Search

Menjaga Yogyakarta Murah dan Nyaman bagi Wisatawan

Bernas Jogja, Selasa 28 Agustus 2012

Oleh: Lucinda

Yogyakarta baru saja mengalami (lagi) kesibukan luar biasa dengan melimpahnya wisatawan saat Lebaran. Predikat kota wisata yang melekat pada Yogyakarta membuat banyak wisatawan tiada henti berkunjung terutama pada saat liburan seperti Lebaran. Sejumlah tempat seperti pantai selatan, Kaliurang, desa wisata, keraton, dan Malioboro tidak menyisakan ruang,  semua dijejali wisatawan yang ingin menikmati keindahan dan suasana khas Yogyakarta.

Sebagai kota pendidikan dan kota budaya, yang memiliki keindahan alam, Yogyakarta menawarkan banyak pilihan. Sudah puluhan tahun kota ini memiliki citra yang baik sebagai kota wisata selain Pulau Bali. Dengan ketenangan dan kenyamanan kehidupan sehari-hari yang lekat dengan kultur Jawa, Yogyakarta memiliki daya tarik kuat, untuk tidak mengatakannya sebagai magis, yang mengikat siapa pun kembali berkunjung ke kota ini. Satu hal yang juga melekat padanya adalah citra sebagai kota yang murah. Status sebagai kota pendidikan dengan  banyak mahasiswa dalam kondisi keuangan terbatas, telah menyulap Yogyakarta menjadi kota dengan biaya hidup yang relatif murah.

Sebagai kota wisata, Yogyakarta memiliki hampir semua syarat Daerah Tujuan Wisata, yaitu something to see, something to do, dan something to buy (Yoeti, 1988: 206).  Yogyakarta juga memenuhi syarat lain yaitu memiliki sesuatu yang berkesan yang mampu menahan wisatawan lebih lama atau mendorong wisatawan datang kembali (Suwena dan Widyatmaja, 2010: 85). Kota ini  terkenal sebagai tempat yang nyaman, banyak hal yang bisa dilihat, banyak barang yang bisa dibeli dengan harga murah, selalu memberikan kesan mendalam kepada wisatawan dengan suasana yang akrab, ramah dan toleran.

Semakin sesak dan semrawut

Citra Yogyakarta yang ramah dan murah membuat kota ini ramai didatangi  pendatang, baik sebagai mahasiswa maupun sebagai calon wirausaha yang mencoba peruntungan nasib. Jumlah penduduk pun meningkat, diiringi dengan pertambahan jumlah kendaraan bermotor. Dalam keseharian saja jalan-jalan penuh sesak pada jam-jam tertentu. Yogyakarta tidak pernah sepi kendaraan bermotor, bahkan dalam masa-masa liburan  ketika sebagian besar pendatang mudik ke kota masing-masing,  tetap ramai karena  wisatawan.

Selama liburan Lebaran lalu, Yogyakarta dipenuhi wisatawan yang membuat semua hotel di kawasan Malioboro penuh. Akibatnya cukup banyak wisatawan terpaksa menginap di kantor Unit Pelayanan Terpadu Malioboro dan masjid-masjid di sekitarnya. Jalan-jalan utama dipenuhi kendaraan luar kota, semua tempat wisata dan toko suvenir dijejali wisatawan. Banyaknya wisatawan dan kendaraan bermotor membuat jalan-jalan utama  macet, misalnya Jalan Mangkubumi, Jalan Brigjen Katamso, selain Malioboro. Tempat-tempat parkir di kawasan wisata dan perbelanjaan penuh sesak kendaraan roda dua dan empat. Bahkan lahan-lahan kosong di kawasan Malioboro yang mendadak berubah menjadi tempat parkir pun tidak mampu menampung semua kendaraan. Kesemrawutan penataan parkir di berbagai obyek wisata juga menyebabkan kemacetan sehingga mengganggu kenyamanan wisatawan dalam menikmati liburan.

Walau semua ini adalah fenomena biasa pada masa-masa puncak (peak season) kunjungan wisata, namun perkembangan jumlah penduduk dan  kendaraan telah membuat kota ini semakin sumpek. Saat ini, kesesakan, kemacetan, dan udara kotor telah membuat Yogyakarta semakin jauh dari citranya di masa lalu sebagai tempat yang tenang dan nyaman bagi siapa saja. Entah karena pemanasan global, volume kendaraan dan jumlah penduduk yang bertambah, atau karena semakin berkurangnya pohon dan lahan hijau, cuaca Yogyakarta pun terasa semakin panas. Namun saat musim hujan tiba, banjir di sejumlah tempat menjadi pemandangan biasa. Saluran air yang tidak terawat dan pelebaran jalan yang menutup selokan air membuat Yogyakarta menjadi kubangan air di mana-mana. Semua ini adalah persoalan perkotaan yang belum terselesaikan dengan baik sehingga dapat memperburuk citra.

Tetap nyaman dan murah

Pemilik toko suvenir terkenal di Yogyakarta mengatakan bahwa alasan utama banyak wisatawan ke Yogyakarta adalah karena Yogyakarta telah menjadi “surga belanja” dengan berbagai produk kerajinan kreatif dan murah. Pakaian batik dan produk kerajinan dengan harga terjangkau  merupakan produk unggulan. Bahkan di masa liburan lebaran para pedagang pasar Beringharjo sepakat tetap memasang harga seperti hari biasa. Mereka tidak serta merta menjual dagangan dengan harga tinggi, memanfaatkan aji mumpung liburan Lebaran. Alasannya, menjaga citra pasar Beringharjo dan Yogyakarta sebagai tempat wisata yang murah.

Secara umum, banyak kalangan mengakui bahwa Yogyakarta masih merupakan kota yang murah, terutama untuk makanan. Kita masih bisa menikmati berbagai kuliner khas dengan harga sangat terjangkau. Angkringan yang bertebaran di segala penjuru kota ini masih memberikan suasana khas Yogyakarta dengan berbagai menu yang sangat murah. Angkringan dengan menu khas nasi kucing dan suasananya membuat kangen siapa pun untuk kembali berkunjung. Bahkan angkringan juga sudah menjadi salah daya tarik pariwisata dan ikon Yogyakarta, terutama yang berada di sepanjang jalan Mangkubumi hingga Stasiun Tugu. Meski ada  pedagang angkringan yang menaikkan harga menjadi dua ribu hingga dua ribu lima ratus rupiah untuk sebungkus nasi kucing, masih termasuk sangat murah untuk ukuran orang  luar Yogyakarta.

Hal seperti inilah yang sebenarnya perlu dipertahankan untuk menjaga citra Yogyakarta sebagai kota yang nyaman  didatangi, ramah bagi siapa pun dan murah banyak hal. Nyaman dan murah sudah menjadi comparative advantage Yogyakarta dibandingkan dengan kota lain. Namun perlu komitmen dari pelaku usaha  pariwisata, seperti perajin, pedagang dan pengusaha yaitu komitmen untuk membuat produk terbaik dengan harga terjangkau demi kepuasan konsumen. Sikap pedagang Beringharjo patut menjadi contoh agar tidak semena-mena mempermainkan harga demi keuntungan sesaat. Wisatawan tidak dijadikan obyek dan target mengejar keuntungan tinggi yang dapat merusak citra. Harga murah juga dapat menjadi competitive advantage  Yogyakarta dalam bersaing dengan kota lainnya seperti Bandung yang juga menawarkan berbagai produk kerajinan, tekstil, dan kuliner murah.

Namun beberapa hal memang berubah, misalnya tarif parkir. Selama ini tarif parkir di Yogyakarta, khususnya mobil, sudah termasuk mahal. Banyak kawasan perbelanjaan  menerapkan tarif parkir progresif sehingga  memberatkan pengunjung yang ingin berlama-lama di pusat perbelanjaan. Sejumlah  pihak  memanfaatkan masa liburan untuk mengeruk keuntungan sebanyak mungkin. Salah satu contoh kasat mata adalah kesewenangan petugas parkir dalam menetapkan tarif  di luar ketentuan. Beberapa media menulis tarif parkir mobil  di Gembila Loka mencapai Rp 50 ribu, tarif motor di Jalan Solo hingga lima ribu rupiah. Tindakan juru parkir  ini telah mencoreng citra positif kota Yogyakarta. Belum lagi masalah kemacetan dan sulitnya parkir membuat wisatawan semakin tidak nyaman.

Dalam dunia pariwisata, kenyamanan adalah aspek penting. Kondisi Yogyakarta yang semakin semrawut, macet, panas, sesak, dan adanya pihak-pihak yang dengan sengaja mencari keuntungan besar dari wisatawan perlu menjadi perhatian serius pemerintah dan pelaku wisata. Dalam keseharian pun, penduduk Yogyakarta sudah merasakan panas, sesak, macet dan semerawut. Sejuk dan nyamannya Yogyakarta mulai memudar.  Bila penduduk lokal mulai merasakan ketidaknyamanan  wisatawan merasakan pula.

Memang ada hal-hal yang tidak dapat dicegah, seperti melimpahnya wisatawan yang datang ke Yogyakarta pada saat tertentu. Namun masalah yang mengganggu kenyamanan dapat dipikirkan solusinya, seperti penataan lahan parkir yang lebih profesional namun tidak mahal, pengaturan atau pengalihan arus lalu lintas pada obyek-obyek wisata favorit agar tidak terjadi kemacetan dan kesesakan yang mengganggu, dan pembinaan bagi petugas parkir agar tidak menaikkan tarif parkir seenaknya. Dan yang juga penting adalah komitmen semua yang terlibat dalam pariwisata untuk memberikan yang terbaik kepada wisatawan. Semua ini dilakukan untuk menjaga dan mempertahankan citra positif Yogyakarta sebagai kota wisata yang nyaman, menyenangkan, aman, dan murah.***

Lucinda, Staf Pengajar Prodi Sosiologi, FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta,  mahasiswa S3 Prodi Kajian Pariwisata, Universitas Gadjah Mada.

Search
Categories