TVRI-ku Sayang, TVRI-ku Malang

Bernas Jogja, Selasa, 31 Desember 2013

Oleh Bonaventura Satya Bharata, SIP, M.Si.

            Judul artikel di atas kelihatannya sangat pas mewakili kondisi Televisi Republik Indonesia (TVRI) saat ini. Betapa tidak? Jumat sore  (27/12), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI) memutuskan tidak mencairkan dana operasional bagi TVRI untuk tahun 2014. DPR hanya menyetujui anggaran belanja dan gaji pegawai saja. Berdasar berita yang beredar, keputusan DPR ini merupakan buntut perseteruan antara Dewan Pengawas TVRI dengan para Direksi TVRI. Dewan Pengawas TVRI memutuskan  memberhentikan Direksi TVRI terkait siaran langsung Konvensi Calon Presiden Partai Demokrat pada bulan Oktober 2013. Para Direksi TVRI ini kemudian mengajukan keberatan via lembaga DPR. DPR pun menyambutnya dengan keputusan tidak memberikan anggaran operasional bagi TVRI. Tanpa anggaran ini, mustahil TVRI berjalan.

Tentu kabar ini bagai petir di siang bolong. Bila benar demikan, maka Rabu per 1 Januari 2014, pemirsa di seluruh tanah air tidak dapat lagi menyaksikan tayangan TVRI di layar kacanya masing-masing. Terlepas dari logis tidaknya alasan DPR tersebut, yang jelas masyarakat Indonesia selaku publik  TVRI khususnya mereka yang tinggal di pelosok-pelosok tanah air, merupakan pihak yang sangat dirugikan dengan ketidakhadiran TVRI. Seperti diketahui, dibandingkan degan siaran televisi yang lain (baca: televisi swasta), harus diakui hanya siaran TVRI-lah yang mampu menjangkau seluruh pelosok tanah air. Posisinya sebagai lembaga penyiaran publik sesuai dengan amanat UU Penyiaran No 32 tahun 2002, memang mengharuskan TVRI mampu memberikan pelayanan siaran bagi seluruh masyarakat Indonesia di manapun mereka berada.

Masyarakat Indonesia, termasuk DPR RI, baiknya menyadari bahwa ada posisi berbeda antara TVRI ini dibandingkan dengan lembaga penyiaran televisi lain. Sesuai amanat UU Penyiaran No. 32 tahun 2002, TVRI bersama dengan Radio Republik Indonesia (RRI) merupakan lembaga penyiaran publik. Menurut pasal 14, Lembaga Penyiaran Publik merupakan lembaga penyiaran berbentuk badan hukum yang didirikan oleh negara, bersifat independen, netral, tidak komersial, dan berfungsi memberikan layanan  masyarakat. Dengan demikian posisi TVRI jelas berbeda dengan lembaga penyiaran televisi yang lain, seperti televisi swasta ataupun televisi berlangganan.

Merujuk definisi tersebut, menjadi jelas bahwa TVRI  juga bukan merupakan lembaga penyiaran milik pemerintah. TVRI memang didirikan oleh pemerintah, namun bukan berarti TVRI kemudian serta merta menjadi milik pemerintah. Pemerintah tidak berhak mendominasi TVRI. Pemerintah hanya bertugas memfasilitasi eksistensi TVRI. Bagaimana dengan anggaran operasionalnya? Idealnya sebagai lembaga penyiaran publik, maka masyarakat sebagai publik sendirilah yang membiayai operasional lembaga penyiaran tersebut. Anggaran ini dapat diperoleh melalui iuran televisi yang diberlakukan secara berkala. Namun karena hal ini belum dapat dilakukan di Indonesia, maka untuk sementara waktu, anggaran operasional TVRI mengandalkan kucuran dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dikerjakan bersama antara pemerintah dan DPR setiap tahunnya.

Di samping itu, disebutkan pula bahwa TVRI sebagai lembaga penyiaran publik berkedudukan independen dan netral. Ini berarti tidak boleh ada pihak manapun yang berniat mendominasi atau menguasai siarannya. TVRI haruslah bebas dari tekanan kepentingan apapun, entah itu kepentingan politik, ekonomi, suku dan etnis bahkan juga kepentingan agama tertentu. Maka sangat wajar bila TVRI mendapatkan teguran ketika menyiarkan secara langsung dan penuh kegiatan tabligh akbar sebuah organisasi kemasyarakatan di pertengahan tahun ini. Teguran serupa juga diberlakukan untuk TVRI ketika melakukan hal yang sama pada saat meliput Konvensi Calon Presiden Partai Demokrat bulan Oktober 2013.

