Bernas Jogja, Selasa, 5 Agustus 2014
Oleh Bonaventura Satya Bharata, SIP, M.Si.
Di tengah-tengah masyarakat Indonesia bersuka cita dengan perayaan Idul Fitri pada pekan kemarin, muncul berita mengejutkan, khususnya bagi mereka yang senang berselancar di dunia maya (internet). Terdapat tujuh sampai delapan situs berita ternama di Indonesia yang dipalsukan. Tercatat situs-situs berita populer seperti tempo.co, kompas.com, detik.com, liputan6.com, antaranews.com, dan tribunnews.com menjadi korban karena dipalsukan oleh orang atau kelompok orang yang tidak bertanggung jawab.
Kasus situs-situs berita palsu ini terungkap terutama di media sosial, ketika mulai banyak akun media sosial yang mempublikasikan atau menyebarluaskan (sharing) tautan berita-berita yang diunggah oleh situs-situs tersebut. Berita-berita ini seakan-akan dipublikasikan oleh situs berita populer di masyarakat, namun ketika ditelusur ke situs-situs tersebut, desain atau tampilan halamannya lebih menyerupai sebuah blog daripada situs berita pada umumnya.
Tidak diketahui pasti, apa kira-kira tujuan dari orang-orang yang membuat situs berita palsu ini. Tetapi bila masyarakat mempelajarinya, tampak bila situs-situs ini dikelola secara sistematis karena dalam tampilannya menyediakan fasilitas bagi pengakses untuk mengakses berita-berita lain yang berasal dari situs berita lain yang juga merupakan situs berita palsu. Situs-situs ini merisaukan karena isinya memutar balik fakta-fakta dari situs-situs berita yang ditirunya dan lebih bersifat opini pribadi. Tentu ini meresahkan masyarakat, apalagi masyarakat masih dalam suasana hangat Pemilu Presiden 2014 yang penuh dengan konflik.
Masyarakat dan lembaga media yang dipalsukan pun bergerak cepat. Mereka melaporkan dan mendesak Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) segera menutup situs-situs tersebut. Namun setelah dilakukan penyelidikan dan penelusuran, Kemenkominfo merasa kesulitan melakukan penutupan situs-situs ini karena server dari situs-situs ini ternyata berada di luar negeri. Tindakan paling jauh yang dapat dilakukan adalah hanya dengan melakukan pemblokiran. Ini artinya situs-situs ini tetap dapat muncul sewaktu-waktu walau dengan alamat berbeda, yang sedikit diubah dari situs berita aslinya.
Sampai pada titik ini, masyarakatlah yang harus membentengi diri sendiri agar jangan sampai jatuh pada pengaruh dari situs berita palsu. Untuk menghindarinya, masyarakat sebaiknya memahami apa dan bagaimana berita sebagai produk jurnalistik, produk yang sedang dipalsukan oleh situs-situs berita abal-abal tersebut. Hal ini memang perlu untuk dikenali, sehingga masyarakat mampu membedakan mana berita yang asli dan mana pula berita yang abal-abal.
Berita merupakan rangkaian fakta dari sebuah peristiwa, yang diyakini layak diketahui, yang dikonstruksi kembali untuk disebarluaskan kepada masyarakat. Dengan demikian esensi penting dari berita yang ditulis oleh seorang wartawan adalah adanya rangkaian fakta yang membuktikan bahwa peristiwa tersebut memang benar terjadi. Ini yang membedakan berita dengan karya sastra seperti cerpen, novel, sajak, ataupun puisi. Bila karya sastra diperkenankan menggunakan rangkaian fiksi (belum tentu terjadi), tidak demikian dengan berita. Berita harus berbasis pada fakta.
Misalnya terdapat peristiwa kecelakaan lalu lintas pada arus mudik Lebaran 2014, ketika wartawan menuliskannya menjadi berita, wartawan harus mampu menyajikan rangkaian faktanya ke masyarakat. Berapa jumlah korban, siapa saja yang menjadi korban, apa penyebab terjadinya kecelakaan, dan kronologis kejadian merupakan ragkaian fakta yang biasanya diceritakan oleh wartawan kepada masyarakat untuk meyakinkan bahwa peristiwa tersebut memang ada dan bukan hanya karangan cerita belaka.
Rangkaian fakta yang dibeberkan wartawan biasanya dapat ditelusur melalui 5W+1H (what atau apa, who atau siapa, when atau kapan, where atau di mana, why atau mengapa, dan how atau bagaimana). Berita yang baik, biasanya akan menyajikan kelima unsur ini secara lengkap. Ketidaklengkapan unsur dalam sebuah berita biasanya akan memunculkan sudut pandang yang berbeda bahkan juga bias. Sudut pandang yang berbeda atau bahkan bias berita dapat menyebabkan pemahaman yang salah bagi masyarakat untuk menyimpulkan sebuah peristiwa yang diberitakan.
