Media Sosial Masuk Kelas?

Bernas Jogja, Selasa, 26  Maret  2013

Oleh Yohanes Widodo

SEPERTI pengguna media sosial pada umumnya, banyak dosen perguruan tinggi di Indonesia menggunakan media sosial semacam Facebook atau Twitter. Hanya saja ada kecenderungan bahwa sebagian besar dosen tidak mengenakan “topi” dosen ketika menggunakan Facebook atau Twitter. Artinya, penggunaan media sosial lebih banyak untuk kepentingan atau kebutuhan pribadi, misalnya untuk bersosialisasi dengan teman-teman atau keluarga daripada kepentingan profesional sebagai dosen. Lantas, bagaimana media sosial (bisa) digunakan untuk mendukung proses belajar-mengajar, khususnya di perguruan tinggi?

Tingkatkan produktivitas

Media sosial adalah media komunikasi interaktif seperti blog, wiki, podcast, Facebook, Twitter, Youtube, jurnalisme warga seperti Kompasiana, dan lain-lain. Bagi dosen, penggunaan media sosial di dalam kelas akan meningkatkan produktivitas, komunikasi, dan pemahaman anak didiknya. Media sosial bisa digunakan untuk mendukung aktivitas belajar mengajar sehingga lebih efektif.

Pertama, karena media sosial banyak digunakan oleh mahasiswa atau siswa/remaja. Kalau pun belum punya akun, orang dengan mudah bisa membuatnya.

Kedua, media sosial bisa diakses oleh publik. Dengan demikian, apapun yang diunggah di media sosial bisa diakses oleh khalayak luas. Dengan demikian, tugas-tugas mahasiswa tidak hanya dibaca atau dinilai oleh dosen, tetapi juga dibaca, dinilai dan dikritisi oleh khalayak luas (peer and public review).

Ketiga, media sosial bersifat interaktif, sehingga pembaca atau users bisa memberikan komentar atau bahkan menyebarluaskan ke komunitas terbatas atau publik yang lebih luas.

Jessica Socheski (2012) memaparkan beberapa manfaat atau langkah yang bisa dilakukan oleh dosen untuk menggunakan media sosial dalam proses belajar-mengajar. Pertama, dosen dengan mudah bisa ditemui atau diakses oleh mahasiswa. Ada kecenderungan bahwa mahasiswa enggan untuk datang menemui dosen pada jam kerja. Untuk itu, dosen bisa mengefektifkan jam kerja online baik pada jam kerja atau di luar jam kerja. Dosen bisa memanfaatkan hashtag Twitter selama jam kerja atau membuat thread diskusi di Facebook. Ini akan meningkatkan keterlibatan mahasiswa dan informasi yang dipublikasikan bisa diikuti oleh seluruh mahasiswa.

Kedua, dosen menugaskan mahasiswa membuat live tweet tentang materi kuliah. Saat kuliah berlangsung, umumnya mahasiswa cenderung asyik dengan gadget mereka sehingga kurang konsentrasi. Dosen bisa mengarahkan kebiasaan penggunaan handphone atau smartphone menjadi lebih efektif dengan menugaskan mahasiswa melakukan live tweet tentang materi kuliah. Penulis pernah melakukannya ketika kuliah umum tentang jurnalisme online oleh Prof. Mindy McAdams dari Florida University. Mahasiswa bisa saling terkoneksi satu sama lain dan dengan mudah mengidentifikasi hal-hal penting dari perkuliahan. Isi perkuliahan bisa ditranskrip secara visual di Twitter dan bisa dilakukan pelacakan melalui tanda pagar atau hashtag (#). Dosen pun bisa mencermati halhal yang ditangkap oleh mahasiswa dan konsep apa yang perlu dielaborasi atau dibahas lebih lanjut.

Ketiga, dosen membuat grup atau halaman (page) di Facebook untuk setiap mata kuliah. Halaman (page) di Facebook di mana para mahasiswa bisa melakukan Like bisa menjadi one-stop information hub yang memungkinkan interaksi antara dosen dan mahasiswa. Halaman di Facebook ini digunakan untuk meng-update tugas kuliah, membuat kelompok diskusi virtual atau sekadar menginformasikan suatu perubahan di kelas. Dosen tinggal menugaskan mahasiswa untuk mengunggah tulisan yang berkaitan dengan isi perkuliahan dan dilanjutkan dengan diskusi di kelas.

Keempat, dosen mendorong mahasiswa untuk berjaringan. Menyadari bahwa proses pembelajaran tidak bisa seratus persen dipenuhi dari aktivitas di kelas, dosen bisa mendorong mahasiswa membangun jaringan dengan para profesional. Dosen bisa merancang tugas yang meminta mereka untuk mencari dan mengidentifikasi kontak para profesional melalui media sosial kemudian meminta mahasiswa untuk membangun kontak dengan orangorang tersebut. Saat ini, relatif sulit bagi para wisudawan untuk mendapatkan pekerjaan tanpa jaringan atau koneksi. Untuk itu, sejak awal para mahasiswa perlu berinteraksi secara intensif dengan orang-orang di bidang yang mereka tekuni.

