Menghibur Diri Sampai Kapan?

Bernas Jogja, Selasa, 7 Januari 2013

Oleh Diyah Hayu Rahmitasari*

 

Dalam bukunya, Amusing to Death (1985) atau Menghibur Diri Sampai Mati (1995), Neil Postman menyebutkan bahwa salah satu sifat khas televisi adalah “pseudo-konteks”, yaitu struktur yang diciptakan untuk membuat informasi yang parsial dan tidak penting menjadi tampak seolah-olah berguna (1995: 86). Konsekuensinya, muncul anggapan bahwa esensi dasar dari televisi adalah untuk menghibur. Bentuk utama esensinya adalah domestifikasi tontonan yang membuat penonton memiliki kesempatan ‘melihat’ dunia luar langsung dari ruang keluarga mereka. Karena itulah, televisi seketika menjadi populer. Masyarakat Indonesia yang sebelumnya lebih banyak memperoleh hiburan dari bioskop dan pertunjukan langsung kesenian seperti ketoprak, ludruk, wayang kulit dan wayang orang  memiliki alternatif baru dalam memperoleh tontonan (Nugroho & Herlina, 2013: 177).

Sayangnya, dalam “usaha” selalu menghibur tersebut, pengelola televisi cenderung mengedepankan logika pasar dan mengabaikan etika.  Akibatnya, televisi sering menggunakan formula daur ulang. Semisal  menayangkan tontonan serupa atau bahkan persis sama di saat sebuah tontonan tengah berada di puncak popularitas tanpa mengidahkan efek jangka panjang  tontonan tersebut.

Contoh terbaru format daur ulang ini adalah tayangan “Yuk Keep Smile (YKS)” di Trans TV. Awalnya, YKS merupakan tayangan pengantar sahur bertajuk “Yuk Kita Sahur” yang dianggap sukses meraih penonton selama bulan Ramadan tahun lalu. Berdasar anggapan itulah, tayangan ini kemudian “didaur ulang” menjadi tayangan berdurasi kurang lebih empat jam dan berisi hiburan-hiburan banal seperti lelucon sarkastik dan goyangan-goyangan khas yang kemudian dikenal dengan istilah goyang Caesar, goyang kereta, goyang icikiwir hingga goyang oplosan. Sejak itu, YKS menjadi program andalan Trans TV yang terus menerus ditayangkan bahkan menjadi menu utama stasiun televisi ini saat perayaan Tahun Baru 2014.

“Kesuksesan” YKS merupakan bukti kuatnya kultur hiburan dalam tayangan televisi. Dengan sebuah format yang bahkan tidak bisa dikatakan masuk ke dalam genre variety show, YKS menjadi tontonan yang diklaim sangat menghibur masyarakat. Masalahnya memang bukan terletak pada sisi hiburan, tapi ketika hiburan menjadi ideologi utama (bahkan satu-satunya) sebuah medium dalam menerjemahkan informasi dan mendefinisikan diskursus publik, setiap hal dikemas menjadi (sekadar) hiburan dan menghilangkan substansi pokoknya (Postman, 1985:87). YKS dan tontonan-tontonan sejenis membuat seolah-olah agenda kehidupan paling penting adalah bercanda dan bergoyang, mengalihkan isu-isu lain yang jauh lebih penting. Logika serupa pernah juga melandasi tontonan-tontonan nirmedia seperti Gladiatoryang sengaja dibuat untuk mendistraksi masyarakat dari masalah-masalah utama mereka semisal kemiskinan atau korupsi.

Akibatnya, masyarakat kita menjadi berkultur televisi yang menurut Postman (1995: 58) ditandai dengan perayaan hal-hal remeh-temeh, di mana kehidupan budaya didefinisikan sebagai arus hiburan tanpa henti. Informasi krusial terhenti menjadi hiasan running text semata yang dibaca sambil lalu. Maka tidak heran jika penonton  lebih sibuk menghafalkan gerakan goyang oplosan daripada membicarakan persiapan Pemilu 2014. Juga tidak mengherankan jika penonton lebih peduli pada Caesar dibandingkan pada pengungsi Gunung Sinabung yang mencapai ratusan ribu orang.

