Bernas Jogja, 22 April 2014
Oleh Ike Devi Sulistyaningtyas
Hari Kartini yang baru saja kita lewati pada 21 April merupakan penanda bagi laju gerak perempuan Indonesia. Tentu saja masyarakat selalu menjadikan penanda itu diperingati sekaligus mengenang perjuangan Kartini. Seremonial peringatannya ditandai dengan mengenakan pakaian adat Jawa oleh perempuan berupa kebaya, yang identik dengan penampilan Kartini pada abad ke 18. Bahkan bukan hanya perempuan yang mengenakan pakaian adat, pada beberapa lembaga pendidikan dasar dan menengah, laki-lagi juga dianjurkan mengenakan pakaian adat. Peringatan hari Kartini seolah-olah menjadi festival pakaian adat.
Makna Kebaya dan Kartini
Adakah yang salah dengan kebaya Kartini dalam peringatannya? Kebaya dalam pemaknaannya merupakan manifestasi budaya dan mozaik histori busana perempuan Indonesia, dengan rona pesona estetika yang membumi. Bentuk kebaya nyaris menutupi seluruh tubuh perempuan, dengan proporsi unik karena ukurannya mengikuti bentuk tubuh. Kebaya dikenakan perempuan Jawa sebagai penghormatan bagi tubuh perempuan maupun bagi orang lain. Kualitas feminisme perempuan pada masa itu salah satunya terwujud pada kebaya yang dikenakan. Artinya perempuan menjadi sosok feminin ketika mengenakan kebaya, sebab kebaya memberikan ruang gerak yang mampu menampilkan keanggunan dan kesopanan. Pada akhirnya kebaya menjadi komoditas lahiriah yang menggambarkan perempuan dengan tipikal lemah lembut, sopan, tenang, damai dan penuh kasih. Dalam hal ini, Kartini merepresentasikan kesempurnaan perempuan pengguna kebaya. Kesempurnaan dihasilkan dari perpaduan perempuan yang memiliki latar belakang keluarga bangsawan, kepatuhan terhadap adat istiadat, kesantunan terhadap keluarga, sekaligus sebagai perempuan anggun, lembut, tangguh serta cerdas. Kecerdasan Kartini tidak hanya diperuntukkan bagi dirinya, namun dilakukannya karena memikirkan perempuan Indonesia di kala itu yang tidak memiliki hak sejajar dengan laki-laki dalam pendidikan dan pengembangan diri. Ia menginginkan perempuan-perempuan lain yang notabene berkebaya memperoleh hak untuk maju dan berkontribusi dalam lingkungan sosial.
Dalam sejarah, kegigihan Kartini berhasil menghadirkan sekolah perempuan di Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon, dan daerah lainnya. Beberapa sekolah yang didirikan diberi nama “Sekolah Kartini”. Keharuman namanya melalui sekolah yang didirikan tidak membuat Kartini tinggi hati, ia tetap santun, menghormati keluarga, serta tidak membedakan yang miskin dan kaya.
Kartini dan kebaya menjadi paket yang sempurna sebagai wujud perempuan kreatif dan cerdas. Paket inilah seharusnya yang menjadi instrumen kuat dalam seremonial peringatan hari Kartini. Pada hakikatnya peringatan hari Kartini dinaungi nilai-nilai yang tertuang pada perilaku dan cita-cita Kartini. Oleh karena itu semangat yang dapat diemban perempuan abad ini adalah pengembangan kreativitas agar perempuan memiliki hak dan mendudukkan diri sejajar dengan laki-laki. Bahkan ketika perempuan diposisikan sebagai pendamping laki-laki, maka perempuan harus menjadi pendamping aktif dalam menata kehidupan keluarga, masyarakat dan negara.
Aktor Perubahan
Kartini dalam wacana ini ditempatkan sebagai aktor perubahan yang piawai dengan berbagai kecakapannya. Kehidupannya di tengah keluarga yang berpendidikan, kesempatannya mempelajari bahasa Belanda dan jejaringnya yang cukup luas menjadi nilai plus bagi perempuan di masa itu. Kecakapan inilah yang memampukan Kartini melalui surat-suratnya menyuarakan perempuan memperjuangkan hak-haknya untuk maju. Narasi yang dibubuhkan Kartini pada masa itu, masih terus dapat dituliskan Kartini Kartini masa kini, di tengah konstruksi modernitas yang progresif dan kekayaan perspektif dalam mengurai berbagai fenomena.
