Bernas Jogja, Selasa 31 Juli 2012
Oleh Yudi Perbawaningsih
Ada sebuah teori komunikasi yang disebut teori Agenda Setting. Teori ini adalah salah satu dari sekian banyak teori efek media yang berasumsi bahwa media memiliki kekuatan untuk membentuk pikiran khalayak. Agenda adalah hal yang diprioritaskan untuk dimuat atau dibicarakan atau dipikirkan. Teori ini menjelaskan bahwa isu yang dianggap penting oleh media (agenda media) akan dianggap penting pula oleh publik (agenda publik). Bahkan, media pun mempengaruhi publik tentang apa yang dipikirkan dan bagaimana memikirkannya. Sebaliknya, jika media tidak menganggap penting maka demikian pula publik tidak mengganggap penting.
Pada perkembangannya, agenda media dan agenda publik bukan merupakan hubungan kausalistik yang linier tapi timbal balik. Agenda media juga dipengaruhi oleh agenda publik. Bahkan, hubungan timbal balik ini tidak hanya melibatkan dua agenda tersebut tetapi juga agenda kebijakan dan agenda institusi. Jadi, isu yang priortitas diberitakan oleh media adalah merupakan produk dari sebuah interaksi antar berbagai kepentingan. Namun, jika merujuk pada fungsi dan peran media massa sebagai pengawas (watchdog) lingkungan sosialnya, semestinya media memiliki peran yang bebas dari pengaruh berbagai kelompok kepentingan tersebut. Yang menjadi prioritas semestinya apa yang seharusnya dibutuhkan publik dan untuk kepentingan kesejahteraan publik. Media massa seharusnya memiliki komitmen untuk hal tersebut.
Redaksi Penentu Agenda
Dalam kasus media cetak atau surat kabar, isu dikatakan menjadi penting oleh surat kabar ditunjukkan oleh beberapa indikator seperti kolom yang digunakan cukup luas, penempatan berita di halaman pertama, kolom tengah atas, judul dimuat dalam ukuran huruf yang besar, dan ada gambar/foto yang besar dan berwarna. Dari satu edisi surat kabar, kita dapat mengidentifikasi isu yang menjadi agenda utama, kedua atau malah tidak menjadi agenda surat kabar tersebut. Setiap media cetak memiliki agendanya masing-masing, isu yang menjadi berita utama oleh media yang satu, bukan berarti menjadi berita utama bagi media yang lain. Rapat redaksi yang menentukan agenda ini.
Seberapa besar kepentingan berbagai pihak ikut menentukan agenda media? Itu tergantung kepada kebebasan dan kemandirian yang dimiliki oleh tim redaksi dalam surat kabar itu. Idealnya, redaksi memiliki kebebasan itu sekalipun itu dibatasi oleh kepentingan publik yang luas atau masyarakat. Dalam konteks ini, kecil kemungkinan, iklan akan diletakkan di halaman pertama sebuah media cetak karena itu indikasi bahwa yang menjadi isu penting bagi media itu adalah iklan, karena isi dari sebuah iklan tentu tidak perlu dijadikan agenda penting bagi masyarakat. Jika sebuah koran berani melakukan hal tersebut dapatlah disimpulkan bahwa media ini sudah di bawah kendali agenda pemodal. Juga bukan tidak mungkin, orientasi beritanya adalah untuk membangkitkan konsumsi publik bukan media pengawas lingkungan (surveillance).
Iklan di Halaman Utama
Membaca surat kabar beberapa saat lalu, pemerintah Australia mengkhawatirkan media massa di negara itu akan “disetir” oleh pemilik modal. Hal ini diakibatkan oleh penempatan si pemilik modal sebagai anggota tim redaksi sebuah media massa nasional Australia (Kompas, 20/6/2012). Pemilik modal ini dikhawatirkan akan melakukan intervensi pada penentuan agenda media, dan agenda pemilik modal yang akan menjadi agenda media, padahal kepentingan pemilik modal ini berseberangan dengan kepentingan pemerintah. Mengabaikan kemungkinan adanya permainan politik, kasus ini cukup jelas menunjukkan adanya kecenderungan upaya mereduksi kebebasan redaksional.
Tak hanya di Australia, akhir-akhir ini, sudah beberapa kali media cetak di Indonesia, baik lokal dan nasional, menempatkan iklan satu halaman penuh di halaman pertama. Tidak perlu diragukan bahwa informasi itu adalah komoditas yang mahal, oleh karena itu media akhirnya menjadi lahan bisnis dan bahkan menjadi industri. Ini berarti bahwa modal finansial menjadi sangat dibutuhkan. Dapat diduga betapa besar uang yang diterima untuk iklan satu halaman di halaman depan, dengan tetap mencantumkan head cover nama koran tersebut. Jika merujuk pada teori agenda setting, media massa ini telah menggiring publik untuk lebih memikirkan produk pengiklan dibanding isu-isu sosial lain yang mungkin lebih perlu bagi publik.
Surat kabar yang sejatinya adalah berisi berita di halaman utama, digusur oleh iklan yang notabene adalah bukan berita. Ini jelas menunjukkan bahwa kebijakan redaksi dikalahkan oleh kebijakan bisnis atau pemasaran. Kepentingan publik secara terang-terangan digusur oleh kepentingan ekonomi pemilik media. Tidak hanya itu, penempatan iklan di halaman pertama menunjukkan bahwa surat kabar tersebut secara sengaja telah menghilangkan jati dirinya sendiri, dan sejatinya dia tidak lagi layak disebut surat kabar. Ini adalah hal yang memprihatinkan. Fenomena yang tentu perlu menjadi perhatian media massa di Indonesia.
Cara Berbisnis pada Media Berita
Sebetulnya ada satu cara yang dapat ditempuh untuk tetap memperoleh dukungan finansial dari para pengiklan tanpa menggeser kebijakan redaksional. Iklan –berapapun besar halaman yang digunakan- dijadikan satu bendel. Bendel ini tidak diletakkan dengan cara “menyelimuti” tetapi terpisah dari halaman berita yang menjadi isi surat kabar. Bendel iklan ini tetap diberikan bersama dengan surat kabar kepada pembacanya, bahkan dapat diberikan cuma-cuma tanpa harus membeli atau berlangganan surat kabar tersebut. Setidaknya cara ini dapat memelihara eksistensi surat kabar yang peduli pada kepentingan publik. ***
Yudi Perbawaningsih, dosen Teori Komunikasi pada Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta