Analisis Kedaulatan Rakyat, Senin, 8 April 2013
Oleh Lukas S Ispandriarno
KOMUNIKASI politik berfokus pada pemindahan informasi di antara politisi, media dan publik. Di era demokrasi saat ini, di mana kemerdekaan pers menjadi salah satu karakternya, tiga aktor utama yakni politisi, media dan publik memainkan peran penting. Politisi yang dimaksud termasuk pejabat pemerintah dan militer, penjaga negara dari kebangkrutan. TNI membutuhkan media untuk menyampaikan informasi agar segala kebijakan dipahami masyarakat. Media massa mencari, mengolah dan menyebarkannya demi mencerahkan kehidupan warga, lalu publik merespons pesan itu.
Sejak penyerangan LP Cebongan (23/03/2013) hingga pernyataan keterlibatan Kopassus oleh tim investigasi TNI AD (04/04/2013), media menaruh berita ini di halaman depan. Pada awalnya publik disuguhi pesan komunikator TNI, Pangdam IV Diponegoro Mayor Jenderal TNI Hardiono Saroso, berupa bantahan keterlibatan Kopassus. Di Istana Merdeka (25/03/2013), Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal TNI Pramono Edhie Wibowo mengatakan, penyerangan di LP hingga menewaskan empat orang tahanan masih gelap. Apalagi, saksi-saksi yang menyaksikan penembakan seluruhnya tewas di lokasi kejadian. Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono (27/03/2013) mendeteksi keterlibatan TNI AD dan memerintahkan pembentukan tim investigasi dipimpin Wakil Komandan Pusat Polisi Militer AD Brigjen Unggul K Yudhoyono.
Ketua Tim mengumumkan hasil penyelidikan, serangan ke Lapas Sabtu, 23 Maret 2013, pukul 00.15 WIB diakui dilakukan oleh oknum anggota TNI AD Grup Dua Kopassus Kartasura. Berita mengejutkan ini dilahap media. Televisi, radio, media terutama koran, menempatkan di ruang utama. Kedaulatan Rakyat (05/04/2013) menulis: Oknum Kopassus Turun Gunung, Akui Eksekusi Preman: Penyerang Lapas Siap Tanggung Jawab. Media penyiaran menggelar bincang bincang, menghadirkan pengamat, anggota DPR, Ketua Komnas HAM. Inilah cara media menggali, mengolah dan menyebarkan informasi lanjutan atas pernyataan tim investigasi.
Pernyataan tim mendapat penghargaan berbagai pihak, termasuk Gubernur DIY Sultan HB X. Berbarengan dengan itu, dukungan pemberantasan preman muncul dalam rupa spanduk di Surakarta dan Yogyakarta. KR menulis (06/04/2013): Ribuan SMS diterima KR, Dukung Pemberantasan Premanisme. Institusi TNI AD menuai sorotan serta dukungan media dan publik, setelah beberapa hari menutup diri dari dugaan keterlibatan Kopassus.
Mengikuti Pippa Norris (2010), peran media dalam demokrasi dan pembangunan merupakan tema menantang. Media memainkan agenda setting berupa headline untuk menyebarkan isu. Dengan pembingkaian (framing), media menekankan liputan yang menajamkan konteks dan latar belakang. Tujuannya supaya publik memahami dan menerjemahkan kerja-kerja pemerintah, lembaga politik serta proses kebijakannya. Bahkan sejak penyerbuan LP Cebongan, media menggiring khalayak pada agenda ini. Koran memilih judul-judul menantang, menggugah sensasi, agar isu ini terus diikuti. Media cetak Yogyakarta berlomba memasang judul panas.
Surat kabar melakukan pembingkaian dengan menonjolkan pilihan kata tertentu namun kurang memberi penajaman konteks dan latar belakang. Di kesempatan lain, media membuka ruang berupa tanggapan khalayak. Kolom SMS Suara Rakyat warna merah milik KR yang biasa tampil di halaman tujuh, naik derajat ke halaman satu. Penggunaan kata ribuan tentu mengejutkan sekaligus menimbulkan pertanyaan, berapa ribu?
Secara substansial, pembingkaian media bisa dikategorikan ke dalam dua hal. Pertama mengangkat isu premanisme, artinya melawan premanisme. Isu didukung judul dan narasumber, termasuk suara rakyat. Media mengajak warga memberantas premanisme di kota pendidikan Yogyakarta. Sejumlah tanggapan di media sosial mendukung pemberantasan premanisme dengan kekerasan. Pembingkaian kedua mengarah pada kebijakan pemerintah agar membawa pelaku penyerangan ke pengadilan umum, bukan militer. Isu ini telah muncul sebelum tim TNI AD diterjunkan, berkaca pengalaman silam di mana pengadilan militer menjadi sarang kekebalan (impunity). Pengadilan terhadap pelaku penembakan mahasiswa pada Mei 1998 merupakan catatan hitam TNI.
Kedua isu akan terus bertarung di media. Khalayak yang jeli melihat media mana, milik siapa, berorientasi ke mana, akan lebih menonjolkan salah satunya. Pernyataan tim investigasi TNI membungkam segudang isu lain, juga institusi lain khususnya Kepolisian.
(Penulis adalah Dekan FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta)