Bernas Jogja, Selasa 19 Juni 2012
Oleh Yudi Perbawaningsih
Guru belum banyak menerapkan “E-Learning” baik di pedesaan, pinggiran kota dan perkotaan (Kompas, 28/5). Kompas mengutip pernyataan ini dari Dekan Sampoerna School of Education (SSE).
Sejauh ini penggunaan teknologi internet yang memicu munculnya media-media baru dan model komunikasi baru diyakini dapat memberikan manfaat yang besar bagi tercapainya tujuan-tujuan pada berbagai bidang kehidupan, termasuk bidang pendidikan khususnya pada mutu pembelajaran. Merujuk pada keyakinan ini maka guru sebagai pendidik sangat dianjurkan untuk meningkatkan keterampilan penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) untuk kepentingan proses pembelajaran karena teknologi ini dapat menolong guru menyajikan materi pembelajaran dengan lebih menarik. Kreativitas model pembelajaran memang sangat diharapkan dapat menarik perhatian peserta didik, dengan asumsi daya tarik ini akan berimbas pada kemudahan pemahaman materi. Keyakinan ini juga mendorong banyak institusi pendidikan membangun sistem pendidikan dengan model “E-Learning.” Penerapan model ini bahkan kemudian menjadi bagian dari pencitraan institusi pendidikan sebagai institusi yang berkualitas.
Benarkah selalu bermanfaat?
Mengabaikan faktor-faktor yang mungkin turut berkontribusi, TIK memberikan banyak sekali keuntungan. Hakikat teknologi yaitu untuk menciptakan efisiensi dan efektivitas menjadi hal yang menguntungkan. Demikian juga TIK diciptakan untuk menciptakan efisiensi dan efektivitas dalam pengolahan data dan komunikasi. Efisiensi waktu, tenaga, dan biaya adalah hal yang tidak terbantahkan, demikian juga dengan tercapainya tujuan. Selain itu, TIK juga dapat mengatasi kendala waktu dan tempat. Dalam pembelajaran yang bertujuan untuk meningkatkan pemahaman dan pengetahuan peserta didik, tentu diyakini dapat dicapai dengan lebih efisien dengan menggunakan atau memanfaatkan TIK. Dalam mencari data, TIK berbasis internet memberikan keuntungan yang tidak terkira. Referensi dan sumber data dapat diakses dengan mudah, cepat dan kadang murah, serta dapat dilakukan oleh seorang individu saja. Demikian halnya dalam olah data. Bandingkan olah data statistik secara manual dengan cara memanfaatkan TIK, tentu waktu yang dibutuhkan jauh lebih cepat dan akurat. Peran guru menjadi lebih ringan, tidak lagi menjadi sumber pengetahuan karena pengetahuan dapat dengan mudah dimiliki oleh murid melalui internet. Peran guru cukup menjadi inisiator, motivator, fasilitator dan evaluator. Pada kondisi semacam ini, paradigma pendidikan dapat dilaksanakan dengan konsep andragogi yang menempatkan murid sebagai partisipan aktif, rasional dan dewasa, yang dapat memotivasi dirinya sendiri untuk belajar.
Bagaimana dengan komunikasi guru dan murid, komunikasi antarkomunitas akademik? Pemanfaatan TIK berbasis internet sebagai media komunikasi baru juga memberikan efisiensi. Bandingkan komunikasi tatap muka guru-murid di kelas dengan melalui e-mail dan e-conference. Berapa waktu, tenaga dan biaya yang dihemat? Dalam komunikasi tatap muka guru-murid dibutuhkan waktu yang sama dan tempat yang sama. Jika tak ada waktu dan tempat yang sama, komunikasi ini gagal dilaksanakan. TIK dan media baru dapat mengatasi kendala itu, bahkan ketika tidak memiliki tempat atau jarak yang jauh. Waktu dan tempat tidak lagi menentukan.
