Opini Kedaulatan Rakyat, Rabu 10 Juli 2013
Oleh Lukas S. Ispandriarno
Menjelang peringatan Hari Bhayangkara 1 Juli, Kepala Kepolisian Daerah DIY dikirimi surat pembaca oleh Philipus Jehamun, seorang wartawan. Sang jurnalis, yang tidak lain adalah rekan almarhum Fuad Muhammad Syafruddin (Udin) dan juga Wakil Redaktur Pelaksana harian Bernas kecewa dengan ucapan Kapolda DIY Brigjen Pol Haka Astana saat berkunjung ke kantor Persatuan Wartawan Indonesia. Kapolda mengatakan akan kembali menelisik kasus kematian Udin yang terjadi 17 tahun silam, namun Philipus berpendapat, pernyataan itu hanya sekadar mencari sensasi dan mencari popularitas (Bernas, 28/6).
Awal tahun 2012 warga masyarakat dan khususnya para pemerhati media dikagetkan oleh putusan Majelis Hakim Agung 4 Januari 2012 yang menolak kasasi Kho Seng Seng, seorang penulis surat pembaca. Kho Seng Seng menulis di surat kabar Suara Pembaruan dan Kompas pada 2006 tentang ketidakjelasan status rumah toko yang dibelinya di ITC Mangga Dua Jakarta Utara. Pengembang ruko adalah PT Duta Pertiwi. Meski ia dibebaskan dari hukuman, namun Majelis Hakim Agung menolak kasasi Kho Seng Seng dan ia dijatuhi vonis denda sebesar Rp1 miliar.
Penulis surat pembaca lain, Fifi Tanang, mengalami nasib seperti Kho Seng Seng. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menghukum Fifi enam bulan penjara dengan masa percobaan selama satu tahun. Majelis menganggap Fifi terbukti mencemarkan nama baik PT Duta Pertiwi dalam surat pembaca di harian Investor Daily tanggal 2-3 Desember 2006.
Lalu bagaimana nasib Philipus Jehamun, penulis surat pembaca untuk Kapolda? Tentu mustahil ia akan mengalami derita seperti Kho Seng Seng dan Fifi Tanang, sebab lembaga Kepolisian bukan lembaga bisnis seperti perusahaan yang disebut Kho dan Fifi. Akan tetapi kekecewaannya mewakili kekecewaan puluhan atau ratusan redaktur media massa, teman-teman Udin dan warga DIY. Para wartawan sangat sedih, prihatin, dan sungguh kecewa dengan ketidakseriusan Kepolisian mengungkap kasus ini. Sebagian warga Jogja merasakan hal yang sama, selain menanggung malu karena aparat negara tidak bekerja serius.
Bertepatan dengan Hari Bhayangkara, surat tersebut merupakan sebuah kado ulang tahun bagi Polda DIY yang telah memiliki 16 Kapolda sejak tahun 1996, namun belum berhasil menguak “misteri” pembunuhan Udin. Maka bisa dipahami kejengkelan sang penulis surat pembaca bila Kapolda lagi-lagi hanya menebar janji dan janji seperti para pendahulunya. Sungguh menyedihkan bila para Kapolda DIY sekadar melakukan ritual mengulang jawaban klise atas pertanyaan masyarakat dan pers. Kalaupun mau disebut ada hal “baru” adalah argumentasi 13 hari keterlambatan pemasangan police line yaitu karena kepolisian sedang sibuk mempersiapkan kegiatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus. Selebihnya adalah janji yang diucapkan pejabat baru namun bermakna klasik:”Kami berusaha kembali menyelidiki kasus Udin. Setelah tanggal 1 Juli, Hari Bhayangkara, kami akan fokus.”
Kendati demikian berbagai tuntutan menuntaskan kasus ini tidak pernah surut. Masyarakat dan khususnya media massa, seperti dinyatakan sendiri oleh Kapolda DIY Brigjen Pol Haka Astana, akan mengontrol pembuktian janji tersebut. Media semestinya memuat laporan kemajuan (progress report) penyelidikan kembali kasus Udin setiap bulan mulai 1 Agustus 2013. Semua media cetak di kota ini selayaknya membuka rubrik khusus dengan judul “Penyelidikan Kembali Kasus Udin oleh Polda DIY.”
Sebelum sang Wakil Redaktur Pelaksana menulis surat pembaca di korannya, Mei 2013 saat memeringati Hari Kemerdekaan Pers Dunia, kalangan jurnalis menggelar aksi keprihatinan atas kegagalan Kepolisian membongkar kasus Udin. Mereka berkirim surat kepada Presiden Yudhoyono dengan tembusan Menko Polhukam, MenkumHAM, Kemenlu, Polri, dan Jaksa Agung. Mereka juga berkirim surat kepada Pelapor Khusus PBB (Special Rapporteur on the promotion and protection of the right to freedom of opinion and expression). PBB akan mendesak Pemerintah Indonesia membuka kembali penyelidikan atas kasus Udin. Aksi ini dilakukan di Surabaya, dan Yogyakarta didukung 23 organisasi pro kebebasan pers dari dalam dan luar negri (KRjogja.com, 3/5/2013).
Salah satu mandat lembaga ini adalah mengumpulkan semua informasi yang relevan, di manapun itu terjadi perihal pelanggaran hak kebebasan berpendapat dan berekspresi. Juga diskriminasi, ancaman dan penggunaan kekerasan, pelecehan, intimidasi yang ditujukan kepada orang yang sedang melakukan atau mempromosikan hak kebebasan berpendapat dan berekspresi termasuk dan dengan prioritas lebih tinggi atas jurnalis atau profesioanal lain dalam bidang informasi.
Surat pembaca Philipus merupakan seruan keprihatinan atas mandeknya penyelidikan dan penyidikan kasus Udin, di tengah kesedihan Keluarga Bernas Jogja atas wafatnya ibu Mujilah, ibunda Udin (25/6) dan Bimo Sukarno (28/6), Pemimpin Redaksi.
*Lukas S. Ispandriarno, Dekan FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta