Suryo Adi Pramono
Bernas Jogja, Selasa 13 Agustus 2013
Beberapa hari lagi kita akan memperingati kemerdekaan ke-68. Muncul pertanyaan: Apa hubungan kemerdekaan kita dengan Multatuli dan Lebak di Jawa Barat?
Adalah dua Douwes Dekker penghubungnya. Pertama,Eduard Douwes Dekker (2 Maret 1820-19 Februari 1887), yang bernama samaran Multatuli dalam menulis novel berjudul Max Havelaar. Ia adalah asisten residen di Lebak. Kedua,Ernest François Eugène Douwes Dekker (8 October 1879-28 August 1950) yang kemudian di masa tuanya tinggal di Bandung (1947-1950) dan berganti nama Danoedirdja Setiaboedi. Douwes Dekker muda yang lahir di Pasuruan ini adalah cucu keponakan Douwes Dekker tua (Multatuli). Nama Setia Budi diabadikan sebagai nama jalan di Bandung, nama kawasan di Jakarta dan bekas rumahnya masih bisa kita jumpai di daerah Lembang.
Lebak dan Kekuatan Pena Multatuli
Eduard Douwes Dekker (Multatuli) datang di Hindia Belanda pada 1838. Ia bekerja pada masa purna kemenangan Belanda atas dua perang besar, Perang Dipanegara (1820-1830) dan Perang Paderi di Sumatera Barat (1825-1830), di mana Kerajaan Belanda mengalami krisis keuangan karena biaya perang. Kerugian Belanda itu ditebus dengan eksploitasi sektor perkebunan pada rezim Gubernur Jenderal Van den Bosch. Nenek-moyang kita dipaksa menanam tanaman perkebunan yang memiliki nilai jual tinggi di Eropa.
Setelah bekerja sebegai pegawai sipil 13 tahun ia dipromosikan sebagai asisten residen di Ambon (1851), dan akhirnya dia dipindahkan menjadi asisten residen di Lebak (1857), sebuah daerah perkebunan di Jawa Barat. Pengalaman selama 19 tahun inilah yang menyadarkan Eduard Douwes Dekker tentang ketidakadilan. Ia melihat bagaimana bangsanya sendiri memperlakukan tidak adil bangsa lain yang dijajah untuk kemakmuran bangsanya, bahkan bangsa-bangsa lain di Eropa (Inggris, Perancis, Portugis). Dia juga menyaksikan penyalahgunaan kekuasaan dan keuangan oleh bangsanya di atas penderitaan rakyat jajahan. Dalam catatan Boeke, pada era ini Belanda menjadi salah satu negara kaya di Eropa. Seorang kawan yang tinggal di tepi salah satu kanal Amsterdam pernah menunjukkan kepada saya bahwa rumahnya dibangun dengan uang dan kayu dari Hindia Belanda. Ia juga menceritakan bahwa kanal-kanal Amsterdam dibangun dengan dana keuntungan dari perkebunan di Indonesia. Pendek kata kemakmuran dan aneka kehidupan mewah di Belanda didanai oleh hasil perkebunan Hindia Belanda.
Tidak tahan derita bangsa jajahan yang dilihatnya, dan perlakuan para tenaga lapangan bangsanya sendiri pada orang-orang yang mereka jajah, ia protes kepada Gubernur Jenderal agar ada perubahan perlakuan dan perbaikan nasib bagi rakyat. Namun ia justru merasa terancam, demikian pula jabatan yang diraihnya. Oleh karena ia sudah bertekad bulat, lalu mengundurkan diri dan kembali ke Belanda.
Di Belanda, ia menyaksikan bagaimana kemakmuran dinikmati oleh bangsanya. Kontras dengan kemewahan itu, dalam derita hidupnya di Amsterdam, ia turut merasakan bagaimana nestapa yang didukai rakyat Lebak dan berbagai daerah perkebunan lain di Hindia Belanda. Ia dan rakyat seberang lautan menjadi sama kedudukannya: kaum “kecil, lemah, miskin, tersingkir dan tertindas”.
Lalu ia tuliskan semua derita rakyat Lebak itu di dalam novel Max Havelaar, dengan menggunakan nama samaran Multatuli. Dalam waktu sekitar 1-2 bulan bukunya selesai ia tulis. Apa yang ia tulis membuat kehebohan di Belanda, bahkan Eropa. Mereka yang kebanyakan tidak pernah datang ke Hindia Belanda dan tidak tahu aliran dana dari negeri jajahan ini lalu kaget. Bahkan kemudian hari, Sri Ratu Wilhelmina pun kaget sesudah membaca. Para aktivis, politisi sosialis-demokrat dan liberal bergolak, menuntut perubahan nasib rakyat jajahan. Kaum Konservatif terdesak Van den Bosch pun diberhentikan sebagai gubernur jenderal.
Tahun 1870 Kaum Liberal menguasai pendapat di parlemen. Kebijakan baru untuk negeri jajahan diambil, yaitu edukasi, di bawah konsep “Politik Etis”. Meskipun Negeri Belanda tetap menjajah namun mereka ingin meningkatkan harkat kehidupan rakyat yang dijajah agar lebih baik sebagai wujud “terima kasih”. Melalui edukasi inilah didirikan sekolah-sekolah di Hindia Belanda, meskipun dengan aneka pembatasan dan diskriminasi. Sebagaimana novel trilogi Pramudya Ananta Toer lukiskan (Bumi Manusia, Jajak Langkah dan Rumah Kaca), kita mengetahui bahwa para aktvis sosialis-demokrat mengisi posisi sebagai guru-guru di sekolah-sekolah yang didirikan: HIS, ELS, MULO, AMS, dll. Bung Karno, yang menjadi proklamator dan Ketua Tim 9 Perumus Dasar Negara (Pancasila), pun menyebutkan bagaimana gurunya mengenalkan konsep kemerdekaan, bangsa dan negara. Ia tahu konsep bangsa dari Ernest Renan dari gurunya. Tan Malaka dididik, diangkat anak dan diberi beasiswa sampai belajar di Negeri Belanda pun juga oleh gurunya. Pramudya pun menulis dalam novelnya bahwa salah seorang guru perempuan HIS yang membahayakan dipulangkan ke Negari Belanda agar tidak “meracuni” para murid dengan semangat berbangsa dan kemerdekaan. Pramudya menulis bahwa Max Havelaar adalah tulisan yang “membunuh” kolonialisme di negeri jajahan.
Dari aneka sekolah itulah pergerakan kemerdekaan oleh kaum cendekia muncul. Boedi Oetomo (1908) diprakarsai oleh Dr. Wahidin Soedirohoesodo, lalu mengajak para dokter bumiputera dan para murid sekolah dokter STOVIA. Dari sinilah bermunculan para aktivis yang menggunakan organisasi modern sebagai alat perjuangan.
Guratan pena atas derita rakyat Lebak telah membuat perubahan besar kebijakan. Kaum terpelajar sadar kemerdekaan bermunculan. Mereka bersuara untuk kemerdekaan dan mendidik bangsanya tentang makna pendidikan, kebangsaan dan kemerdekaan. Tanpa Multatuli, mungkinkah itu terjadi di awal abad 20 atau akhir abad 19?
Max Havelaar, Setia Budi dan Kemerdekaan Kita
Buku Max Havelaar itu dibaca oleh cucu keponakannya, Ernest Douwes Dekker, yang lahir di Pasuruan, Jawa Timur, anak pialang dan bankir (Jan Douwes Dekker). Ernest membaca buku kakeknya ini dalam edisi Bahasa Belanda. Buku ini pula yang mengilhami para aktivis pergerakan kebangsaan Indonesia, termasuk Soekarno.
Sebagai lulusan akademi yang bekerja pada perkebunan di Malang, apa yang dibacanya pada Max Havelaar jumbuh dengan penderitaan rakyat perkebunan di Malang dan sekitarnya. Pengetahuan bertemu dengan keprihatinan lalu menjadi kesadaran. Kesadaran yang terasah menjadi keyakinan. Keyakinan yang diperjuangkan lalu menjadi gerakan. Maka Ernest lalu menjadi aktivis pergerakan bagi kemerdekaan orang yang dijajah karena ia menyaksikannya sendiri, sebagaimana kakeknya pun pernah menyaksikannya di Ambon dan Lebak di Abad 19.
Pada 1913, bersama Soewardi Soerjaningrat (trah bangsawan Pakualaman, Yogyakarta, yang kemudian berganti nama menjadi Ki Hajar Dewantara) dan Dr, Tjipto Mangoenkoesoemo (berasal dari Ambarawa), Ernest mendirikan Indische Partij (“Partai Indonesia”). Ketiganya ditangkap dan diasingkan ke Belanda karena dianggap berbahaya. Tetapi ia kemudian diperbolehkan kembali ke Hindia Belanda pada 1918. Ia mencoba mentransformasikan gerakan Insulinde menjadi National Indische Partij (NIP). Karena NIP terlibat dalam pemogokan petani di Surakarta, maka ia ditahan (1921).
Pada 1922, setelah dibebaskan, ia menjadi guru dan kepala sekolah dasar “Institut Ksatrian” di Bandung. Salah seorang guru lembaga ini adalah Soekarno. Pada 1936 ia kembali ditahan selama tiga bulan karena aktivitas politik. Karena dianggap “berbahaya” maka selama masa Perang Dunia Kedua ia dan sejumlah orang Indo Eropa lain keturunan Jerman diasingkan ke kamp penjara hutan di Suriname: “Joden Savanne”.
Pada 1947 ia kembali Indonesia, tinggal di Bandung bersama keluarga. Ketika Clash Kedua (1948) ia urung ditangkap tentara Belanda karena terbaring sakit. Pada 1951 ia meninggal dunia, dan akhirnya ia dianugerahi sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden Soekarno. Multatuli dan Max Havelaar “hidup kembali” dalam perjuangan Pak Setiaboedi. Tanpa Lebak dan Multatuli, mungkinkah kita merdeka pada 1945?
Demikianlah, kemerdekaan bukan hanya diperjuangkan oleh bangsa sendiri, melainkan juga oleh Indo-Muslim (Ernest) maupun Belanda Asli-Atheis (Eduard/Multatuli). Suatu perjuangan kemerdekaan lintas-bangsa. Maka, “Jangan sekali-sekali kita melupakan sejarah” (Boeng Karno).
*Suryo Adi Pramono,dosen Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Atma Jaya Yogyakarta