Namun demikian, apakah penggunaan TIK berbasis internet selalu bermanfaat bagi proses pembelajaran dan pendidikan? Hal yang sering diabaikan ketika menjelaskan manfaat TIK adalah konteks sosial budaya dan bahkan politik. Padahal secara empirik, konteks ini berkontribusi sangat besar untuk menjelaskan kemanfaatan TIK dalam pendidikan. Pada konteks tertentu, pemanfaatan TIK berbasis internet tidak selalu menguntungkan.
TIK merugikan proses pendidikan?
Ya, seandainya pemanfaatan TIK ini mengabaikan atau tidak mempertimbangkan konsekuensi dan implikasinya pada masyarakat, institusi, dan budaya (Pavlik, 1996:303-334). Dalam konteks pendidikan dan pembelajaran, pemanfaatan TIK akan berimplikasi pada individu anggota komunitas pendidikan, organisasi dan budaya belajar. Implikasi pemanfaatan TIK berbasis internet adalah melimpahnya pengetahuan. Ini akan menghasilkan ambiguitas yang sangat tinggi bagi sebagian komunitas pendidikan . Dihadapkan pada derajat rasionalitas yang tidak tinggi, peserta didik justru akan menghindari terpaan informasi karena ambiguitas menyebabkan ketidaknyamanan kognitif. Situasi ini tentu tidak kondusif bagi pencapaian tujuan pembelajaran. Dalam hal ini, guru tetap memiliki peran penting sebagai fasilitator untuk memilih dan memilah serta kalau perlu mereduksi informasi dan mengarahkan pemaknaan atas informasi. Namun demikian, bagi murid yang memiliki daya pemahaman yang tinggi dan cukup rasional, upaya ini dapat dimaknai sebagai upaya membatasi kebebasan murid untuk membangun pengetahuannya sendiri. Pada bagian lain, TIK juga memberikan kemudahan dan kecepatan olah data. Hal ini berimplikasi pada kemungkinan pengabaian proses yang bertahap dan berorientasi pada hasil. Ini menggiring pada terciptanya mental serba instan dan tidak peduli substansi dan esensi. Komunitas pendidikan menjadi pragmatis dan tidak lagi peduli pada hakiki dan filosofi.
Di sisi lain, komunikasi tatap muka yang tergantikan oleh media berbasis TIK menjadikan interaksi kehilangan sentuhan afeksi yang lebih mudah muncul ketika ada interaksi non verbal, terutama simbol-simbol yang melibatkan indra peraba dan indra pengecap yang sampai saat ini belum dapat dilakukan oleh teknologi. Relasi guru dan murid yang terbangun menjadi pragmatis sehingga nilai-nilai kebersamaan personal yang biasanya menjadi karakter pendidikan di Indonesia justru sulit dicapai. Proses pembelajaran yang bertujuan untuk membangun karakter dan afeksi, moral dan integritas menjadi terkendala. Pada aspek pengurangan beban guru karena digantikan oleh TIK juga tidak selalu ditanggapi positif. Reduksi peran secara politis berarti juga pengurangan kewenangan dan kekuasaan. Tidak hanya itu, reduksi peran ini juga bisa diartikan sebagai reduksi finansial. Masih banyak ditemui guru yang masih nyaman dalam posisi sebagai “atasan” bagi muridnya, dan keberadaan TIK justru menjadi ancaman.
Efek negatif sebagai implikasi atas karakter teknologi tentu tidak hanya ini. Oleh karena itu, kebijakan organisasi pendidikan untuk menggunakan model e-learning harus mempertimbangkan rasio keuntungan dan kerugian dengan menganalisis karakter komunitas pendidikan, budaya organisasi dan tentu adalah tujuan pendidikan dan pembelajaran. Menggunakan metafora efektivitas obat, dianggap bermanfaat jika obat lebih banyak memberikan manfaat daripada efek samping. Demikian pula penggunaan model e-learning pada proses pendidikan di Indonesia. Dikatakan e-learning efektif jika manfaat lebih banyak daripada kerugian.
Yudi Perbawaningsih, dosen pada Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Atma Jaya Yogyakarta