Analisis Kedaulatan Rakyat, Sabtu, 3 Mei 2014
Oleh Lukas S. Ispandriarno
SEBUAH media gaya hidup ekslusif Millenary.com (16/4/2014) menampilkan jam tangan model Richard Mille RM 011 Filipe Massa Flyback Chronograph ‘Black Kite’ senilai Rp1,1 miliar yang dikenakan Panglima TNI Jenderal Moeldoko. Sejumlah media Singapura menulis hal yang sama dan kemudian menimbulkan kehebohan di media sosial. Media Inggris The Telegraph (26/4/2014) mengabarkan aksi sang jenderal membanting arloji yang disebutnya palsu. Selain menceritakan ulah Moeldoko, media ini mengutip celotehan twitter Lucky Harri. Berbagai komentar juga muncul di facebook sejumlah warga Indonesia penyuka The Millenary. Juru bicara KPK menilai Panglima TNI Jenderal Moeldoko wajib melaporkan kekayaannya kepada KPK termasuk jam mewahnya.
Kekayaan Moeldoko pernah jadi sorotan media ketika ia menjalani proses uji kelayakan dan kepatutan di DPR sebelum ditetapkan sebagai Panglima TNI. Berdasarkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) pada 25 April 2012 yang sampaikan ke KPK, harta kekayaan Moeldoko mencapai Rp 36 miliar. Dewan Perwakilan Rakyat yang merupakan lembaga penguji semua jabatan publik, namun dalam melaporkan harta kekayaan ia sendiri bermasalah. Catatan tahun 2006 mengatakan, hanya 33,3% dari 550 anggota DPR RI yang secara sukarela mengumumkan harta kekayaannya. Jauh lebih sedikit ketimbang 48,4 % dari 128 anggota DPD.
Di DIY, berita perihal belum adanya laporan harta kekayaan anggota DPRD DIY luput dari perhatian. Informasi ini bisa diakses di media cetak lokal, di sebuah media online, dan syukurlah di situs DPRD DIY. Dalam pertemuan dengan Pimpinan DPRD dan Pimpinan Fraksi membahas LHKPN, KPK mendesak anggota DPRD DIY memberikan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara sebelum mengakhiri masa jabatan. Menurut Harun Hidayat, staf Fungsional Direktorat LHKPN KPK, rendahnya kesadaran anggota DPRD melaporkan harta kekayaan menjadi kendala mendasar (dprd-diy.go.id, 17/4/2014). Wakil Ketua DPRD Sukedi merespons, belum adanya anggota dewan yang memberikan laporan karena penyerahannya tidak memiliki sanksi tegas yang mengatur. Menurutnya, anggota DPRD bukan pejabat negara, melainkan pejabat publik. “Pejabat negara ada (uang) pensiun, kalau kita gak ada,” katanya. Dikatakan pula, lemahnya pengawasan menjadi dasar tak tertibnya anggota DPRD menyerahkan LHKPN. “Pimpinan ngawasi anggota (untuk memberikan LHKPN) gak boleh karena tidak ada dasar. Orangnya juga susah dicari,” kata Sukedi (jogjakartanews.com, 16/4/2014).
Bagi media, isu kekayaan pejabat pemerintah termasuk DPR memiliki nilai berita tinggi karena menyangkut transparansi dan akuntabilitas pejabat publik. Media menjalankan fungsi sebagai pengawas pemerintah di tengah maraknya korupsi dan kebrutalan politik uang pemilu legislatif 2014. Direktorat LHKPN KPK mencatat sejumlah anggota DPR RI memiliki kekayaan di atas Rp 15 miliar, antara lain Marzuki Alie (Partai Demokrat), Priyo Budi Santoso (Partai Golkar), Taufiq Kiemas (PDIP-kini almarhum), Kemal Azis Stamboel (Partai Keadilan Sejahtera).
Kesadaran atau kesediaan melaporkan harta kekayaan penyelenggara negara bukanlah persoalan ada atau tidaknya ketentuan yang mengatur. Namun lebih kepada ada tidaknya integritas pejabat publik yakni budaya bertanggungjawab, terbuka kepada publik, selain peka pada kondisi rakyat. Pejabat lembaga publik wajib memberikan informasi secara terbuka seperti diamanatkan Undang Undang Keterbukaan Informasi Publik. UU No 14 tahun 2008 menegaskan, keterbukaan informasi publik merupakan sarana mengoptimalkan pengawasan publik terhadap penyelenggara negara dan badan publik lain maupun segala sesuatu yang berakibat pada kepentingan publik. Badan publik adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. UU bertujuan mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, yaitu yang transparan, efektif dan efisien, akuntabel serta dapat dipertanggungjawabkan (Pasal 3d).
Tentu menjadi pertanyaan bila lembaga legislatif yang acapkali melakukan uji kelayakan dan kepatutan calon pemangku jabatan publik tidak pernah melakukan ujian itu pada dirinya melalui LHKPN. Laporan harta kekayaan anggota dewan justru dimaksudkan menegakkan kredibilitas, akuntabilitas, dan transparansi lembaga. Tidak selayaknya pejabat publik pamer kekayaan di kala kemiskinan merebak di negeri ini.
(Penulis adalah Dosen FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta)