Komodifikasi Jokowi dan Rafi Ahmad

Bernas Jogja, 21 Oktober 2014

Oleh Ike Devi Sulistyaningtyas

Medio Oktober 2014 media massa dipenuhi  hingar bingar pesan yang sarat dengan kebahagiaan. Tengok saja sejumlah media yang tak henti-hentinya memberitakan kegembiraan persiapan pelantikan Joko Widodo sebagai presiden dan Rafi Ahmad, selebriti kondang. Rafi siap menikahi Nagita (Gigi) setelah kisah cintanya yang begitu fenomenal. Sebuah stasiun televisi swasta dianggap  mencederai hak publik  dengan memaksa publik menyaksikan tayangan khusus acara persiapan hingga pernikahan Rafi-Nagita.

Jokowi dan Rafi memang dua tokoh yang sangat berbeda latar belakang dan perannya dalam kehidupan masyarakat. Jokowi sebagai tokoh politik fenomenal dengan segala kekuatan kepribadian yang mampu mencuri hati masyarakat Indonesia sehingga melesatkan karir politiknya menjadi  presiden. Rafi  adalah selebritis berparas indah, dengan segudang acara yang dibintanginya dan sederet perempuan yang pernah mengisi hatinya. Maka dapat dikatakan keduanya adalah  pesohor di Indonesia sekalipun dengan dua profesi yang berbeda.

Sekalipun keduanya memiliki latar belakang berlainan namun media massa sangat kuat memusatkan perhatian pada persoalan-persoalan pribadi kedua tokoh  pada waktu yang hampir  bersamaan. Artinya media massa tak kunjung lelah  selalu menyajikan serangkaian peristiwa yang terus menyertai keduanya baik menjelang persiapan hingga pelantikan presiden bagi Jokowi dan persiapan hingga pernikahan bagi Rafi. Dalam hal ini publik tidak lagi dapat membedakan mana tayangan yang bernuansa politis dan mana tayangan yang bernuansa hiburan. Keduanya telah dikemas sedemikian rupa menjadi tayangan infotainment yang menggelitik keingintahuan publik.

Ruang Privasi Jokowi dan Rafi

Umumnya bagi sebahagian orang, ruang privasi adalah area yang hanya diketahui orang yang berkepentingan ditambah sedikit orang saja. Sebab privasi menjadi area yang sangat personal. Suatu hal yang privat tidak selalu rahasia. Artinya peristiwa biasa dan pengalaman kehidupan sehari-hari tidak harus selalu dengan sengaja ditutup, tetapi tetap dipertahankan sebagai area personal. Dalam konteks ini, kerahasiaan bisa menjadi bagian atau bentuk dari keadaan yang disebut privasi ketika  diterjemahkan sebagai kondisi seseorang yang merasa terlindungi dari intervensi orang lain.

Privasi memungkinkan seseorang menjaga informasi  kehidupan pribadi yang menjadi keabsahan seorang individu dengan tidak melibatkan orang lain. Dengan demikian ada seperangkat mekanisme bagi seseorang untuk mengontrol reputasi, yang membuat orang lain tetap memiliki jarak dengan dirinya, sehingga menghasilkan aturan mengenai derajat interaksi sosial dengan orang lain.

Ruang privasi yang semestinya menjadi area personal tidak lagi berlaku bagi Jokowi dan Rafi Ahmad. Bagi media massa area privasi justru menjadi sasaran tembak  menghadirkan proses produksi yang sarat daya tarik. Hal ini ditunjukkan dengan serangkaian informasi di media massa yang memberitakan bagaimana Jokowi angkat kaki dari ruang kerja di balaikota Jakarta, siapa penjahit baju yang akan dikenakan pada saat pelantikan dan dari mana asal kain tersebut, dan bagaimana Jokowi minta diajari menunggang kuda oleh Prabowo yang notabene melupakan lawan politiknya dalam pemilihan presiden.

