Representasi Kekerasan Terhadap Transgender Waria

Bernas Jogja, Selasa 26 November 2013

Oleh Dina Listiorini

Setiap 20 November sejak 1999 secara internasional diperingati hari yang disebut Transgender Day of Rememberance,  menghormati meninggalnya seorang transgender perempuan, Rita Hester yang dibunuh di Massachusetts pada 1998.  Kata transgender dalam pembicaraan keseharian di masyarakat Indonesia kurang populer dibandingkan  waria. Bila mendengar kata tersebut, orang cenderung membayangkan sosok tubuh tegap berambut panjang, berpayudara besar silikon, berwajah, berbusana, berbicara dan berperilaku “seperti perempuan”. Para waria ini lebih banyak dibayangkan bekerja di sektor informal seperti di salon, rias pengantin, ngamen di jalan, atau menjadi pekerja seks. Konsep “perempuan yang terjebak dalam tubuh laki-laki” pun kerap dilekatkan untuk mendefinisikan waria.

Di Indonesia terdapat beberapa istilah untuk menyebut waria, dan kata yang populer digunakan adalah banci. Namun  banci  banyak digunakan sebagai makian atau olok-olok.  Kalimat seperti “Dasar banci lu, masa urusan gitu aja ngga berani?” umum dilontarkan pada laki-laki yang dianggap tidak atau kurang berani atau lemah menghadapi sesuatu. Waria juga dikenal dengan wadam, namun kata ini jarang digunakan. Konon ada larangan menggunakan kata tersebut karena bersinggungan dengan nama  nabi (Nabi Adam). Istilah lain adalah wandu (Jawa, Sunda), bencong (Minang). Namun kata bencong sendiri pun sama halnya dengan kata banci juga kerap digunakan untuk mengejek atau memperolokkan seseorang terutama ekspresi gender laki-laki yang lebih tampak feminin daripada maskulin.

 

Siapakah Transgender?

Dalam kosakata seksualitas, mengacu  A Glossary of Terms in Gender and Sexuality karya kerjasama The South East Asian Consortium  on Gender, Sexuality and Health dengan The Rockefeller Foundation dan Ford Foundation, istilah transgender (selanjutnya akan disebut TG) di tahun-tahun terakhir ini banyak  digunakan  mengacu  kategori “jenis kelamin ketiga” dengan representasi lebih banyak ditemukan seperti pada bakla di Filipina atau waria di Indonesia. Sesungguhnya bakla atau waria hanyalah salah satu dari perwujudan TG, yakni dari laki-laki ke perempuan (dalam perbincangan seksualitas dikenal sebagai MTF/Male to Female). Masih ada satu lagi yakni dari perempuan ke laki-laki (dikenal sebagai FTM/Female to Male). Di Indonesia ada istilah priawan bagi TG laki-laki seperti kata waria digunakan oleh TG perempuan. Identitas legal/formal para FTM ini adalah perempuan, yang dilekatkan melalui kartu identitas resmi seperti KTP/SIM/Paspor, namun dalam ekspresi gender, mereka lebih menunjukkan kemaskulinan. Misalnya saat ke kantor mereka lebih suka mengenakan atribut khas laki-laki seperti kemeja, celana dan sepatu laki-laki. Bahkan ada yang pergi ke masjid dengan menggunakan sarung dan kopiah serta mengikuti sholat Jumat sebagaimana diwajibkan bagi laki-laki muslim.

Beberapa istilah yang mengacu pada “gay” atau “homoseksual” juga kerap dilekatkan pada TG, namun hal ini sebenarnya tidak tepat mengingat TG bukan sekedar masalah orientasi seksual belaka; ada gaya hidup yang berbeda baik TG laki-laki maupun perempuan yang masih kontroversial di masyarakat. Sebagian bisa menerima, sebagian lagi menolak.

 

Representasi Kekerasan pada Waria

Sebagaimana kelompok LGBTI lainnya seperti gay, lesbian, biseksual, interseks yang mendapatkan banyak kekerasan karena keberadaan mereka tidak diterima di banyak masyarakat di dunia termasuk Indonesia, demikian pula dengan TG. Penelitian Arus Pelangi (organisasi yang mengadvokasi LGBTI) pada tiga kota yakni Makassar, Jakarta dan Yogyakarta tahun 2013 menyebutkan  5 (lima) bentuk kekerasan yang dialami oleh LGBTI yakni kekerasan psikis, kekerasan fisik, kekerasan ekonomi, kekerasan budaya dan kekerasan seksual. Dari semua kelompok orientasi seksual seperti lesbian, gay, biseksual dan interseks yang diteliti, kelompok TG (baca: waria)  mengalami kekerasan terbanyak. Orang tak dikenal, keluarga, tamu, preman, dan bahkan teman dalam komunitasnya banyak melakukan kekerasan pada mereka.

