pinggiran yang lebih melihat sosok capres daripada substansi pesan. Hal ini bisa terjadi karena publik penonton debat tidak memiliki cukup kemampuan dan motivasi untuk mengolah substansi debat. Sangat bisa dipahami jika tidak semua publik penonton televisi paham atau memiliki pengetahuan yang cukup tentang politik, ekonomi, pertahanan, hubungan internasional, yang menjadi topik debat ini. Dengan keterbatasan ini, penampilan fisik – elemen yang sangat mudah dilihat –  dan penampilan komunikasi menjadi lebih dominan dan menarik untuk diamati oleh penonton televisi. Secara teoritik, dapat diprediksi kemungkinan efek acara debat pada keputusan memilih presiden pada 9 Juli 2014 mendatang tidak cukup kuat. Perubahan penampilan capres pada debat pertama sampai dengan debat ketiga akan membawa perubahan pula pada keputusan memilih. Keputusan yang mantap (stabil)  sulit diwujudkan.  Jadi dapat dikatakan bahwa acara ini tidak cukup kuat untuk mempengaruhi pengetahuan publik tentang capres, apalagi keputusan untuk memilih.

Lima tahun (2009 hingga 2014)  memang bukan waktu yang panjang  untuk dapat mengubah perilaku publik pemilih. Jika SBY dalam bukunya mengatakan bahwa debat 2009 perlu diperbaiki kualitasnya, tampaknya hal tersebut belum terwujud. Sampai pada tahun 2014 belum ada perubahan penting pada perilaku pemilih. Masih diperlukan upaya untuk mencari cara yang lebih tepat untuk mengkomunikasikan visi misi dan program capres untuk publik pemilih Indonesia. Acara debat capres memang efektif bagi publik di Amerika, tetapi tidak efektif bagi publik di Indonesia karena karakter publik penonton televisi kita yang berbeda.

*Yudi Perbawaningsih adalah pengajar mata kuliah Persuasi pada Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Search

Pengumuman