Oleh Lukas S. Ispandriarno
‘SBY Ambil Alih Kepemimpinan PD: Anas Dipastikan Tersangka’ Inilah berita utama (headline) media massa tepat di Hari Pers, 9 Februari. Kehebohan partai politik telah menjadi makanan empuk pers. Tahun politik sekaligus penen raya bagi pers.
Kemerdekaan pers dirayakan dalam peringatan Hari Pers di Manado. Sejumlah media mendapat penghargaan termasuk harian Kedaulatan Rakyat. Indeks kemerdekaan pers dunia tahun 2013 versi ‘Reporters without Borders’ menempatkan Indonesia di urutan 139, tepat di atas India (140). Tiga negara diktator berada di urutan terbawah, Turkmenistan (177), Korea Utara (178), Eritrea (179).
Pers Indonesia sungguh menikmati kemerdekaannya. Berbagai isu diberitakan, dari yang memang sangat penting (significance), berpengaruh luas (magnitude), perseteruan (conflict) hingga yang tidak bermutu (sensational). Prahara yang menimpa partai politik dan pimpinannya merupakan peristiwa yang tidak bakal terlewatkan. Pertanyaannya, apa kepentingan pers mengangkat kehebohan partai politik?
Scott London (1993) menulis bahwa dalam sejumlah riset efek media, relatif sedikit perhatian diberikan pada pembingkaian berita. Pandangan London ini tentu saja usang, tidak lagi berlaku di dunia akademik, khususnya di sejumlah kampus yang memiliki program studi Ilmu Komunikasi di Indonesia. Telah terdapat puluhan skripsi maupun tesis mahasiswa yang mengangkat topik pembingkaian berita (news framing).
Pembingkaian dilakukan dengan menggunakan sudut pandang (angle) tertentu yang dipengaruhi oleh semacam ideologi media. Penggunaan kata, istilah, metafora merupakan praktik pembingkaian sekaligus wajah ideologi media. Semua ini dilakukan sistematik, dimulai dari reporter atau jurnalis di lapangan, redaksi, hingga campur tangan pemilik media.
‘Derita’ yang dialami sejumlah elite partai sebenarnya merupakan hasil karya Komisi Pemberantasn Korupsi (KPK). Kendati demikian, kerja saling mendukung antara KPK dengan pers membuahkan tekanan luar biasa bagi parpol bermasalah. KPK bekerja keras membongkar kebusukan elite parpol, setelah menemukan bukti yang cukup lalu menetapkan seseorang atau sejumlah orang sebagai tersangka dan media mewartakannya. Semakin tinggi posisi pejabat parpol, semakin besar dan tebal huruf judul beritanya, semakin sering diusung media elektronik.
Kepentingan pers menyoroti kebusukan pengurus parpol adalah mengabarkan kepada publik bahwa tidak pantas elite partai berperilaku seperti itu. Partai politik adalah organisasi yang dibentuk untuk mewakili kepentingan beragam atau sekelompok masyarakat tertentu. Partai dibentuk untuk memperjuangkan kesejahteraan warga negara. Namun kecenderungan menunjukkan bahwa partai dikelola elite untuk kepentingan mereka dengan menggerogoti uang rakyat. Korupsi oleh partai sangat melecehkan pemilih, pendukung dan simpatisannya. Sudah selayaknya partai busuk tidak dipilih lagi dalam pemilu.
Perkembangan kepemilikan perusahaan televisi yang mengerucut pada segelintir orang menimbulkan persoalan yang sangat mengkhawatirkan. Ketua Dewan Pers, Bagir Manan, di Manado mengatakan agar jangan cemas dengan pers partisan. Alasannya, dari 500 penerbitan pers di Indonesia, mungkin hanya dua yang partisan. Pendapat Bagir Manan tergolong naif, karena kendati hanya dua, namun bila medianya adalah televisi dan pemiliknya menjadi ketua parpol tentu kenyataan ini tidak boleh dianggap angin lalu.
Persoalannya, media televisi memiliki karakter yang berbeda dengan media cetak. Walapun media cetak bisa memanfaatkan teknologi komunikasi dengan menerbitkan versi online sehingga penyebarannya meluas ke seantero dunia. Namun ‘budaya online’ baru dimiliki kalangan terbatas, khususnya menengah ke atas. Mayoritas khalayak media televisi di republik ini adalah kalangan menengah ke bawa. Sehingga dua stasiun televisi yang pemiliknya menduduki ketua parpol akan dengan leluasa memanfaatkannya untuk berjualan sekaligus mencekoki khalayak dengan pesan-pesan politik. Keberhasilan Susilo Bambang Yudhoyono dan Partai Demokrat tampil sebagai pemenang pemilu 2004 dan 2009 adalah karena dukungan media massa.
Ketua Dewan Pers barangkali alpa bahwa perusahaan televisi sukses melakukan bisnis dan memengaruhi khalayak karena ia membajak frekuensi yang menjadi milik negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kepentingan masyarakat. Kemenangan sejumlah taipan media dalam ‘judicial review’ yang diajukan Koalisi Independen untuk Demokrasi Penyiaran membuktikan bahwa pemilik modal tetap di atas angin kendati ada beberapa Hakim Agung di Mahkamah Konstitusi yang memiliki pandapat berbeda (dissenting opinion).
Sangat disayangkan, sorotan pers terhadap kebusukan parpol telah semakin menjatuhkan martabat partai politik dalam sistem politik demokrasi saat ini. Adalah tugas partai untuk melakukan kaderisasi kalangan muda dan merekrut mereka menjadi kader-kader yang berintegritas dan bermartabat.