’Revolusi’ Publikasi Karya Ilmiah

Oleh Lukas S Ispandriarno

Kedaulatan Rakyat, 10/02/2012

GAGASAN Direktur Jenderal Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Djoko Santoso, yang mengharuskan calon Sarjana, Magister dan Doktor menghasilkan makalah yang terbit di jurnal ilmiah sungguh luar biasa. Ini bagaikan sebuah revolusi di dunia akademik. Di tubuh internal Perguruan Tinggi (PT) bakal terjadi gerakan-gerakan untuk menyikapi gagasan ini, diawali dengan respons mahasiswa.

Meski telah ada semacam penolakan dari mahasiswa program Sarjana setidaknya di jejaring sosial, namun hal ini tergantung bagaimana pimpinan program studi, fakultas atau universitas mengelola respons. Penolakan lebih bernada berkeberatan bila menulis makalah di jurnal menjadi syarat kelulusan, terutama bagi mereka yang sedang dalam proses akhir penulisan skripsi. Seorang pimpinan PT juga menyuarakan pendapat senada, semestinya keharusan menulis di jurnal bukanlah syarat kelulusan.  Artinya, mahasiswa dan pimpinan PT bisa mengusulkan agar keharusan ini tidak berlaku dalam waktu dekat  yaitu bagi lulusan setelah Agustus 2012 melainkan diberlakukan misalnya mulai Agustus 2014.

Sementara pengunduran tenggat waktu berlangsung, pimpinan PT mulai menyiapkan pengelolaan jurnal yang mengadopsi gagasan Dirjen Dikti. Pertama, menyepakati apa yang dimaksud makalah yang bisa dipublikasikan di jurnal ilmiah. Sejauh ini pada umumnya jurnal di PT mensyaratkan atau lebih tepatnya ‘lebih suka’ menerima tulisan hasil penelitian. Ketentuan ini juga berlaku di jurnal-jurnal luar negeri di mana artikel bagi sebuah  jurnal 80%  materi  merupakan hasil penelitian. Namun tanpa perlu perdebatan panjang lebar Dirjen Dikti sudah memberikan penjelasan susulan, menjawab pertanyaan jurnalis, bahwa yang dimaksud makalah adalah ‘penelitian kecil’, ‘ringkasan skripsi’, atau ‘rangkuman tugas’  (Kompas.com,   3/2/ 2012). Dua istilah pertama tetap merujuk pada penelitian, sedangkan yang terakhir lebih menunjuk pada makalah. Tentu saja ini tafsiran penulis, sebab gagasan Dirjen ini memang masih berupa selembar surat yang belum disertai dengan petunjuk teknis, detil, rinci. Perdebatan masih bisa muncul untuk menafsirkan  apa itu ‘rangkuman tugas’ namun bisa disepakati bahwa itu adalah sebuah tulisan ilmiah yang memenuhi kaidah-kaidah ilmiah, logika ilmiah, mengikuti proses ilmiah, yang ujung-ujungnya adalah sebuah penelitian.

Kita bayangkan saja sebuah rangkuman tugas yang dibuat mahasiswa program Sarjana ketika mengikuti mata kuliah Pengantar Ilmu Politik. Atas dorongan dosen untuk menggunakan konsep integritas, mahasiswa diminta melakukan observasi mengapa selalu terjadi, biaya parkir yang dibayarkan masyarakat di kota atau kabupaten lebih tinggi ketimbang biaya yang tertera di karcis parkir. Lalu mahasiswa mewawancarai sesama mahasiswa sebagai pengguna parkir, masyarakat,   sejumlah petugas parkir,  dan pejabat Kantor Dinas Pendapatan. Akhirnya ditemukan kenyataan bahwa misalnya, perparkiran di kabupaten atau kota  dikelola dengan model preman, yakni siapa yang kuat dan berotot, dialah yang mendapat uang dengan mudah, sekadar ongkang-ongkang duduk manis. Bila dikaitkan dengan konsep integritas, pemerintah setempat tidak memiliki integritas dan etika publik. Tidak jujur, menipu rakyat, alias korup. Hasil observasi mahasiswa lalu diwujudkan dalam sebuah makalah, rangkuman tugas, laporan penelitian, atau artikel untuk jurnal di program studi atau fakultas.

Bila ini yang dimaksud Dirjen Dikti, maka gagasannya bisa diwujudkan namun dengan konsekuensi terjadi revolusi pengelolaan jurnal. Ini tahap lanjutan.  Bila dalam satu kali periode wisuda di sebuah program studi atau jurusan terdapat 30 lulusan maka jurnal harus menampung 30 artikel. Lalu, bila dalam setahun dilakukan tiga kali wisuda akan terhitung 90 lulusan atau 90 artikel untuk jurnal. Bila rangkuman tugas dibuat oleh mahasiswa di semester awal dan tengah,  melalui pendampingan oleh dosen pengampu, lalu diterbitkan di jurnal, maka sungguh meledaklah jumlah publikasi di jurnal kita. Ini sungguh revolusi!

Persoalannya, bagaimana mengelola peningkatan jumlah artikel itu? Revolusi dalam pengelolaan jurnal bisa juga bertabrakan dengan kehendak Dikti untuk semakin meningkatkan kualitas jurnal. Pengelolaan jurnal dengan ‘model baru’ ini juga bisa memunculkan pendapat bahwa peraturan tentang pengelolaan jurnal, termasuk akreditasinya, berubah-ubah, tidak menentu, semakin lama semakin ‘sulit’. Dirjen Dikti juga harus siap menerima masukan, usulan, atau perubahan.

Bila semua ini berjalan lancar, katakanlah mulai tahun 2014 maka terpenuhilah niat Dirjen untuk bersaing melawan Malaysia, sebagai sebuah revolusi berbasis  nasionalisme. Jangan mau  dan terus menerus direndahkan oleh Malaysia. Bukan hanya dalam soal reog, batik, sepakbola, mobnas,  perbatasan, apalagi soal tenaga kerja tapi juga dalam soal akademik, publikasi ilmiah di jurnal, bangsa Indonesia mampu mengalahkannya.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan khususnya Dirjen Dikti juga harus mendukung pelaksanaan revolusi ini dengan memberikan anggaran, antara lain ‘beasiswa’ bagi mahasiswa yang melakukan observasi dan menulis di jurnal, penghargaan bagi  dosen pengedit, dan pengelolaan jurnal secara menyeluruh. Hal ini layak dilakukan karena Kementerian Pendidikan adalah sektor terbesar yang mendapatkan dana APBN namun rawan korupsi (Kedaulatan Rakyat, 7/2/2012). Dengan semangat integritas dan revolusi untuk meningkatkan karya ilmiah mahasiswa, kuantitas dan kualitas jurnal ilmiah di PT,  gagasan Dirjen Dikti ini layak  dilaksanakan secara bertahap. ***

Lukas S Ispandriarno, Dekan FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Search

Pengumuman