Masyarakat (Gemar) Menghujat

Bernas Jogja, 7 Februari 2012

Oleh Ike Devi Sulistyaningtyas

Nama Afriyani Susanti dalam kasus kecelakaan maut yang terjadi 22 Januari 2012, belakangan ini bak selebritis yang lalu lalang di jagad media massa Indonesia, baik news maupun infotaintment. Komunitas penyuka jejaring sosial juga tidak mau ketinggalan  turut meramaikan perbicangan tentang sosok Afriyani. Salah satu jejaring sosial yaitu facebook  berhasil mengundang 55.507 fans  (akses tanggal 31 Januari 2012), dan 8000-an facebooker untuk berkomentar melalui account “Mendukung Hukuman Mati Afriyani Susanti Tersangka Tragedi Gambir”. Namun pada tanggal yang sama pukul 20.59 WIB, wall pada account ini ditutup oleh administratornya untuk menghindari semakin banyaknya hujatan dan kata-kata jorok. Setelah ditutup masih banyak permintaan dari facebooker agar administrator membuka wall pada account ini.

Terlepas dari dibuka atau ditutupnya wall pada  account tentang Afriyani di facebook, judul dari account tersebut sama menyeramkannya dengan kasus yang menimpa Afriyani.  Terlebih lagi jika kita menelusur seluruh isi dalam account tersebut sebelum wall ditutup, maka hujatan, makian, cacian dan kata-kata jorok tampak sangat dominan. Para Facebooker tanpa segan dan sungkan melontarkan komentar sinis dan sarkastis. Berikut beberapa komentar yang saya kutip “dihukum aje seumur hidup! kalo perlu sampe mati”, “death penalty”, “mau mampus 10x juga bloom cukup ni orang” dan masih banyak lagi hujatan yang sangat  sarkastis dalam pandangan saya. Beruntung sang administrator cepat tanggap menutup wall dari account tersebut, sehingga facebooker lain hanya bisa membaca tanpa bisa mengisi komentar yang tidak layak dikonsumsi publik.

Gemar Menghujat

Berkaca pada komentar para facebooker dapat diasumsikan bahwa hal ini merupakan  gambaran nyata masyarakat kita. Jika boleh diibaratkan saat ini masyarakat kita telah menjadi masyarakat yang gemar menghujat. Sekalipun melalui teks dan disampaikan dalam dunia maya, namun pada intinya bentuk komunikasi tertulis tersebut menunjukkan bagaimana masyarakat kita sedang mengomunikasikan ekspresi emosional. Sebagaimana diutarakan oleh William I. Gorden (1978) salah satu fungsi dalam berkomunikasi adalah komunikasi yang  ekspresif. Komunikasi ekspresif dapat dilakukan sejauh komunikasi menjadi instrumen untuk menyampaikan perasaan-perasaan (emosi) kita.

Teks yang secara verbal diekspresikan melalui facebook tersebut telah memunculkan kolektivitas pergeseran nilai, norma  dan aturan dalam berinteraksi. Siapapun, kapanpun, di manapun, usia berapapun sudah tidak lagi merasa malu dan tabu menghujat di depan publik. Menurut Gudykunst dan Kim (1992) penataan sosial berkembang berdasarkan interaksi dengan orang lain dan pada akhirnya pola-pola perilakunya menjadi konsisten. Lingkungan akan menjadi pengaruh yang cukup besar dalam merespon atau menyandi balik sebuah peristiwa yang ditemui. Bisa dibayangkan jika lingkungan mengajarkan bahwa setiap peristiwa yang tidak terpuji harus mendapatkan ganjaran berupa hujatan, maka upaya untuk mewujudkan perdamaian dunia nyaris tidak akan pernah terwujud.

Mencari yang Salah

Bayangkan saja betapa mudahnya tudingan kesalahan itu dialamatkan kepada sebuah peristiwa. Kekacauan seolah menjadi kesalahan dari “seseorang”. Mengutip filosof Prancis Rene Descartes (1596) “Cogito Ergo Sum” (saya berpikir, maka saya ada) begitulah kira-kira niatan para facebooker untuk menunjukkan eksistensi kekuatan verbalnya di dunia maya. Ke “aku-an “ untuk menuding dia yang bersalah dan aku yang benar begitu kental dalam hujatan tersebut. Tetapi yang menjadi pertanyaan adalah : betulkah “dia” yang bersalah? bukan “aku” atau “kita”?

