Analisis Kedaulatan Rakyat, Senin, 10 Maret 2014
Oleh Lukas S. Ispandriarno
KEBANYAKAN isu perempuan di media lebih pada persoalan tubuh, termasuk wajah ketimbang gagasan ataupun karya-karyanya. Higgins (2012) yang meneliti pers di Inggris menemukan sejumlah hal lain seperti perempuan sebagai objek seks, peran pasif, ataupun jarang diliput. Stereotipe perempuan seksi mendominasi halaman depan koran Inggris dan riset membuktikan 78% halaman muka ditulis oleh laki-laki sementara 84% narasumber yang dikutip juga laki laki.
Menjelang pemilu legislatif (pileg) 9 April media gencar mengabarkan beberapa artis yang diusung partai politik tapi ujung-ujungnya kecaman atas ketidakmampuan dalam politik. Pengecualian terjadi saat Walikota Surabaya Tri Rismaharini digoyang para penentangnya namun media menampilkannya sebagai sosok perempuan politisi yang bekerja, berkarya, berprestasi, tegas, jujur, tidak korup.
Semakin mendekati hari coblosan, tak banyak isu perempuan di media. Kabar menggembirakan muncul awal Januari ketika 42 perempuan calon legislatif DIY yang didukung Forum Komunikasi Perempuan Politik DIY dan LSM Perempuan Narasita mendeklarasikan penolakan praktik politik uang. Para caleg mengusung tiga isu utama, pertama menyelenggarakan pemilu secara jujur, adil, aman, dan damai. Dua menolak praktik politik uang serta korupsi dan ketiga mendorong kebijakan adil jender serta berpihak kepada kelompok masyarakat rentan dan marjinal. Menurut catatan, jumlah perempuan caleg di DIY sebanyak 750 orang dan 250 orang di antaranya berada dalam pendampingan Narasita.
Memang bukan perkara mudah merealisasikan tiga sumpah perempuan caleg yang diungkapkan di DIY tersebut, kendati bukan mustahil. Hambatan besar datang dari partai yang ragu mendukung perempuan sebagai wakil rakyat. Hal ini terlihat misalnya dari urutan di Daftar Calon Tetap Anggota DPR dan DPRD DIY. Sebagai contoh, dari 12 parpol peserta pemilu hanya empat yang menempatkan perempuan di urutan pertama DCT Provinsi sedangkan di DCT Kota Yogyakarta 1 malah hanya tiga parpol. Memang urutan atas yang biasanya diambil pimpinan parpol tidak menjadi jaminan perolehan lebih banyak suara.
Keberhasilan penolakan (zero tolerance) praktik politik uang juga sangat ditentukan keseriusan elite parpol. Tradisi mahar dan sejenisnya yang dipungut dari para caleg menyulitkan perempuan caleg yang tak punya (banyak) uang untuk mendapat tempat memadai di partai. Tentu para perempuan tidak akan berputus asa. Selain mengangkat tiga sumpah itu, juga perlu menguatkan ajakan maupun dukungan perempuan pemilih yang jumlahnya lebih banyak ketimbang laki-laki. Deklarasi emoh politik uang selaras dengan penolakan berbagai kalangan masyarakat atas pelemahan peran KPK yang nyata ditulis di sejumlah pasal RUU KUHPdan RUU KUHAPinisiatif pemerintah.
Berbagai kenyataan di atas melukiskan sistem politik dan pemilu kita belum berpihak pada perempuan. Hasil Pemilu 1999, 2004 dan 2009 membuktikan bagaimana para elite yang berkuasa di era Orde Baru masih terus dan ingin menduduki lembaga-lembaga perwakilan di daerah dan pusat. Media selayaknya menampilkan lebih banyak perempuan yang bekerja, berprestasi, berintegritas dan mendukung peran di ranah politik, khususnya sebagai (calon) anggota legislatif.
(Penulis adalah Dosen FISIPUniversitas Atma Jaya Yogyakarta)