Bernas Jogja, Selasa 24 Juli 2012
Oleh: Theresia D. Wulandari*
Bak dua petinju yang berlaga di ring dengan posisi draw, sekali lagi pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli dan Jokowi-Basuki Tjahaja akan bertanding di Pilkada DKI Jakarta putaran kedua, 20 September mendatang. Siapa mendapat poin terbanyak, dialah sang jawara. Sang pemenang akan dinobatkan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta periode 2012-2017.
Namun hal yang akan disoroti dalam tulisan ini bukanlah siapa bakal Gubernur DKI Jakarta periode 2012-2017. Hal yang menarik diulas adalah salah satu pasangan bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta yang cukup fenomenal, yaitu Joko Widodo atau yang akrab disapa Jokowi dan Basuki Tjahaja Purnama atau yang lebih dikenal dengan sebutan Basuki.
Siapa tidak kenal Jokowi dan Basuki? Situs jejaring sosial mulai dari Facebook, Twitter, hingga Youtube, menjadikan nama keduanya sebagai trending topic. Dengan jargon Menuju Jakarta Baru, keduanya berhasil melenggang di putaran pertama Pilkada DKI Jakarta dengan meraih suara terbanyak (42,59 persen), mengalahkan gubernur incumbent Fauzi Bowo dan pasangannya Nachrowi yang meraih 34,32 persen suara.
Banyak spekluasi muncul dalam kemenangan pasangan Jokowi-Basuki Namun salah satu analisis kemenangan pasangan ini karena kekuatan karakter keduanya. Jika Jokowi sebelumnya dikenal sebagai Walikota Solo periode 2005-2015, Basuki adalah anggota Komisi II DPR periode 2009-2014 dari Partai Golkar dan pernah menjabat sebagai Bupati Belitung Timur periode 2005-2006. Sebagai politisi, keduanya disebut-sebut tidak pernah menorehkan tinta kelam dalam sejarah kepemimpinan. Jokowi sebagai pengusaha mebel, disebut-sebut sebagai sosok sederhana, rendah hati, dan tidak pernah mengumbar janji-janji politik selama kampanye.
Bahkan selama memerintah Solo, Jokowi dikabarkan tidak mau menikmati gajinya sebagai walikota karena sudah merasa cukup secara materi dari bisnis yang dijalankan. Terakhir, publik mengenal sosok Jokowi yang menolak mengganti mobil dinas lamanya dengan Toyota Camry. Ia memilih menggunakan mobil rakitan siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) 2 Surakarta dan SMK Warga Surakarta bernama Kiat Esemka. Bak jatuh cinta pada pandangan pertama, publik mulai menaruh hati dengan sosok Pak Walikota Solo yang menjadi dalang termahsyur Kiat Esemka hingga ke ibukota itu.
Demikian juga dengan Basuki Tjahaja Purnama yang disebut-sebut sebagai politisi muda anti korupsi, anti suap, dan keberpihakannya pada kaum miskin. Terlahir dari keluarga pengusaha, pekerja keras, dan punya sederet usaha tambang, Basuki dianggap tidak lagi memburu harta benda. Bahkan selama menjabat sebagai Bupati Belitung Timur, Basuki kerap membuat kebijakan yang berpihak pada rakyat. Salah satunya adalah program penyelenggaraan pelayanan kesehatan dan pendidikan gratis bagi masyarakat Belitung Timur. Ya, sederet reputasi positif turut mendongkrak popularitas keduanya.
Namun spekulasi lain muncul. Masyarakat Indonesia lelah dengan janji-janji politik. Kampanye politik, sebagai salah satu pengejawantahan aktivitas komunikasi persuasif, dijadikan sebagai badik pembungkus maksud sang politisi agar masyarakat berpihak pada mereka. Namun tampaknya kampanye tidak lagi mempan. Janji-janji politik apapun tidak lagi menjadi acuan publik memilih sosok pemimpin. Masyarakat lebih melihat pada kekuatan karakter sang calon pemimpin.
Meski tidak bisa begitu saja dibandingkan, kekuatan karakter sosok pemimpin terbukti dalam tata kelola pemerintahan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Sosok Sultan yang selalu melekat di hati rakyat Yogyakarta, menjadi bukti bahwa kekuatan karakter pemimpin bisa mengalahkan kekuatan bahasa persuasi dalam panggung politik. Hasilnya, rakyat tidak resisten terhadap tiap kebijakan pemerintahan, pemimpinnya juga tidak melakukan cara-cara represif dalam menjalankan perannya sebagai pemerintah. Psikologi masyarakat Yogyakarta terbentuk secara turun temurun untuk selalu patuh pada rajanya, Sri Sultan. Hingga warga Yogyakarta berpedoman, pejah gesang nDerek Ngarsa Dalem.
Fenomena ini ternyata tidak hanya berlaku di Indonesia. Dalam konferensi tentang Komunikasi dan Media di Asia yang digelar belum lama ini di Malaysia, seorang profesor University of Colombo Sri Lanka, Ajantha Hapuarchchi, memperkenalkan sebuah teori baru yaitu Communication Model of Epistemological Theory. Menurutnya, teori yang diadaptasi dari filosofi Budha ini menyebutkan bahwa komunikan (penerima pesan) akan memahami komunikator yang menyampaikan pesan baik.
Pesan baik yang dimaksud adalah pesan yang tidak menipu, palsu, propaganda tipu daya, munafik, dan perbuatan hipokrit lainnya. Dalam prosesnya, pesan juga memiliki kekuatan membujuk jika disampaikan oleh sosok, tokoh, atau pemimpin yang juga dikenal baik. Artinya, semakin baik sosok komunikatornya, maka pesan akan diterima dan dipahami dengan lebih baik oleh komunikannya. Sebaliknya, publik cenderung menolak atau skeptis dengan pesan yang disampaikan komunikator yang dikenal memiliki reputasi kurang baik.
Perlu diingat, kekuatan karakter calon pemimpin juga menjadi salah satu kunci kemenangan Barrack Obama dalam Pemilu Presiden Amerika Serikat 2008. Obama sebelumnya dikenal sebagai sosok anggota Senat AS yang artikulatif, cerdas, bersih, dan tampan (The Globe Newspaper Company, 4/2/2007). Obama tidak lagi dipandang sebagai sosok Afro-Afrika yang tidak pantas memimpin Amerika dengan mayoritas masyarakat berkulit putih, tapi dialah pemimpin ideal Amerika Serikat. Bahkan dalam proses pemilihan, Obama berhasil mengalahkan John McCain yang notabene berkulit putih. Barangkali nasib serupa juga akan berlaku untuk Jokowi. Dia tidak lagi dikenal sebagai orang Solo yang tidak ber-KTP DKI Jakarta, namun dialah sosok yang dianggap ideal untuk memimpin Jakarta.
Lalu, bagaimana publik mengetahui karakter calon pemimpinnya? Jawabannya adalah media massa. Harus diakui, media massa memegang peranan sangat besar dalam kehidupan berpolitik suatu bangsa. Media digunakan sebagai alat penyampaian informasi dan pesan yang sangat efektif dan efisien (Lasswell,1972). Oleh karena itu, tidak salah jika muncul pendapat bahwa media massa pulalah yang menentukan opini publik atas sosok karakter seseorang, terutama calon pemimpin.
Dalam kasus pasangan Pilkada DKI Jakarta, sosialisasi calon Gubenur dan calon Wakil Gubernur tidak lagi dilihat dari latar belakang pendidikan, jam terbang, ataupun kepiawaian sang calon pemimpin melalui pidato-pidato politiknya, namun justru dimunculkan oleh tiap tayangan kegiatan dan gaya berbicara sang calon pemimpin di layar kaca.
Entah untung atau buntung, karakter rival Jokowi, Fauzi Bowo atau lebih akrab disapa Foke yang terlahir dengan darah peranakan orang Betawi, selalu muncul di media massa dengan bahasa-bahasa lugas yang justru menuai kritikan tajam.”Mengurusi Jakarta bukan seperti bikin kerak telor, bodo amat, emang gue pikirin”, adalah gaya ceplas-ceplos Foke selama menjadi Gubernur DKI Jakarta. Janji-janji politik Foke yang akan meneruskan program kerjanya saat ini, tidak lagi jadi kekuatan politiknya. Apalagi media massa banyak menampilkan indikator keberhasilan kerja Foke selama menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta kurang baik, alias belum berhasil memecahkan dua persoalan utama Jakarta yaitu banjir dan kemacetan.
Berbeda dengan Jokowi yang asli wong Solo dengan karakternya yang halus, andhap asor, dan luwes, menjadi salah satu daya tarik kelompok pemilih Jakarta. Tidak lagi kepincut dengan janji-janji politik Jokowi dan Basuki, publik lebih melihat sosok keduanya yang mengayomi.
Begitu kuatnya peran media, karakter Jokowi semakin tampak saat beberapa pemberitaan seakan menunjukkan sosok Jokowi yang tidak jauh dari dugaan banyak orang. Beberapa tuduhan kecurangan selama kampanye hingga pilkada, terbantahkan dengan berita-berita di media massa. Bukan hanya klarifikasi atas beberapa kasus, hingga artikel ini dibuat, sejumlah media massa menampilkan sosok Jokowi yang tetap konsisten melakukan dialog dengan warga Jakarta di sela-sela menjalankan ibadah puasa.
Ya, jika dahulu sosok pemimpin selalu identik dengan kecakapan meramu retorika bahasa yang digunakan saat berpidato, atau kepiawaiannya dalam merumuskan strategi-strategi perang, kini zaman sudah berubah. Pemimpin yang diharapkan adalah sosok yang membuat publik merasa nyaman berkomunikasi dengan mereka, mau mendengarkan tiap keluh kesah rakyatnya, hingga menawarkan solusi yang dibutuhkan.
Apakah solusi yang ditawarkan terwujud ataupun rakyat akhirnya keluar dari persoalan, itu soal belakangan, yang penting rakyat merasa tentram dengan sosok pemimpinnya. Namun demikian terbukti atau tidaknya pendapat ini, kita lihat saja Pilkada DKI Jakarta putaran kedua, 20 September mendatang.
* Penulis adalah dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta