TIK dan Pembangunan Karakter Bangsa

Bernas Jogja, Selasa 24 September 2013

Oleh Yohanes Widodo

Inovasi teknologi informasi dan komunikasi (TIK) atau Internet telah menyebabkan terjadinya perubahan revolusioner dalam kehidupan manusia. Peningkatan penggunaan TIK menjadikan medium ini tidak hanya sekadar media komunikasi, interaksi, dan informasi, namun juga medium untuk mengembangkan karakter bangsa. Tulisan ini hendak membahas sejauh mana internet berperan dalam perubahan sosial atau—dalam hal ini—pembangunan karakter bangsa.

TIK telah mengubah sistem komunikasi, cara kita berkomunikasi serta mempengaruhi kehidupan manusia dan masyarakat baik secara individu, organisasi, maupun kehidupan sosial. TIK juga mampu meningkatkan kemampuan indera manusia (extends human senses) (McLuhan, 1964) sehingga menjadikan individu mampu menembus ruang dan waktu dan menyajikan ‘a window to the world’ (Roger, 1986). TIK memungkinkan informasi, gagasan, dan pengetahuan mengalir bebas melalui masyarakat informasi, di mana batas yang masih tersisa antarmanusia adalah batas geografi (Lin & Atkin, 2007). Inilah yang kemudian membentuk apa yang disebut sebagai masyarakat informasi (information society).

Dari sejarah dan penggunaan teknologi, para ahli mengakui bahwa TIK dan media komunikasi adalah aktivator utama yang mempengaruhi perubahan sosial. Pasley (dalam Roger, 1986) menyimpulkan bahwa perubahan teknologi telah menempatkan komunikasi sebagai garda depan perubahan sosial. Ini selaras dengan pandangan Harold Adam Innis (dalam Smith, 1998) bahwa perubahan besar dalam teknologi komunikasi berakibat pada perubahan sosial dan bahwa kunci perubahan sosial ditemukan dalam perkembangan media komunikasi (Soules, 2007).

Meski demikian ada perbedaan pandangan antara mereka yang meyakini bahwa TIK mampu membuat karakter bangsa menjadi lebih baik atau pun sebaliknya. Kita bisa membedakannya ke dalam tiga perspektif: (1) cyber-optimist atau cyber-utopians, (2) cyber-pessimist atau anti-utopians, dan (3) cyber-skeptics.

Pandangan cyber-utopians mendasarkan diri pada konsep technological determinism yang menyatakan bahwa “technology is the big mover and shaker behind major social transformation at the level of institution, social interaction, and individual cognition” (Chandler, 1995). Potensi atau dampak positif TIK antara lain (1) peluang membangun interaksi tanpa keterbatasan ruang dan waktu, (2) kreativitas, produktivitas, partisipasi, kolaborasi antarwarga (crowds and citizens), (3) partisipasi publik dalam mengolah isu-isu politik dan kerja-kerja sosial dan pemberdayaan, menjalin persatuan dan kesatuan bangsa, serta (4) membangun masyarakat yang cerdas, kreatif, dan humanis.

Kalangan anti-utopians atau techno-realists lebih menekankan pada efek negatif TIK. Terkait dengan karakter bangsa, potensi atau dampak negatif yang ditimbulkan oleh TIK antara lain munculnya sikap individualisme, mentalitas jalan pintas, ceriwis-isme dan narsisme, konsumerisme,  hingga berkembangnya sikap reaktif dan emosional banyak individu atau masyarakat. TIK bahkan menjadi ladang subur tumbuhnya kriminalitas, plagiarisme, cyberbullying, cyber-terrorism, pembajakan, peretasan, segregasi hingga balkanisasi.

Sementara kalangan cyber-skeptics berpendapat bahwa TIK tidak memiliki dampak signifikan terhadap masyarakat. Mereka beranggapan bahwa ‘teknologi tidak pernah bersifat tetap dan akan beradaptasi untuk menggantikan model dan sistem yang eksis (Castell, 2004). Menurut kaum cyber-skeptics, TIK tidak memiliki dampak dramatis terhadap realitas business or politics as usual.’

Peran Negara dan Masyarakat

Bagaimana mengelola dampak TIK agar tidak membahayakan budaya masyarakat dan karakter bangsa? Pertama, penguasaan TIK harus menjadi kompetensi utama dalam pelayanan publik, pendidikan, dan program-program pengentasan kemiskinan. Untuk itu, perlu adanya fokus pada investasi infrastruktur fisik dan perangkat keras, didukung dengan adanya kebijakan, institusi, infrastruktur dan skill.

Kedua, perlu adanya strategi nasional yang eksplisit dan sistematis bagaimana mengintegrasikan TIK dalam seluruh visi dan strategi pembangunan sehingga mampu merealisasikan manfaat TIK terutama untuk meningkatkan produktivitas. Dalam hal ini pemerintah punya peran krusial untuk membangun sistem yang tepat, terpadu, dan konsisten, serta memberi contoh dan mendorong—tidak hanya sekadar menghukum. Strategi yang dilakukan antara lain melalui peningkatan pendidikan melek media, peningkatan indikator ekonomi (GNP, GDP, dan lain-lain) serta pengembangan infrastruktur telekomunikasi dan media. Di sisi lain masyarakat harus mampu membangun dan memperkuat sikap, mentalitas, dan spiritualitas masyarakat atau pengguna TIK. Sebab, apa yang terjadi dan berlangsung di dunia maya, merupakan gambaran atau refleksi dari dunia nyata.

Ketiga, pendidikan literasi media. Selama ini orang ‘bisa’ menggunakan TIK karena belajar sendiri atau dari referensi pertemanan. Jarang ada pelatihan atau pendidikan tentang penggunaan TIK yang baik dan benar. Di sini perlu adanya sinergi atau menjadi agenda bersama dari pemerintah, masyarakat, keluarga.

Pendidikan literasi media muaranya adalah bagaimana meningkatkan produktivitas dan kreativitas untuk meningkatkan konten lokal. Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan: (1) meningkatkan kemampuan masyarakat untuk mengakses informasi dan ilmu pengetahuan serta kemampuan mengakses, memproses, mengadaptasi, dan mengelola informasi; (2) meningkatkan dan mengurangi biaya produksi dan transaksi ekonomi; (3) membangun interaksi/koneksi antarorang, NGO, dunia usaha dan komunitas melalui peningkatan empowerment, partisipasi, koordinasi, desentralisasi, pembelajaran sosial, menghubungkan communities of practice, mobilisasi modal sosial, dan mendorong masyarakat sipil untuk memiliki konsern terhadap isu-isu global; (4) adanya sinergi antara pemerintah, masyarakat sipil, dunia pendidikan. Saat ini, masyarakat dan korporasi sudah bergerak, namun pemerintah belum kelihatan gerak-geriknya.

Persoalannya, hingga kini kita masih dihadapkan pada persoalan akses dan infrastruktur. Prioritas utama yang harus diwujudkan adalah bagaimana mewujudkan akses Internet yang cepat dan murah untuk rakyat. Bagaimana internet menjadi fasilitas warga negara, seperti halnya listrik, yang tersedia di setiap tempat dan rumah. Isu akses ini juga terkait dengan digital divide, yakni sejauh mana masyarakat melihat TIK: sebagai necessity good atau luxury goods? Untuk urusan akses, kita masih tertinggal dengan negeri jiran seperti Malaysia, Singapura, atau Thailand.

Infrastruktur teknologi, kapasitas dan ilmu pengetahuan adalah prasyarat bagi manusia menggunakan teknologi sekaligus sebagai basis untuk digitalisasi informasi dan mekanisme komunikasi dalam berbagai sektor masyarakat.  Dari situ, penyebaran informasi dan proses komunikasi dalam sektor-sektor tersebut dilaksanakan dalam jaringan elektronik: e-government, e-business and e-commerce, e-health, e-learning, dan lain-lain.

Berikutnya adalah isu kekosongan aturan dalam hal digitalisasi konten dan media. Isu lain yang tak kalah penting adalah bagaimana mencari, mengumpulkan dan mengelola best practices dalam penggunaan TIK dan sehingga pengetahuan tersebut dapat digunakan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat.

TIK untuk Pembangunan ditujukan untuk mempromosikan tujuan-tujuan yang diinginkan dalam proses transformasi sosial. Caranya adalah dengan mengurangi efek negatif TIK dan menghilangkan bottlenecks.  Ada dua jenis intervensi atau pendekatan yang bisa diimplementasikan. Pertama, positive feedback antara lain melalui insentif, proyek, pembiayaan, subsidi dan lain-lain yang menekankan pada peluang yang ada. Kedua, negative feedback terutama melalui regulasi dan legislasti yang membatasi dan melemahkan kecenderungan atau perkembangan yang bersifat negatif.

 

Strategi Nasional TIK

Desain strategi nasional dalam bidang TIK perlu betul-betul mendapat perhatian. Filipina punya The Philippines Digital Strategy. Jepang juga punya Japan’s National IT Strategy and Ubiquituos Network yang dilaunching tahun 2005.

Kenapa industri TIK di Korea bisa maju? Karena di sana terdapat Korea IT 839 Strategy yang dilaunching tahun 2004 dan diupdate tahun 2006. Tujuan dari Korea IT 839 Strategy adalah mewujudkan masyarakat informasi Korea. Salah satu outputnya adalah TIK di Korea berkontribusi sebesar $20.000 GDP per capita. Korea meyakini bahwa TIK menjadi industri kunci yang berperan pada ekonomi Korea. Industri TIK menjadi mesin pertumbuhan ekonomi Korea sejak 1990-an, memainkan peran penting dalam proses revitalisasi ekonomi serta berkontribusi pada pertumbuhan GDP di Korea.

Indonesia baru punya Buku Putih Komunikasi dan Informasi Indonesia (Indonesian ICT White Paper) yang dikeluarkan oleh Menteri Komunikasi dan Informasi tahun 2012. Harapannya, meski terlambat, kita telah menetapkan strategi dan langkah-langkah yang tepat dan pasti sebagai acuan pengembangan TIK untuk menyejahterakan manusia Indonesia serta membangun karakter bangsa.

Better late than never!

*Yohanes Widodo, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Search

Pengumuman