Selain itu, masyarakat yang berbudaya televisi memerlukan ‘bahasa yang mudah’ baik secara visual maupun aural (berdasarkan pendengaran). Maka wajar ketika televisi menyajikan tontonan-tontonan tidak substansial karena tidak ada “tuntutan” menjadikan serius apalagi beretika. Wajar pula jika penonton menyukai tontonan-tontonan remeh karena mereka menggunakan televisi sebagai sarana pelarian atau eskapisme dari kehidupan sehari-sehari mereka yang sudah berat. Hal ini menjadi lingkaran setan yang susah  diputus dan televisi menggunakan fakta ini  berlindung di balik argumen bahwa tontonan-tontonan banal dan tidak informatif seperti YKSlah yang disukai penonton Indonesia.

Memang, jika berkaca pada sejarah, masyarakat Indonesia mengalami lompatan fase yang cukup serius dari tradisi oral langsung ke tradisi visual, sehingga tradisi baca-tulis kita sangatlah lemah. Menurut Postman (1995:62), kegiatan baca-tulis mempunyai sifat dasar yang serius dan rasional, sehingga dalam suatu budaya yang didominasi oleh media cetak, diskursus publik cenderung diwarnai oleh susunan fakta yang rapi dan logis (1995:63). Sebaliknya, media yang dominan di Indonesia adalah media penyiaran khususnya televisi, sehingga kerapian fakta dan logika seolah-olah memperoleh pembenaran untuk dianggap tidak penting lagi.

Namun, tidak seperti logika di negara lain di mana pendapat penonton (bukan hanya dalam bentuk rating) benar-benar diperhitungkan ketika memproduksi suatu tontonan bahkan dalam pengembangan naskah, penonton di Indonesia adalah pihak paling tidak terlibat dalam produksi maupun distribusi tontonan. Sehingga menyalahkan penonton dalam kasus YKS merupakan bentuk kesesatan pikir. Apalagi jika mengatakan bahwa YKS merupakan representasi selera dari semua penonton Indonesia.

Di awal siarannya, stasiun televisi tidak bisa dikatakan sebagai media massa karena hanya ditonton tidak lebih dari 80.000 penonton (hanya 0.09 persen penduduk Indonesia) (Nugroho & Herlina, 2013: 175). Sekarang, ketika televisi menjadi media dengan tingkat penetrasi tertinggi di Indonesia, tetap saja tidak bisa dikatakan bahwa tontonan yang ada di televisi adalah selera massa. Televisi bekerja semata berdasarkan rating yang diacu dari sumber tunggal yaitu lembaga rating AC Nielsen. Akibatnya, selera pasar ditentukan oleh survei AC Nielsen yang hanya dilakukan di sepuluh kota besar di Indonesia (Nugroho & Herlina, 2013: 335).

Lagipula, selera itu sendiri pada dasarnya adalah hasil konstruksi yang dibentuk berdasarkan dua hal: paparan yang reguler serta terus-menerus dan ketiadaan pilihan. Sebagaimana pepatah Jawa “Witing tresno jalaran soko kulino” yang sering juga diplesetkan menjadi “Witing tresno jalanan ora ono liyo”, selera masyarakat atas tontonan televisi juga dibentuk oleh paparan secara terus-menerus dari acara yang sama sehingga lambat-laun menjadi suka serta minimnya atau bahkan ketiadaan pilihan (karena hampir semua stasiun menayangkan tontonan yang mirip untuk tidak mengatakan persis sama). Dengan kecenderungan seperti ini, sepertinya televisi akan terus mendikte selera kita dan membuat kita terus menerus menghibur diri. Barangkali sampai mati seperti yang diramalkan Neil Postman atau minimal sampai kita cukup berani untuk mematikan televisi.

* Penulis adalah dosen Ilmu Komunikasi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Search

Pengumuman