Kelima, dosen menugaskan mahasiswa untuk menulis lewat blog dalam bentuk mini esai, review atau ringkasan artikel yang mendukung pemahaman mahasiswa terhadap materi. Setiap semester penulis menugaskan mahasiswa membuat akun dan mengunggah tugas atau tulisan di Kompasiana.com atau WordPress.com. Setelah diunggah, mahasiswa mengirimkan link tulisan lewat Twitter sehingga penulis bisa mengaksesnya dari manapun dan  kapanpun. Praktis dan paperless! Kumpulan tulisan ini bisa menjadi “tabungan” sekaligus digital portfolio mahasiswa. Mahasiswa termotivasi untuk menghasilkan tulisan atau karya terbaik, karena mereka tahu bahwa karya mereka akan dipublikasikan dan dibaca banyak orang.

Keenam, dosen membuat playlist di Youtube. Jika playlist Youtube diperbarui dengan video dan informasi baru baik yang ditemukan oleh dosen maupun mahasiswa, maka playlist akan menjadi bahan yang menarik untuk diskusi di kelas. Ditambah lagi jika dosen bisa membuat kanal di Youtube dan mengunggah video perkuliahan yang berlangsung, ini akan membantu mahasiswa me-review dan melihat kembali materi kuliah. Selain itu, karena Youtube bisa diakses publik, maka materi-materi tersebut bisa digunakan siapa pun, termasuk model perkuliahan jarak jauh.

Ketujuh, dosen menggunakan media sosial untuk praktikum. Untuk mata kuliah praktikum seperti produksi program televisi atau jurnalisme televisi, mahasiswa bisa menyiarkan reportase langsung (live reporting) tanpa butuh OB Van, pemancar atau studio. Cukup bermodal kamera dan koneksi internet, mahasiswa bisa menyiarkan program televisi atau live reporting secara real time menggunakan Skype atau Google Hangout. Siaran ini pun bisa diakses dan dinikmati secara langsung oleh publik. Nuansa produksi seperti ini bisa mendekatkan mahasiswa pada situasi produksi program televisi yang sesungguhnya. Dengan Skype atau Google Hangout, dosen juga bisa menghadirkan narasumber atau dosen tamu yang berada di lain tempat luar kota atau bahkan luar negeri secara virtual di kelas. Ini jauh lebih mudah dan murah dibandingkan harus mendatangkan narasumber secara langsung.

Namun, sebelum menggunakan media sosial di dalam kelas, dosen perlu mengajarkan dua hal mendasar tentang media sosial dan bagaimana media sosial bisa berpengaruh (baik negatif maupun positif) bagi mahasiswa. Pertama, tentang pentingnya reputasi online. Kemampuan untuk mengelola reputasi online secara efektif menjadi penting bagi mahasiswa karena perekrut tenaga kerja mencari informasi secara cepat misalnya melalui Google sebelum memutuskan calon yang direkrut. Mahasiswa harus memahami bahwa apa pun jejak atau karya yang mereka tinggalkan di internet bisa diakses publik. Kedua, mahasiswa perlu menunjukkan atau mengembangkan keahlian di bidang yang diminati atau dipelajarinya. Mahasiswa perlu sejak dini belajar bagaimana mengelola akun media sosial mereka dan memanfaatkannya untuk keuntungan mereka. Misalnya, mahasiswa perlu didorong melakukan aktivitas blogging sesuai dengan passion mereka dan terlibat dalam komunitas online sesuai passion mereka (Alex Summers, 2012).

Adanya kendala

Bagi dosen yang masih gagap teknologi (gaptek) dan kurang adaptif atau enggan memanfaatkan perkembangan teknologi, cenderung agak sulit untuk menggunakan media sosial di kelas. Apalagi jika ada kebijakan universitas atau fakultas yang melarang penggunaan media sosial di lingkungan kampus. Ketika dosen mulai menggunakan media sosial di kelas pun bisa muncul persoalan, terutama terkait keterlibatan dan partisipasi mahasiswa. Untuk itu perlu semacam rekayasa, dalam arti bahwa keterlibatan itu diharapkan atau diminta. Dari awal misalnya perlu disampaikan bahwa kelas akan lebih menyenangkan dan akan ada pengalaman belajar yang lebih baik ketika semua bisa terlibat. Pada prinsipnya, media sosial bisa digunakan untuk menyebarkan informasi (materi kuliah atau hyperlink) atau bahkan menjadikannya medium pembelajaran kolaboratif. Agar efektif, media sosial perlu menjadi bagian integral dari kurikulum di kelas yang diperhitungkan sebagai bagian dari nilai akhir perkuliahan. Hal ini penting untuk mendapatkan perhatian maksimal dari mahasiswa. Dengan demikian, perkuliahan atau pembelajaran di kelas makin dinamis, interaktif, dan menantang bagi mahasiswa dengan didukung penggunaan media sosial. ***

Yohanes Widodo, Dosen Prodi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Search

Pengumuman