Bernas Jogja, Selasa, 29 April 2014
Oleh Bonaventura Satya Bharata, SIP, M.Si.
Indonesia baru saja melewati satu fase penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pemilu 2014 sukses digelar 9 April memilih calon anggota DPR, DPRD, DPD. Pemilu merupakan sarana demokratis untuk membentuk pemerintahan yang berbasis pada kedaulatan rakyat. Seperti pemilu tahun 2004 dan 2009, pada pemilu 2014 masyarakat memilih langsung calon-calon wakil rakyat dan calon presiden yang dikehendaki. Dengan usainya pemilu legislatif, tercatat beberapa hal yang perlu dievaluasi, khususnya sehubungan dengan metode kampanye yang digunakan.
Perhelatan pemilu 2014 harus diakui mendorong dinamika komunikasi politik di berbagai wilayah lebih bergairah. Sejak Agustus 2013, organisasi politik dan para pelaku politik, mulai dari partai politik, caleg, dan capres, ramai-ramai turun gelanggang memperkenalkan diri mereka ke masyarakat. Setelah KPU resmi mengumumkan Daftar Calon Tetap Legislatif pada awal Agustus 2013, ruang-ruang publik di kota dan daerah dipenuhi beragam alat peraga kampanye. Hari-hari besar nasional dan keagamaan menjadi alunan pesan yang mewarnai isi poster, spanduk, banner, dan baliho yang terdapat di lokasi-lokasi strategis, perempatan jalan, jembatan penyeberangan, termasuk pula dinding-dinding gedung-gedung besar yang menyolok mata warga masyarakat. Bahkan di bawah rindangnya pepohonan, sering ditemukan wajah-wajah para caleg berupaya menyapa dengan ramah warga masyarakat.
Kampanye merupakan salah satu bentuk proses komunikasi politik. Kampanye dimaksudkan agar warga masyarakat selaku pemilih dapat mengenal lebih jauh profil dan program kerja dari calon legislatif dan calon presiden. Namun demikian kegiatan kampanye sering tidak dioptimalkan. Para caleg sering terjebak dengan metode kampanye konvensional, seperti menggunakan spanduk, baliho (papan reklame), banner, dan poster. Belum lagi kampanye dengan konvoi kendaraan bermotor yang dimodifikasi sehingga menimbulkan bunyi memekakkan telinga. Metode kampanye ini tentu tidak ramah lingkungan dan menganggu kenyamanan masyarakat.
Perlu kampanye cerdas sebagai bentuk komunikasi politik agar memberikan impresi citra yang baik sehingga masyarakat tertarik memberikan dukungan di bilik suara. Tidaklah mengherankan bila dalam beberapa tahun terakhir, bidang keilmuan komunikasi politik di Indonesia mulai melirik kajian pemasaran, khususnya kajian pemasaran politik. Pemasaran politik atau yang lebih dikenal dengan political marketing (Lilleker dan Marshment, 2005: 5) merupakan penggunaan konsep-konsep dan teknik pemasaran dalam ranah politik. Pemasaran dalam politik memberikan perhatian pada bagaimana organisasi politik atau pelaku politik membina hubungan baik dengan warga masyarakat atau publik selaku customer.
Political marketing menjadi relevan dalam konteks sekarang ini. Kegunaannya pun sebenarnya tidak hanya pada masa pemilu. Sepanjang berlangsungnya sistem politik di sebuah negara, political marketing dapat digunakan organisasi politik dan pelaku politik untuk berproses dalam komunikasi politik yang tengah berlangsung. Heryanto dan Rumaru (2013: 32) menyatakan, political marketing bertugas memberikan dukungan pada komunikasi politik menciptakan hubungan baik antara organisasi politik dan pelaku politik dengan warga masyarakat. Dalam membina hubungan itu, political marketing bertugas membantu organisasi politik dan pelaku politik dalam menyusun program kerja, melakukan pemasaran ide atau gagasan dan aktivitas politik, membina kemitraan, mengkonstruksi citra politik, meriset potensi dan peluang di pasar politik, dan melakukan berbagai pendekatan sesuai dengan perkembangan iklim politik.
Demikian pula pada fase pemilu, political marketing memegang peranan kunci menyukseskan partai politik, calon legislatif, dan calon presiden. Ketiganya tentu perlu membina hubungan yang baik dengan warga masyarakat agar dapat meraih perhatian memadai untuk dipilih pada hari pencoblosan. Ketiganya perlu melakukan proses komunikasi politik dialogis, komunikasi timbal balik antara partai politik, calon legislatif, dan calon presiden dengan warga masyarakat. Komunikasi dialogis (Mulyana, 2013: 32) mengandung makna pihak yang berkomunikasi berusaha melibatkan diri secara intens dengan realitas sosial warga masyarakat selaku pemilih, bahkan memasuki perspektif dan pengalaman batin mereka.
