Komunikasi Politik dan Kecerdasan Publik

Bernas Jogja,  Selasa, 2 April 2013

Oleh Setio Budi HH

Pemilihan umum 2014 tinggal menghitung bulan. Berbagai kalangan, dari partai politik, tokoh politik dan pihak-pihak yang memiliki kepentingan dan agenda masing-masing telah melakukan persiapan, bahkan jauh hari sebelumnya. Pertarungan politik jangka pendek yaitu pemilu legislatif dan pilpres, semakin “keras” karena petahana, “SBY” telah dua kali terpilih menjadi presiden, sehingga pertarungan  semakin terbuka.

Parpol yang mana?

Mencari partai politik yang bersih dan memiliki integritas? Pertanyaan yang sangat sulit untuk dijawab. Dalam beberapa tahun terakhir citra dan reputasi partai-partai runtuh karena kasus korupsi ataupun kasus-kasus lain,  karena latar belakang sejarah  tokoh partai yang problematik seperti pelanggaran hak asasi manusia, maupun kasus yang berdampak luas lainnya.

Sementara publik juga melihat praktek-praktek politik melalui pilkada yang kerap kali penuh aspek “money politic”, “black campaign”, termasuk berbagai indikasi kecurangan yang bersifat sistemik, yaitu melibatkan pihak-pihak secara terorganisir. Ketika partai politik tidak cukup memiliki ruang untuk menampung dan mengorganisir kepentingan publik secara riil, maka partisipasi publik kemudian hanya bersifat mobilisasi pada kegiatan-legiatan kampanye atau sosialisasi partai. Partai kemudian menjadi sekedar tempat meraih kekuasaan ekonomi dan politik segelintir elit. Fenomena yang kemudian terjadi adalah jatuhnya aktor politik yang telah memiliki posisi baik di legislatif maupun eksekutif, dari tingkat bawah atau lokal sampai pada level nasional, karena berbagai skandal korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Peringatan para analis  mengenai biaya politik yang tinggi untuk menjadi anggota legislatif, pejabat eksekutif lokal maupun nasional dan untuk menghidupkan mesin partai, ada hubungannya dengan berbagai penyelewengan tersebut. Belum termasuk fenomena pejabat turun di tengah jalan untuk mencapai ambisi politik dan dinasti politik. Bahkan modus tersebut  sampai saat ini tetap terus berlangsung. Menjadi pertanyaan penting adalah apa yang dipikirkan publik mengenai hal tersebut? Akankah gejala apatisme politik dan golput semakin kuat? Apakah konstituen partai di akar rumput tetap memiliki “loyalitas buta” pada partainya?

Perilaku Komunikasi Politik

Steven Foster (2010) mengemukakan mengenai konsep pemasaran politik dan riset opini sebagai dua hal penting dalam kehidupan politik dewasa ini. Pada prakteknya, terutama sejak reformasi, lembaga survei adalah salah satu andalan para kandidat, dan melalui kontribusi media hasil polling digunakan sebagai acuan.

Patricia Moy & Michael Pfau (2000) mengatakan, ada masalah ketika masyarakat tidak memiliki kontak langsung dan akses dengan institusi publik. Mereka tidak memiliki kesempatan melakukan asesmen kinerja institusi-institusi tersebut, termasuk partai politik, dan hal ini akan menimbulkan krisis kepercayaan. Keterbatasan informasi yang dimiliki  publik membuat mereka mencari alternatif. Dalam konteks inilah kehadiran lembaga-lembaga survei menjadi salah satu tumpuan.

Pada sisi lain “modernisasi” komunikasi politik partai, yang sering muncul dengan istilah serangan udara (radio, televisi) dan serangan darat (kampanye massa, terbatas) telah menjadi fenomena penting. Sedemikian canggihnya, ketika aktor-aktor politik menggunakan kampanye yang terintegrasi, menggunakan alat-alat: iklan, public relations, “door to door”, media sosial, termasuk kemampuan  melakukan manajemen isu. Menguntungkan bagi mereka yang memiliki media karena memiliki senjata dan amunisi untuk menembakkan informasi dan membentuk opini publik.

Dari kesemua itu, apa untungnya bagi masyarakat atau publik? Yang jelas publik telah digeser oleh institusi politik dan aktornya menjadi sebuah target pasar politik. Kondisi ini perlu dicermati masyarakat pada umumnya, bahwa sosok yang disebut sebagai pemegang kedaulatan tidak lebih sebagai konsumen, dan  atau pelanggan bagi konstituen partai politik. Jika tanpa kesadaran penuh publik, mereka hanyalah sebuah komoditas yang “harus membeli” dalam sebuah pasar politik, dengan taruhan terjebak dalam siklus lima tahunan.

Cerdas dan kritis

Publik yang cerdas dan kritis menjadi taruhan penting dalam kehidupan demokrasi. Kemampuan  menelaah dan berpikir kritis adalah salah satu elemen yang penting. Setidaknya publik bisa memulai dengan tidak gegabah menelan berbagai informasi secara mentah-mentah. Memiliki ruang dan waktu  berpikir sebelum mengambil tindakan adalah langkah yang sangat sederhana. Hal-hal tersebut penting terutama akan sangat mungkin muncul berbagai peristiwa, opini yang terus digencarkan oleh pihak yang berkepentingan untuk memastikan kepentingan dan tujuannya tercapai.

Perlu penguatan masyarakat madani dan jaringan kerjasama antar lembaga atau kelompok masyarakat yang memiliki kepentingan jangka panjang dan substansial, dari sekedar urusan pemilu. Lembaga pendidikan, NGO, lembaga keagamaan, kelompok-kelompok masyarakat harus menjadi inspirasi untuk meingkatkan “awareness”, edukasi dan kekritisan terhadap berbagai fenomena politik. Media yang tidak terkooptasi oleh pemilik yang memiliki afiliasi politik perlu didorong dan berkontribusi  mengembangkan nalar masyarakat.

Sebenarnya tanggungjawab utama adalah negara, termasuk pemerintah, aparat sipil dan militer, yang harus berdiri dan memiliki tanggungjawab membangun kedaulatan rakyat, mencerdaskan publik, agar menjadi bangsa yang kritis dan tangguh. Walaupun hal tersebut cukup menjadi titik perhatian kita, karena pada prakteknya, masih hanyut kepentingan jangka pendek, yaitu pemilu, atau pada warna partai politik yang berkuasa saja.

*Setio Budi HH, dosen Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Search

Pengumuman