Menuju Jurnalisme Warga Profesional

Harian Satelit Post, Senin, 30 September 2013

Oleh Olivia Lewi Pramesti

JURNALISME warga atau sering disebut dengan citizen journalism sangat potensial dikembangkan di Indonesia seiring perkembangan teknologi komunikasi. Jurnalisme ini merupakan perwujudan konsep public sphere yang diperkenalkan pertama kali oleh Habermas pada abad 18. Public sphere atau ruang publik merupakan zona bebas tanpa intervensi dimana masyarakat sipil bisa mengemukaan opini tertentu tentang sesuatu hal.

Dalam konsep ruang publik, media menjadi wakil yang dipikirkan publik tentang isu kemasyarakatan. Menurut McQuail dalam bukunya Teori Komunikasi Massa, edisi 6, media harus memperluas ruang debat, mengedarkan informasi dan gagasan sebagai dasar untuk opini publik, menghubungkan warga dengan pemerintah, menyediakan informasi yang bergerak, menantang monopoli pemerintah dalam hal politik, serta memperluas kebebasan dan keragaman publikasi (2011: 201).

Kemunculan jurnalisme warga dipicu oleh ketidakpuasan masyarakat atas media mainstream yang tidak berpihak pada warga. Media mainstream cenderung memiliki kepentingan tertentu. Bahkan di Indonesia sendiri, media bersinggungan dengan kepentingan ekonomi dan politik. Lewat jurnalisme warga ini, informasi memang bebas dari kepentingan dan semua ditujukan untuk kesejahteraan warga. Warga menjadi produsen dan konsumen berita.

Jurnalisme warga di Indonesia mengalami trend seiring peningkatan penggunaan media online. Jurnalisme warga di Indonesia berawal dari stasiun radio yakni Radio Sonora Jakarta saat kerusuhan Mei 1998. Para pendengar melaporkan apa yang dilihat dan dialami ke radio tersebut. Situs-situs jurnalisme warga pun mulai bermunculan seperti Wikimu.com, Panyingkul.com, Jalin Merapi (merapi.combine.or.id), dan sebagainya. Bahkan jurnalisme warga ini makin memasuki ranah media mainstream di Indonesia seperti Kompasiana.com, KabarIndonesia.com, dan beberapa situs citizen journalism yang dimiliki oleh beberapa televisi swasta.

Kemunculan jurnalisme warga tentu saja membawa persoalan baru. Pelaku jurnalisme warga ini berasal dari kalangan jurnalis non profesional yang tidak mendapat pengetahuan utuh soal teknik dan etika dalam jurnalisme. Lebih lagi, pelaksanaan jurnalisme warga ini belum tertuang penuh dalam UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 serta Kode Etik Jurnalistik. Persoalan terberat lagi adalah jurnalisme warga ini masih menjadi kontroversi dalam dunia jurnalistik. Pihak yang pro jelas mengatakan jurnalisme ini bagian dari praktik jurnalisme karena melaporkan sebuah fakta atau peristiwa. Sedangkan pihak yang kontra mengatakan jurnalisme ini tidak bisa dipercaya karena berita tidak melalui proses edit berita yang justru menjadi faktor penting.

Menurut Dan Gillmor, Pendiri Centre for Citizen Media, jurnalisme warga memiliki tantangan tersendiri. Tantangan ini meliputi konten yang serius dan layak berita, antusiasme warga dalam menulis, kapasitas untuk menghasilkan karya berkualitas, kredibilitas penulis, akuntabilitas (berita dapat dipertanggungjawabkan), kompensasi warga, serta kepimpinan. Tantangan ini pun masih dibarengi dengan pemahaman warga soal UU Pers dan kode etik jurnalistik.

Menuju jurnalisme warga yang profesional memang tidak mudah. Berdasarkan hasil riset penulis tahun 2012 soal Jalin Merapi dan sudah diperbaruhi sekarang, warga masih memiliki keterbatasan soal kaidah jurnalistik yang benar. Berdasarkan hasil wawancara dengan seorang pelopor, Sukiman, antusiasme warga untuk menulis juga tidak mudah dipupuk karena tidak ada kompensasi dalam penulisan. Dana terbatas karena pembiayaan berasal dari warga sendiri. Ia pun menambahkan standar jurnallisme yang dikembangkan hingga sekarang adalah berita benar, tidak memicu konflik, sopan, dan verifikasi data. Namun demikian, standar jurnalisme warga ini belum bisa dipahami optimal karena minimnya pengetahuan warga soal jurnalistik dan teknologi komunikasi.

Tantangan-tantangan ini perlu dipahami oleh pelaku jurnalisme warga baik yang sudah menekuni maupun yang ingin menekuni. Tidak menutup memungkinkan, kemajuan teknologi komunikasi ini mendorong warga sipil untuk menciptakan situs berita pribadi seperti blog, situs penyiaran video, komentar-komentar pribadi, dan sebagainya.
Jurnalisme warga menjadi harapan untuk perkembangan jurnalisme baru di Indonesia mengingat jurnalisme mainstream saat ini sudah berpihak pada berbagai kepentingan. Profesionalitas jurnalisme warga menjadi hal yang sangat penting diperhatikan. Profesionalitas mengacu pada soal teknik dan etik yang harus dipahami oleh pelakunya.

Untuk menuju profesionalitas ini, keberadaan jurnalisme warga perlu didukung oleh jurnalisme mainstream. Perlu ada kolaborasi antar keduanya misalnya dalam bentuk pelatihan jurnalistik, sharing soal media dan etika, pelatihan penggunaan teknologi, dan sebagainya. Organisasi profesi jurnalis pun bisa saling bekerjasama untuk mendukung perkembangan jurnalisme warga ini. Soal kerjasama dengan jurnalisme mainstream ini, kata Sukiman, sulit terjamin karena keengganan mainstream terhadap netizen (sebutan untuk jurnalis warga).

Sementara itu, pelaku jurnalisme warga juga perlu terus menerus belajar dan terbuka untuk menerima masukan dari berbagai pihak. Soal keterbatasan dana yang sering dijadikan kendala tersendiri, sebenarnya bisa diatasi. Justru persoalan yang terpenting terletak pada sejauh mana jurnalis warga bisa meningkatkan kualitas mereka terkait pemberitaan yang soal isu-isu sosial. Maukah menjadi jurnalis profesional? (*)

Olivia Lewi, Staff Pengajar Universitas Atma Jaya Yogyakarta

 

Short URL: http://satelitnews.co/?p=34028

Search

Pengumuman