Kajian political marketing sebagai bagian dari komunikasi politik di Indonesia mulai berkembang pada pasca Orde Baru (1998). Dikeluarkannya kebijakan multipartai pada era Presiden B.J. Habibie mendorong organisasi politik dan pelaku politik mempelajari dan mengaplikasikan kajian pemasaran di ranah politik. Hal yang wajar kiranya, karena percaturan politik pasca Orde Baru memiliki kondisi jauh berbeda dengan era Orde Baru. Ditinggalkannya sistem represif Orde Baru dan mulai dikembangkannya iklim demokratisasi bermuara pada kompetisi sempurna antar partai politik untuk memperebutkan kekuasaan pada setiap kali pemilu. Mulai pemilu tahun 2004, kompetisi tersebut ternyata semakin ketat, sehubungan sistem pemilu yang berbeda. Warga masyarakat tidak lagi hanya memilih partai politik, namun juga memilih siapa yang diinginkan menjadi wakil di parlemen. Selain itu, mulai tahun 2004 pula masyarakat di Indonesia memilih langsung presiden dan wakil presiden. Tidak mengherankan bila pada era ini, pelaku politik semakin melirik perlunya aplikasi pemasaran untuk membantu memenangkan kompetisi.
Sebagai perbandingan, di Amerika Serikat kesadaran akan pentingnya pemasaran politik sudah muncul pada tahun 1950-an. Persaingan antara Partai Republik dan Partai Demokrat mendorong keduanya menerapkan political marketing, khususnya pada saat pemilu presiden dan wakil presiden. Seperti saat pencalonan Dwight Eisenhower sebagai presiden tahun 1952, partai Republik secara khusus menyewa perusahaan konsultan Public Relations BBDO (Batten, Barton, Durstin, dan Osborne) untuk membantu memoles kampanye si calon presiden (Maarek, 2011: 11). Perkembangan political marketing berlanjut di saat pencalonan John Fitzgerald Kennedy menjadi presiden pada awal dekade 1960-an. Secara khusus John F. Kennedy dibantu beberapa konsultan public relations menangani kampanye di media cetak dan televisi. Langkah ini diambil karena pihak Kennedy sangat menyadari pentingnya performa ketika ia bertarung melalui ajang debat calon presiden di media massa (Maarek, 2011: 13). Perlunya memberikan perhatian khusus pada political marketing terus berlangsung sampai era Presiden Ronald Reagen di tahun 1980-an.
Setelah era 80-an, Political marketing semakin dirasakan penting seiring dengan perkembangan teknologi komunikasi dan informasi. Memasuki tahun 2000-an, saluran komunikasi untuk implementasi political marketing tidak hanya mengandalkan media massa konvensional (suratkabar dan majalah, radio, dan televisi) namun juga internet. Tengok saja Presiden Amerika Serikat sekarang yakni Barack Obama. Bersama tim suksesnya, ia membuka akun Facebook, Twitter YouTube, dan MySpace pada tahun 2008. Dengan sarana jejaring sosial ini, Barack Obama bersama tim berkomunikasi dengan warga masyarakat selaku calon pemilih dengan melempar isu atau permasalahan positif untuk didiskusikan. Walau efek penggunaan media jejaring sosial belum dapat diukur secara langsung waktu itu, namun paling tidak Obama berhasil mendapatkan perhatian 1,5 juta pengunjung website, mendapatkan supporter sebesar 3,2 juta di akun facebook, dan juga mendapatkan hampir satu juta orang di akun MySpace.
Belajar dari pengalaman di atas, kiranya penting bagi para aktor politik Indonesia, termasuk dalam hal ini caleg dan capres, mulai mempelajari kajian political marketing. Bila para caleg dan capres menyadari dan mengembangkan political marketing, tentu kita sebagai warga masyarakat berharap memperoleh kualitas kampenye pemilu yang lebih baik. Kampanye pemilu yang tidak hanya sekedar berhura-hura tak berisi, merusak lingkungan, dan mengganggu kenyamanan masyarakat. Sebaliknya dengan mempertimbangkan dan mengaplikasikan political marketing, kampanye pemilu yang akan datang tentu akan semakin bermartabat.
*Bonaventura Satya Bharata, SIP, M.Si.,dosen Ilmu Komunikasi FISIP-Universitas Atma Jaya Yogyakarta