Isu-isu privat yang diproduksi media mengenai Jokowi menjelang pelantikan presiden sebenarnya tidak beda dengan berita mengenai Rafi Ahmad yang bersiap mengakhiri masa lajangnya. Media terus mengorek informasi yang mampu mengungkap kisah cinta Rafi dengan pasangannya sekarang, maupun sederet perempuan yang sebelumnya sempat dekat dan dianggap memiliki hubungan spesial dengan Rafi. Bagaimana dan siapa yang memperkenalkan Rafi dengan Nagita, hingga problem-problem yang mencuat selama masa pacaran, melalui testemoni ibunda Rafi pun tak luput dari intaian media massa.

Komodifikasi Privasi di Media

Hadirnya berbagai atribut privasi di ruang publik melalui media massa menunjukkan gejala bahwa media telah menjadi agen industri budaya yang secara kontinyu dan massif mampu menciptakan kebutuhan palsu bagi publik.  Secara sederhana, ketika barang dan jasa secara kontinyu diproduksi untuk memenuhi kepentingan pasar maka dapat diartikan sebagai komodifikasi (Jary, 1991). Komodifikasi dalam konteks media massa merupakan proses di mana informasi yang ditayangkan dikemas sedemikian rupa dengan standar industri hiburan dengan ukuran kekuatan daya tarik yang sekaligus mendatangkan sejumlah keuntungan melalui para pengiklan maupun daya jual media.

Publik sejatinya menyadari bahwa informasi mengenai Jokowi  berkaitan dengan program-program yang akan membawa negara ini menjadi lebih baik. Bahkan sampul majalah Time bergambar Jokowi dengan headline “A New Hope”. Artinya informasi terkait dengan masa depan negara seharusnya menjadi topik yang esensial  diperbincangkan.

Namun media massa sangat kuat memompakan budaya populer dengan mengangkat informasi privat untuk didesakkan kepada publik dengan metode standarisasi, massifikasi dan berujung pada kepentingan komersialisasi. Dalam konsep budaya massa kondisi tersebut  merupakan komodifikasi yang sudah dikemas sedemikian rupa secara terstruktur oleh para petinggi media.

Dalam konteks ini sebenarnya media massa telah menunjukkan evolusi perpindahan ruang publik ke ruang media. Evolusi ditunjukkan dari kemampuan media massa dalam menginstitusionalisasi praktik perbincangan area privasi di ruang publik menuju ruang media. Oleh karena itu tanpa sadar publik telah menghirup simbol-simbol dan tanda-tanda yang dieksplorasi untuk selanjutnya diindoktrinasi  sebagai sebuah kebenaran yang dapat diterima oleh akal sehat.

Dengan demikian mengkonsumsi informasi  hal-hal privasi baik mengenai Jokowi maupun Rafi Ahmad, akhirnya ditumbuhkan sebagai sebuah kebutuhan memenuhi keingintahuan yang besar mengenai kehidupan privat keduanya. Akibat komodifikasi ruang privat  memunculkan sebuah realitas bahwa publik berhak memperoleh informasi sedetil-detilnya mengenai seorang tokoh tanpa memikirkan bahwa area privat merupakan hak dari setiap individu untuk dilindungi kerahasiaannya. Sehingga ketika sesuatu yang dianggap menjadi “hak” publik tadi tidak terpenuhi, media seolah mendapat pembenaran mendesak tokoh itu agar membuka area privatnya. Akhirnya ketika publik merasa terpuaskan oleh terbongkarnya informasi privat para tokoh yang dituangkan  media masa, maka pada saat itulah industri media telah berhasil meramu sebuah komodifikasi penokohan yang mampu menjadi kekuatan daya jual bagi industri media.

Dapat dikatakan bahwa kesuksesan komodifikasi Jokowi dan Rafi Ahmad tidak lebih dari fakta bahwa publik memiliki cara pandang yang terpisah dan beragam tentang seorang tokoh. Fakta tersebut lebih menghibur dibandingkan dengan drama atau cerpen berbasis naskah. Artinya, sebagian besar publik sebagai audiens media massa belum dapat memisahkan mana informasi yang berguna dan mana yang sekedar menghibur. Kondisi ini menjadi lahan empuk bagi industri media untuk memanfaatkan kemasan sedemikian rupa menjadi sebuah ramuan yang menjual.

*Ike Devi Sulistyaningtyas M.Si, dosen Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Search

Pengumuman