Kekerasan baik fisik maupun psikis yang diterima waria dari keluarga misalnya, lebih banyak disebabkan keluarga merasa bahwa mereka (waria) menjadi aib atau membuat malu keluarga. Keluarga merasa bahwa anak mereka yang waria perlu “diobati” atau “diluruskan” sehingga menjadi “normal” atau “sembuh” kembali. Kekerasan psikis maupun fisik pun lalu dianggap wajar  menuju proses kesembuhan atau kenormalan.  Penelitian juga menyebutkan bahwa waria mendapatkan kekerasan ekonomi terbanyak dibanding gay, lesbian, biseksual dan interseks. Hal ini disebabkan penampilan waria yang dianggap “aneh” dalam dunia kerja formal atau ‘kantoran’ dibandingkan gay atau lesbian yang lebih mampu menyembunyikan orientasi seksual mereka. Kekerasan budaya terhadap waria paling banyak dilakukan oleh keluarga. Kekerasan budaya ini antara lain berupa keinginan keluarga agar waria bisa menikah dan menunjukkan bahwa ia “normal” sehingga tidak membuat aib bagi keluarga. Kekerasan budaya ini menurut hasil penelitian pada akhirnya menjadi pijakan  melegalkan kekerasan lain seperti fisik, psikis, ekonomi, bahkan seksual. Kekerasan seksual yang dialami waria terbanyak dilakukan  orang tak dikenal, tamu (klien), preman dan bahkan teman. Teman melakukan kekerasan seksual dalam bentuk pelecehan, seperti mengangkat rok, diturunkan celananya di depan publik, atau dipaksa melakukan oral seks.

Berbagai kekerasan yang dialami oleh TG waria menempatkan mereka dalam sebuah stigma dan diskriminasi yang dilakukan  keluarga dan lingkungan sekitarnya terutama disebabkan penampilan mereka yang dianggap “aneh” dan “tidak normal/wajar”. Stigma dan diskriminasi pun yang mereka alami sejak kecil, menyebabkan banyak waria keluar dari sekolah. Dalam penelitian Arus Pelangi (2013) pun ditemukan lebih banyak waria berpendidikan rendah dan akibatnya mereka juga memiliki tingkat perekonomian yang rendah pula dibandingkan gay, lesbian, biseksual dan interseks.

Representasi Kekerasan  di Media

Kekerasan struktural dan horizontal yang dialami  waria dalam penelitian di tiga kota di Indonesia menunjukkan bahwa kehidupan mereka rentan  perilaku kekerasan. Kekerasan terhadap waria tidak hanya muncul di dunia nyata, juga muncul di media massa yang menjadi bagian tak terelakkan  kehidupan masyarakat modern. Media massa menggambarkan waria sebagai obyek yang tidak wajar atau aneh, sehingga pantas diolok-olok, dijadikan lelucon, dilecehkan atau bahkan dianggap kriminal. Film Betty Bencong Slebor (1978) menampilkan Benyamin S (alm.) sebagai tokoh pekerja rumah tangga waria bernama Betty yang menimbulkan berbagai masalah dalam alur ceritanya. Demikian pula tokoh Emon, sahabat Boy yang muncul dalam lima film  sekuel Catatan Si Boy (1987,1988,1989,1990,1991). Meski Emon tidak direpresentasikan sebagai waria dalam konteks laki-laki yang berbusana perempuan, namun ia ditampilkan sebagai sosok pria dengan ekspresi gender kemayu, selalu diolok-olok dan menjadi bahan lelucon, bahkan saat ia berbicara dengan serius. Dalam beberapa film komedi Warkop Prambors pun demikian pula. Tampilan sebagai waria identik dengan pelecehan.

Dalam pemberitaan, waria cenderung diberitakan sebagai obyek yang “mengganggu” norma dan ketertiban sosial. Berita tentang waria banyak mengeksplorasi  razia/ penangkapan yang dilakukan polisi/ satpol PP terhadap para waria yang berada di taman kota/jalanan dan biasanya diikuti dengan kekerasan. Dalam pemberitaan, waria juga dilekatkan dengan pekerja seks dan maksiat. Bahasa jurnalistik yang digunakan dalam pemberitaan seputar waria cenderung bersifat menghakimi dan menyalahkan serta menganggap waria adalah kriminal.

Perkembangan teknologi komunikasi yang begitu cepat menjadikan bentuk kekerasan terhadap TG / waria pun bertambah. Istilah cyber-bullying muncul dan hal tersebut dilakukan melalui SMS telepon genggam, internet dan berbagai jejaring sosial. Efek dari cyber-bullying ini lebih dari kekerasan fisik, karena berdampak serius dan mendalam, apalagi bila menyebar melalui jejaring sosial baik Facebook, Twitter, Instagram, ataupun personal message service seperti SMS, BBM, Whatsapp, KakaoTalk, Line dan sejenisnya.

 

Melawan Kekerasan

Kekerasan tidak diperkenankan bagi siapapun, termasuk waria. Sampai saat ini belum cukup upaya  melakukan pembelaan terhadap waria karena sistem hukum tidak mengakomodasi, ditambah sikap transphobia masyarakat memperparah hal tersebut. Upaya melawan kekerasan sebetulnya dapat dimulai dari keluarga. Pendidikan formal yang bersifat multikultural perlu diperkenalkan kepada siswa secara bertahap, termasuk di dalamnya kampanye anti kekerasan  berbasis orientasi seksual dan identitas gender.

Negara memiliki tanggung jawab menghapus segala bentuk diskriminasi dengan dasar apapun, terlebih Indonesia telah meratifikasi berbagai perjanjian internasional hak-hak manusia seperti CEDAW dan dan hak-hak sipil politik (ICCPR). Penghapusan diskriminasi bisa dilakukan dalam bentuk pendidikan formal yang dilakukan mulai pendidikan tingkat dasar hingga perguruan tinggi yang memang merupakan tanggung jawab negara.

*Dina Listiorini,  staf pengajar FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta

 

 

 

Search

Pengumuman