Di sisi lain, TVRI sebagai lembaga penyiaran publik juga tidak bersifat komersial, artinya operasional siaran TVRI tidak dilakukan dalam rangka mencari keuntungan ekonomi (profit). Inilah perbedaan mendasar antara TVRI dengan lembaga penyiaran swasta. Lembaga penyiaran swasta, karena menggunakan pendekatan industri, maka seluruh operasional siarannya dilakukan dengan menggunakan prinsip ekonomi. Oleh karena itu dalam penyelenggaraan siaran, televisi swasta mengenal adanya siaran iklan, baik yang bersifat komersial maupun tidak. Pendapatan dari iklan menjadi urat nadi kehidupan utama bagi televisi swasta. Ini tidak berlaku pada TVRI. Sebagai lembaga penyiaran publik, pendapatan utama TVRI berbasis pada iuran publik. Dengan demikian, idealnya TVRI tidaklah menyiarkan iklan komersial. Iklan yang masih diperkenankan di TVRI hanyalah iklan layanan masyarakat bersifat non komersial.

Terakhir, orientasi utama dari TVRI sebagai penyiaran publik adalah melayani kepentingan masyarakat. Kepentingan masyarakat di sini tentu berarti bahwa melalui siarannya, TVRI menjamin hak mendapatkan informasi bagi seluruh warga masyarakat. Tidaklah mengherankan bila siaran TVRI dapat dinikmati semua anggota masyarakat di mana pun mereka berada, dari Sabang hingga Merauke. Ini berbeda dengan televisi swasta yang karena orientasi utamanya adalah mencari profit, maka siarannya hanya dapat dinikmati oleh sebagian masyarakat terutama mereka yang tinggal di wilayah perkotaan. Penyelenggara siaran televisi swasta tentu akan berpikir ulang  melakukan operasional siaran hingga ke wilayah-wilayah terpencil karena secara ekonomis  tidak menguntungkan. Kekosongan inilah yang kemudian diisi oleh TVRI.

Dengan memahami karakter TVRI sebagai lembaga penyiaran publik  tentu kita bisa melihat bagaimana posisi strategis sedang dijalankan oleh TVRI bagi segenap masyarakat Indonesia. Dengan karakter TVRI sebagai lembaga penyiaran yang netral dan independen, tentu memberikan garansi pada masyarakat Indonesia bahwa siaran TVRI bersih dari segala bentuk kepentingan tertentu, bahkan bersih dari intervensi kepentingan negara sekalipun.  Karakter ini sangat penting mengingat esok hari (per 1 Januari 2014), Indonesia memasuki tahun Pemilu 2014. Masyarakat Indonesia  membutuhkan informasi yang bersifat netral dan independen. Informasi ini sangat berguna bagi masyarakat untuk menjadi referensi penentuan pilihan pada saat berlangsungnya pemilu. TVRI dapat diandalkan  menjadi kanal informasi Pemilu yang netral dan independen bagi masyarakat.

Karakter TVRI yang tidak berorientasi pada ekonomi (komersial) tentu juga menjamin masyarakat Indonesia mendapatkan informasi berkualitas. Informasi  berkualitas adalah informasi yang layak dan aman untuk dikonsumsi oleh segala lapisan masyarakat. Bukan hal yang baru lagi, ketika kita melihat banyak sekali keluhan masyarakat terhadap kualitas siaran televisi swasta. Maraknya tayangan kekerasan, sinetron yang tidak mengindahkan logika berpikir, informasi yang merendahkan perempuan, dan tayangan  tidak ramah pada anak-anak merupakan keluhan-keluhan yang sering ditemukan di surat pembaca suratkabar. Sebagai lembaga penyiaran publik, TVRI dapat menjadi pilihan alternatif siaran televisi. Dalam hal ini, kelihatannya masyarakat Indonesia perlu belajar dari negara-negara maju. Di negara-negara tersebut, banyak lembaga penyiaran publik yang diandalkan sebagai siaran pendidikan yang aman dan layak untuk anak-anak. Ini tentu tidak mungkin dilakukan oleh televisi swasta Indonesia. TVRI-lah yang dapat mengambil peran tersebut.

Dengan demikian perlu dipertimbangkan benar, apakah keputusan DPR RI tidak memberikan persetujuan pencairan anggaran operasional TVRI sudah merupakan langkah yang tepat? Ini mengingat TVRI menjadi satu-satunya kanal siaran televisi yang mampu menjangkau masyarakat di hampir seluruh wilayah Nusantara. Apalagi bila mengacu pada UU Penyiaran No. 32 tahun 2002, tugas pemerintah (termasuk dalam hal ini DPR RI) adalah memfasilitasi eksistensi TVRI sebagai lembaga penyiaran publik, bukan malah membuatnya semakin tidak berdaya. Bila benar TVRI akhirnya tidak dapat melakukan operasional siaran, maka yang paling merasakan dampaknya adalah masyarakat Indonesia, terutama mereka yang tinggal di wilayah-wilayah pelosok ataupun wilayah terpencil. Sebagai sebuah bangsa, tentu kita semua tidak ingin masyarakat di wilayah ini kehilangan haknya mendapatkan informasi. Oleh karena itu, DPR perlu mencari solusi yang lebih tepat agar TVRI tetap dapat disayang dan terhindar dari kemalangan.

*** Bonaventura Satya Bharata, SIP, M.Si, dosen Ilmu Komunikasi FISIP-Universitas Atma Jaya Yogyakarta

 

 

Search

Pengumuman