Sertifikasi Guru Di Mata Media

Bernas Jogja, Selasa, 5 Juni 2012

Oleh Lukas S. Ispandriarno

Sepanjang bulan April-Mei paling tidak terdapat dua isu tentang guru yang diberitakan media. Berita pertama mengabarkan bahwa pemerintah membatalkan rencana pembatasan penggunaan  Bahan Bakar Minyak untuk mobil pribadi  karena akan menyusahkan guru. Berita kedua perihal keterlambatan pembayaran tunjangan sertifikasi guru. Sejauh pengamatan, kedua isu tidak mendapat ulasan memadai di media lokal. Berita ini dianggap biasa-biasa saja, tidak ada istimewanya. Tidak ada yang “salah” dalam pemberitaan itu. Tulisan ini hanya membahas soal tunjangan sertifikasi guru.

Dibayarkan dua bulan

Sertifikasi guru dimaksudkan sebagai upaya membuat standar profesionalitas yang akan menjamin mutu pekerjaan profesi. Pemerintah telah menetapkan sertifikasi guru dalam jabatan  melalui Peraturan Menteri  Pendidikan Nasional No 18 Tahun 2007 dan diperbaharui dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 5 Tahun 2012. Guru yang dapat mengikuti sertifikasi adalah mereka yang telah mengajar pada jenjang pendidikan tertentu, yaitu pendidikan usia dini, pendidikan dasar, serta pendidikan menengah di bawah Departemen Pendidikan dan Departemen Agama. Mereka sekurang-kurangnya telah berijazah S1 atau D IV.

Sertifikasi guru menjadi isu menarik, cukup panas, sama halnya dengan sertifikasi dosen. Boleh jadi, nasib para dosen juga tidak jauh berbeda dengan para guru. Mereka yang telah lolos sertifikasi tidak segera mendapatkan uang sertifikasi  dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Nasib pedih para guru ternyata tidak ditangkap media.  Keterlambatan pembayaran tunjangan sertifikasi seharusnya dapat ditulis dengan kritis dan mendalam di halaman muka. Media lokal  tidak terlihat memiliki greget  bahwa ini bukan masalah sepele dan sudah amat sering terjadi. Keterlambatan pembayaran  misalnya terjadi di Kabupaten Bantul di mana dana tunjangan untuk 3.505 guru sebesar Rp35 miliar pada triwulan pertama  baru dibayarkan Rp24.05 miliar untuk dua bulan. Kepala Dinas Pendidikan Dasar Bantul, Sahari mengatakan keterlambatan terjadi karena keterbatasan anggaran. “Sisanya akan diupayakan dicairkan pada triwulan berikutnya” katanya pula (Harian Jogja, 29/5/).

Di zaman pemerintahan otoriter pernyataan seperti itu memang lazim, tapi ini zaman kemerdekaan pers, saat di mana pers berperan sebagai pilar keempat demokrasi, menyuarakan kritik atas kebobrokan  penguasa. Seorang jurnalis mesti memiliki daya kritis ditandai antara lain dengan sikap gemar bertanya. Bagaimana mungkin dana APBN yang sudah digelontorkan dari pusat (Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan) ke daerah dikatakan sebagai “anggaran terbatas?”

Sebuah media mengutip pernyataan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan  Mohammad Nuh  mengatakan bahwa  seluruh dana tunjangan profesi pendidik (TPP) sudah ditransfer ke provinsi. Surat keputusan dari kementerian juga sudah diserahkan sejak Maret lalu. Menteri juga sudah  mengecek bahwa tidak hanya SK tetapi uang pun sudah dikirim (Indopos.co.id, 25/5). Apakah jurnalis melakukan pengecekan silang atas pernyataan Kepala Dinas Pendidikan Dasar Bantul?

Konteks dalam jurnalisme

Ada kaitan antara berita (news) dengan jurnalisme (journalism).  Keduanya bahkan sering dipertukarkan maknanya. Menurut Matt Thomson, seorang dosen di Polynter Institute, bekerja di Center for Public Integrity,  dan penggagas situs newsless.org, jurnalisme juga melingkupi konteks. Tanpa konteks, apa artinya berita. Kabar keterlambatan pembayaran dan rapelan tunjangan sertifikasi memiliki konteks yang luas, misalnya berkenaan dengan dana APBN di mana Kemendikbud mendapatkan porsi sangat besar yaitu 20 persen. Ini juga menyangkut integritas pejabat Dinas Pendidikan.

Newsless.org mengajak jurnalis menyiapkan gagasan melalui  sejumlah pertanyaan bagi para nara sumber, antara lain: apakah berita yang saya tulis akan membuat masyarakat  mendapatkan informasi yang lebih baik atau semata menyajikan  informasi menggoda? Seberapa penting perkara ini diketahui masyarakat dan mengapa? Apakah kita mengejar cerita yang lebih besar atau sekadar isu mutakhir? Apakah kita menyintesakan informasi atau cuma mengumpulkannnya?  Apakah kita melayani mereka yang tidak tahu (sama sekali) tentang perkara ini?

Mengikuti pertanyaan pertama, jurnalis selayaknya  menulis berita  keterlambatan pembayaran dan rapelan tunjangan sertifikasi dengan menyajikan informasi yang lebih lengkap,  mewawancarai lebih banyak sumber, mengorek informasi lebih dalam. Pernyataan Kepala Dinas Pendidikan Bantul patut disilangkan dengan keterangan sumber lain, misalnya Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Peningkatan Mutu Pendidikan  di Jakarta. Kalau pun narasumber Jakarta dianggap terlalu jauh,  konfirmasi bisa digali dari Kepala Dinas Pendidikan dam Kebudayaan Provinsi DIY. Bagaimana pula pendapat para guru di Bantul?

Apakah isu rapelan tunjangan sertifikasi guru tidak penting? Tentu sangat penting, karena ada  ratusan guru peserta sertifikasi di Bantul dan jutaan lainnya di seluruh Indonesia. Tahun 2011 tunjangan sertifikasi di Bantul tidak turun sehingga ratusan guru berdemo. Mengapa tahun ini masalah yang hampir sama berulang? Ke mana dana TPP? Banyak orang tidak tahu, mengapa pencairan dana di lembaga pendidikan untuk guru dan dosen acapkali lambat. Orang hanya menduga-duga, dana itu disimpan (dimasukkan bank) oleh pejabat di tingkat pusat maupun daerah. Lalu bunga bank untuk siapa?  Benarkah dana itu disimpan pejabat Kementrian atau Dinas Pendidikan? Bisakah dana APBN, APBD dan sumber lain yang sah sebagai sumber dana sertifikasi disimpan di bank? Jurnalis yang paham konteks akan menggali informasi dari pihak-pihak terkait  lalu menyintesakan. Boleh jadi kesimpulannya akan mengejutkan banyak pihak.

Informasi pembanding mengatakan bahwa ketidakberesan pembayaran  tunjangan sertifikasi juga terjadi di Rote Ndao, NTT dan kota Bogor, Jawa Barat. Di Rote Ndao pemotongan dana sertifikasi  menimpa 1.230 guru terdiri dari guru SD, SMP, dan SMA/SMK, masing-masing sebesar Rp2 juta. Selain itu, surat keputusan sertifikasi beserta rincian besarnya dana sertifikasi pun tidak disampaikan (Kompas.com; renumerasipns.com).

Di Bogor dana sertifikasi diduga disunat sehingga guru hanya menerima setengahnya (Radar Bogor). Selain dana tunjangan sertifikasi, gaji ke-13 milik  3.941 guru di Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan, dipotong Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia  Kabupaten Pinrang.(Kompas.com). Bila disintesakan, keterlambatan maupun pemotongan dana sertifikasi guru secara sengaja dilakukan oleh pejabat pendidikan daerah dan organisasi guru dengan beragam alasan.

Media telah semakin mendapat kepercayaan publik, bahkan melebihi kepercayaan kepada tiga cabang kekuasaan politik. Maka media lokal juga harus konsisten mengawal integritas pejabat pemerintah termasuk pejabat  kabupaten Bantul. Kita masih ingat September 2011  Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan investigasi di Bantul untuk mendalami kasus tanah kas desa, akuisisi Bantul Radio, dana hibah berbagai kegiatan,  dana konsultasi dan asistensi Bantul ke pemerintah pusat maupun dana bantuan sosial. Media perlu meningkatkan kredibilitasnya sebagai penjaga integritas pemerintahan.***

Lukas S. Ispandriarno, dosen FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

 

Search

Pengumuman