Search

Kisruh Upah Buruh

Bernas Jogja, Selasa, 20 November 2012

Oleh E. Imma Indra Dewi W, SH., M.Hum

Setiap menjelang akhir tahun di Indonesia hampir selalu terjadi konflik klasik antara pekerja dan pengusaha. Permasalahnya tidak pernah berubah dari waktu ke waktu,  upah minimum selalu diperdebatkan. Di satu sisi pengusaha menuntut kenaikan upah yang tidak terlalu tinggi, di sisi lain buruh menuntut upah yang layak untuk kesejahteraannya. Konflik upah minimum kadang meluas menjadi kekisruhan, di antaranya terjadi di Jakarta dan Batam. Demo besar-besaran  sering digelar dan efeknya kadang sampai pada tindakan anarkis.

di Jakarta, Jokowi menjadi sasaran ancaman buruh maupun pengusaha demi meluluskan harapan masing-masing. Pengusaha mengancam akan menggugat Jokowi, sang Gubernur baru jika menetapkan UMP Jakarta sebesar yang ditetapkan oleh Dewan Pengupahan Jakarta. Buruh mengancam akan mendemo  Kantor Jokowi dan membakar baju kotak-kotak jika  keinginan pengusaha dipenuhi. Hal ini berawal dari ketidaksepakatan pengusaha atas ketetapan besaran UMP Jakarta tahun 2013 oleh Dewan Pengupahan sebesar Rp 2.216.243,68. Wakil pengusaha menduga ada kongkalikong antara pemerintah dan buruh melakukan walk out dalam rapat penetapan UMP Jakarta 2013.

Panasnya penetapan usulan UMP Jakarta 2013 membuat Sofyan Wanandi, salah seorang pengusaha Nasional urun bicara. Dia mengatakan angka Rp. 2,2 juta tidak dapat dipenuhi pengusaha, apalagi Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Menurut undang-undang, yang tidak menaati ketentuan upah minimum dapat dipenjara satu sampai empat tahun. Tentu pengusaha tidak mau masuk penjara gara-gara upah minimum. Itu sebabnya mereka walk out.

Penyebab upah rendah

Panasnya penetapan UMP Jakarta 2013 menunjukkan betapa sulitnya menetapkan besaran upah minimum. Pekerja dan pengusaha hampir selalu bersitenggang dalam menemukan kesamaan pendapat. Benarkah pengusaha hanya berhadapan dengan pekerja? Apa masalahnya sampai upah minimum pekerja Indonesia benar-benar minim?

Dalam sebuah diskusi ketenagakerjaan di Menara Kadin, Kuningan, Jakarta, Ketua LP3E Kadin, Didik J Rachbini mengatakan biaya terselubung (biaya-biaya siluman) yang ditanggung pengusaha membuat pembiayaan yang dikeluarkan dunia usaha menjadi mahal. Hal ini menyebabkan pengusaha menekan upah para buruh. Pernyataan Didik J Rachbini senada dengan Direktur Eksekutif Institute for Development and Finance (INDEF). Dalam sebuah seminar infrastruktur di Hotel Borobudur, Jakarta, Ahmad Erani Yustika mengatakan bahwa saat ini upah buruh di Indonesia sangat rendah, sebesar US$ 0,6 per jam. Menurutnya jika ada tekanan pada pengusaha untuk menaikkan upah, konsekuensinya pemerintah juga harus menurunkan biaya ilegal dan tingkat suku bunga.

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar mengatakan, sulitnya sebuah perusahaan menaikkan upah buruh karena masih banyaknya pungutan liar (pungli). Upah buruh akan naik apabila biaya produksi menurun, sementara biaya produksi membengkak gara-gara pungli. Menurut Menakertrans, pungli menjadi ganjalan sebuah perusahaan untuk menaikkan upah buruhnya. Disinyalir ada dua macam pungli yaitu pungli birokrasi yang menyangkut masalah perizinan dan pungli jalanan yang menyangkut oknum aparat atau preman. Lebih lanjut Menarkertrans menyatakan, pungli birokrasi atau yang berhubungan dengan perizinan sudah terselesaikan namun bukan berarti persoalan telah selesai, karena masih terdapat pungli yang lain. Selain itu, kondisi infrastruktur Indonesia yang belum memadai pun menjadi faktor penentu naiknya biaya produksi yang harus ditanggung  pengusaha. Dita Indah Sari (Staf  Khusus Menakertrans), mengatakan, tak kunjung selesainya masalah upah murah, salah satunya karena ekonomi biaya tinggi yang membebani pelaku usaha. Pertama, tingginya suku bunga perbankan. Kedua, maraknya pungutan di daerah sehingga ongkos produksi membengkak. Dampak otonomi daerah banyak melahirkan peraturan daerah yang berujung pada pungutan atau pajak terhadap pengusaha. Akibatnya, buruh yang dikorbankan. Masalah ini menyebabkan perusahaan-perusahaan di Indonesia hanya mengalokasikan rata-rata 10% dari anggaranya untuk biaya pegawai. Ketiga, upah minimum sebenarnya hanya ditujukan bagi pekerja lajang dengan masa kerja kurang dari setahun, tapi pada praktiknya upah minimum juga berlaku untuk pekerja yang sudah berkeluarga dengan masa kerja lebih dari setahun.

Jadi pangkal persoalan rendahnya upah minimum di Indonesia sebenarnya bukan hanya terletak pada pengusaha saja, tetapi juga karena negara, birokrasi, dan pemerintah, yang gagal menciptakan iklim usaha yang kondusif dan gagal membangun kesempatan kerja yang lebih luas. Negara membiarkan terjadi demoralisasi di bawah. Negara menjadi benalu dunia usaha dan rakyat secara bersamaan. Hal ini sangat terlihat jelas dari pengakuan Menakertrans dan Staf Khusus Menakertrans yang notabene adalah simbol ngara yang mewakili urusan bidang ketenagakerjaa di Indonesia.

Menekan biaya produksi

Lantas apa yang harus dilakukan jika negara telah tahu bahwa penyebab rendahnya upah di Indonesia adalah negara sendiri? Negara harus bergerak cepat dengan menciptakan iklim kondusif bagi dunia usaha. Di antaranya mendorong penekanan biaya produksi yang ternyata ditumpangi oleh berbagai pungutan yang berimbas tekanan pada para pekerja. Pungutan liar di berbagai bidang yang dibebankan pada pengusaha harus dihentikan. Oknum pemeras pada perusahaan harus ditindak tegas, apalagi jika oknum tersaebut berada dalam jajaran birokrasi. Pak Menteri menyatakan pungli bidang perizinan telah terselesaikan, jika benar demikian masih ada pungli lain yang harus diselesaikan negara. Tetapi jika dalam prakteknya penyelesaian pungli bidang perizinan belum terselesaikan, maka menjadi tugas negara untuk membuktikan kata-kata aparatnya.

Jika memang bunga bank untuk sektor industri berdampak pada penekanan besaran upah buruh, maka kebijakan ini harus dikaji ulang, terutama bagi UKM. Di Indonesia UKM memegang peranan penting, karena berbagai alasan tenaga kerja Indonesia banyak yang terserap di sektor ini. Jika UKMnya tidak mampu membayar UMP bagi buruhnya, tentu mustahil harapan kesejahteraan buruh meningkat. Meskipun KHL yang ditetapkan telah sesuai dengan kebutuhan hidup yang riil, dan UMP ditetapkan berdasar KHL, tetapi apa artinya jika pengusaha UKM harus selalu mengajukan penangguhan pembayaran sesuai UMP? Karena dengan demikian pekerja akan selalu menikmati upah yang tidak sesuai dengan UMP. Artinya kesejahteraan hidup para buruh yang diharapkan meningkat juga mustahil. Apalagi penangguhan itu diijinkan setiap tahun selama jangka waktu satu tahun. Berarti setiap tahun pekerja pada perusahaan yang mendapat ijin penangguhan akan selalu menerima pembayaran di bawah UMP yang berlaku.

Dikatakan Dita Indah Sari bahwa UMP hanya ditetapkan bagi pekerja lajang dengan masa kerja kurang dari setahun, dan memang demikian adanya. Jika UMP memang ditetapkan demikian, mestinya juga disediakan kebijakan upah minimum bagi pekerja yang telah berumah tangga dan yang telah bekerja lebih dari satu tahun. Supaya tidak ada asumsi bahwa upah minimum ini dapat diberikan bagi pekerja yang telah berumah tangga pula dan telah bekerja selama satu tahun lebih. Karena tidak dapat dipungkiri lagi dalam mengimplementasikan suatu peraturan hukum atau kebijakan, masyarakat sering mengambil jalan yang menguntungkan dan memudahkan mereka saja.

Selain itu, masalah besarnya angka pengangguran juga menyebabkan suburnya pemberian upah murah. Paradigma masyarakat Indonesia yang lebih suka bekerja dan menjadi buruh pada orang lain harus diubah dengan menciptakan lapangan pekerjaan sendiri. Namun hal ini selalu dipertentangkan dengan keterbatasan ketersediaan modal untuk menciptakan usaha. Selain itu pertumbuhan ekonomi yang lesu juga berimbas pada rendahnya daya beli masyarakat. Hal ini dapat diminimalisir jika pemerintah memang benar-benar punya itikad baik memberantas pungli, karena jika tidak ada pungli yang menunggangi biaya produksi, bunga bank dapat ditekan, upah bisa disesuaikan agar menjamin kesejahteraan buruh. Dampaknya buruh menjadi sejahtera bahkan jika mungkin lepas dari perusahaan dan menciptakan lapangan kerja sendiri dengan didukung pinjaman bunga rendah dari bank. Selain itu daya beli masyarakat juga akan meningkat sehingga membangkitkan perekonomian.

*E. Imma Indra Dewi W, SH., M.Hum, staf pengajar pada Fakultas Hukum UAJY

 

Search
Categories