Kecelakaan maut yang menelan korban 12 orang dengan 9 orang tewas tersebut memang sangat memilukan dan memprihatinkan. Bahkan sangat mengobrak-abrik emosi kita. Namun mengapa kita acapkali terjebak menjadi masyarakat (yang) menghujat? Lupa bahwa ada asap berarti ada api. Lupa pula bahwa sosok Afriyani adalah sosok generasi penerus kita. Keprihatinan kita terhadap Afriyani, adalah juga keprihatinan kita terhadap gaya hidup dan perilaku generasi muda.

Bisa dikatakan bahwa masalah yang kita hadapi adalah sebuah realitas kehidupan masyarakat yang saat ini cenderung hedonis, individualis, dekaden, konsumtif, turunnya nilai-nilai dan norma dalam menghargai kehidupan. Sehingga tidak jarang kita temui peristiwa penggunaan narkoba sebagaimana yang dilakukan Afriyani, disertai dengan peristiwa lain seperti seks bebas, mabuk minuman keras, judi, bunuh diri, tawuran dan peristiwa kriminal lainnya.

Peran “Kita”

Jika kita mau menelisik lebih dalam lagi pada kasus Afriyani, maka gejala yang tergambar pada perilaku Afriyani dan ungkapan para facebooker dalam hujatan-hujatannya merupakan lukisan degradasi moral masyarakat. Kenikmatan yang ditawarkan beberapa butir ekstasi menjadi budaya hidup yang penuh tipu daya. Namun sebuah pertanyaan besar mengemuka.  Bagaimana mungkin ibu, keluarga dan para tetangga Afriyani tidak pernah menduga bahwa  ia adalah seorang pengguna narkoba. Mengapa Afriyani mengonsumsi narkoba? Bagaimana peran keluarga dalam mendampingi pertumbuhan jati dirinya? Siapakah bagian dari keluarga? Jawabannya terpulang pada kita semua, peran kita dalam keluargalah yang menjadi penentu dan memegang peranan penting di dalam perubahan keluarga khususnya dan masyarakat umumnya.

Ketimbang lelah menghujat seseorang dengan cacian dan makian, lebih baik memikirkan upaya memperbaiki moral dan perilaku kita agar menjadi lebih baik. Ungkapan yang membangun dan bukan bertujuan destruktif sangat dibutuhkan sebagai asupan energi melakukan tantangan penyadaran moral. Kita bisa memulai dari hal yang paling kecil, dengan memperhatikan peristiwa paling sederhana.

Sebagai langkah konkrit untuk tumbuh menjadi masyarakat yang jauh dari kegemaran menghujat, saya ajukan 4 pokok peran sebagai tantangan penyadaran moral. Pertama, optimalisasi peran “kita” dalam keluarga. Dimulai dari mengumpulkan informasi yang cukup dan penghayatan mendalam untuk memahami era kekinian. Issue di era gadget ini pastilah berbeda dengan era radio amatir jaman dahulu. Dengan memahami era, akan menciptakan jembatan pola asuh yang harmoni antara orang tua dan anak. Kedua, menempatkan agama bukan hanya sebagai pranata sosial, tetapi ditempatkan sebagai variasi yang menyenangkan bagi manusia dalam menjalani hidupnya dengan menjanjikan pegangan hidup dan nilai-nilai yang humanis. Ketiga, kekuatan peran lembaga pendidikan dalam membentuk karakter manusia. Dalam rangka membangun karakter bangsa maka  karakter manusia merupakan mental investment yang sangat berharga. Keempat, kekuatan legitimasi hukum negara sebagai pelengkap dari peran keluarga, agama dan pendidikan. Peran keempatnya tidak dapat berdiri sendiri-sendiri, melainkan harus bersinergi sebagai kekuatan penyadaran moral secara berjamaah.

Ike Devi Sulistyaningtyas, M.Si, dosen Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Atma Jaya Yogyakarta

 

 

 

 

 

Search

Pengumuman