Dengan kata lain, Kartini modern mengusung hakekat feminisme sebagai gerakan transformasi sosial yang tidak selalu memperjuangkan soal perempuan belaka. Dengan demikian perjuangan jangka panjang tidak sekadar upaya pemenuhan kebutuhan praktis kondisi kaum perempuan, atau dalam rangka mengakhiri dominasi gender dan manifestasinya seperti: eksploitasi, marginalisasi, subordinasi, pelekatan stereo tipe, melainkan perjuangan transformasi sosial ke arah penciptaan stuktur yang secara fundamental baru dan lebih baik.
Rekonstruksi Kebaya Kartini
Kreativitas dan kecerdasan yang dipadukan dengan nilai-nilai feminisme pada kebaya masih sangat relevan direkonstruksi dengan kemajuan jaman. Perempuan dan posisinya saat ini membutuhkan konstruksi utuh. Pengembangan kapasitas perempuan dalam kualitas feminisme menjadi sebuah tantangan meneruskan cita-cita Kartini.
Hal ini menjadi diskusi cukup penting, manakala perempuan masa kini dengan mudah mengakses pendidikan dan hak-haknya sejajar dengan laki-laki, namun memiki kecenderungan melepaskan kualitas feminin yang melekat pada dirinya. Boleh dikatakan perempuan justru ingin menjadi tiruan laki-laki (male clon). Hal ini cukup kuat mengemuka di saat perempuan mulai menilai rendah pekerjaan domestik yang orientasinya pada keluarga, dan menganggap tinggi pekerjaan publik yang orientasinya pada aktualisasi diri. Keadaan perempuan kadangkala terjebak pada kuasa maskulinitas ketika berada di ruang publik. Perempuan rakus memperebutkan materi dan status yang dikonstruksikan secara terbatas untuk diperebutkan. Lihat saja bagaimana Ratu Atut dan Angelina Sondakh yang notabene pernah berada di ruang publik, pada akhirnya terjebak keserakahan materi.
Jika perempuan modern berkaca pada Kartini masa itu, kekuatan kecerdasan dan kreativitas Kartini tidak lantas menafikan peran perempuan dalam keluarga. Dalam hal ini Kartini tetap menempatkan dirinya dalam balutan kebaya, artinya kecermerlangan kiprah Kartini bukan tanpa dijiwai kualitas femininnya. Dengan melihat realitas yang dilakukan Kartini, maka saat inipun kualitas feminin tidak lagi dianggap inferior. Hal ini dimaksudkan agar perempuan dengan segala kapasitas intelektual dan ketrampilan yang dimiliki tetap dilengkapi dengan kualitas feminin. Dengan kata lain, sebagaimana feminisme Kartini yang berkebaya pada jaman itu, perempuan modern dapat mengartikulasikannya untuk mengubah dunia dengan kualitas feminin yang dimilikinya. Dengan kesantunan, kelemahlembutan, keanggunan, kasih sayang dan naluri keibuannya, perempuan dapat mengubah dunia dengan keindahan, menggerakkan solidaritas sosial yang didasari kasih sayang, merawat lingkungan dengan sentuhan lembut dan menjadi pemelihara keluarga dan lingkungan dengan curahan cintanya.
Oleh karena itu, ketika perempuan mengenakan kebaya saat memperingati hari Kartini, akan hadir rekonstruksi perempuan modern dan segenap atribut kualitas femininnya. Perempuan dituntut menjadi pribadi utuh pada habitat yang beragam, dengan kemampuannya membaca peristiwa di luar dirinya, menggali dan meresponnya (Handoko, 2012). Maka jangan sampai momentum hari Kartini hanya sekedar berisi aneka lomba berkebaya, bersanggul, dan bermake up, tapi mari kita maknai lebih dalam. Perjuangan Kartini harus dilanjutkan, mengingat masih banyak permasalahan perempuan di negeri ini. Semoga kebaya Kartini tidak hanya menjadi simbol semata, namun melandasi terwujudnya perempuan humanis, cerdas, kreatif dan dapat menciptakan iklim kondusif penuh kasih bagi Indonesia. Selamat Hari Kartini.
*Ike Devi Sulistyaningtyas, M.Si, staf pengajar Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Imu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Atma Jaya Yogyakarta