Misalnya dengan contoh kecelakaan lalu lintas di atas, katakanlah yang melibatkan bus dan sepeda motor. Bila wartawan tidak menceritakan secara detil aspek why atau mengapa (penyebab terjadinya perstiwa) dan how atau bagaimana (kronologis peristiwa), mungkin masyarakat akan langsung menyalahkan supir bus dibandingkan pengendara sepeda motor. Padahal mungkin saja fakta kecelakaan disebabkan oleh pengendara sepeda motor yang kelebihan muatan sehingga tidak mampu menjaga keseimbangan ketika berjalan di atas aspal jalan yang rusak dan akhirnya terserempet oleh bus yang berada di belakangnya.
Selain masalah fakta dan kelengkapan fakta, berita yang ideal haruslah berimbang (balance), terutama ketika berita sedang mengisahkan peristiwa yang bernuansa konflik atau kompetisi. Berita berimbang artinya wartawan memberikan ruang atau volume yang seimbang bagi realitas yang melibatkan pihak-pihak yang sedang berkonflik atau berkompetisi. Dalam dunia jurnalistik, hal ini dikenal dengan istilah cover both side atau liputan dua sisi.
Bahkan konsep cover both side ini juga sudah mulai dikembangkan menjadi konsep liputan multi sisi atau liputan dari banyak sisi. Artinya selain memberikan ruang bagi dua pihak yang sedang berkonflik atau berkompetisi, wartawan juga memberikan satu ruang lagi bagi pihak yang diyakini sebagai pihak penengah atau tidak berpihak pada salah satu pihak yang berkonflik atau berkompetisi. Ini tentu dimaksudkan, agar produk berita yang dihasilkan lebih komprehensif sifatnya dan menghindari konflik yang dapat meruncing.
Misalnya dalam Pemilu Presiden 2014, ketika hanya ada dua calon presiden yang berkompetisi, media yang baik akan memberi ruang atau volume yang berimbang bagi realitas yang melibatkan para kandidat presiden tersebut. Berimbang di sini bahkan tidak hanya dari sisi peristiwa yang ditampilkan (realitas sosial), namun ketika media mengutip pendapat narasumber dari pihak yang satu (realitas psikologis), maka media tersebut juga perlu menampilkan narasumber dengan bobot yang seimbang dari pihak lawannya.
Berikutnya, media ideal tidak akan bersifat provokatif atau bombastis dalam menggunakan bahasa untuk menuliskan berita. Inilah yang dimaksud aspek netralitas dalam pemberitaan. Wartawan hendaknya menghindari aspek sensasional dalam menuliskan berita. Artinya wartawan dilarang keras melibatkan faktor emosional pribadi dalam menulis berita. Pemberitaan yang menggunakan unsur bombastis atau sensasional akan terkesan mendramatisir peristiwa. Peristiwa yang sebenarnya biasa saja, akan tampak menjadi luar biasa bila wartawan tidak cermat dalam memilih kata atau frase.
Misalnya dalam sebuah peristiwa kecelakaan pesawat, wartawan tidak diperkenankan menuliskan ‘Tragedi Maha Dahsyat’. Frase ‘maha dahsyat’ secara tidak langsung membuat berita menjadi bias yang menyebabkan ketidakjelasan informasi. Wartawan sebaiknya menuliskan saja apa yang sedang dilihatnya, misalnya mengenai kondisi pesawat, seberapa luas area kecelakaan, dan bagaimana kondisi wilayah kecelakaan. Dalam mendeskripsikan kondisi korban, wartawan pun harus hati-hati dalam menuliskannya. Terdapat koridor etika untuk melakukannya. Tentu hal ini dilakukan untuk juga membantu psikologis keluarga korban yang terkena musibah.
Terakhir, sebagai media yang kredibel atau dapat dipercaya, lembaga media wajib mencantumkan identitas lembaga, misalnya nama dan alamat lembaga, ijin berdirinya lembaga, sampai juga personil lengkap yang bekerja di lembaga tersebut. Ini dimasudkan agar bila terjadi keberatan atas pemberitaan, pihak yang merasa dirugikan mampu melakukan hak jawab kepada lembaga media yang bersangkutan. Hak jawab merupakan hak yang diberikan kepada orang atau pihak yang dalam kondisi tertentu merasa dirugikan oleh pemberitaan media. Lembaga media pun wajib memberikan ruang untuk hak jawab ini.
Akhirnya, dengan menyadari karakteristik berita sebagai produk jurnalistik, diharapkan masyarakat mampu memberikan penilaian mandiri pada sebuah informasi dari manapun informasi ini berasal. Masyarakat mampu mengidentifikasi mana informasi yang benar berupa produk jurnalistik dan mana informasi yang hanya merupakan kabar bohong, fitnah, ataupun isapan jempol belaka. Dengan demikian, tidak perlu lagi ada kekhawatiran bila di dunia maya dibanjiri beragam informasi, termasuk dari situs-situs berita abal-abal karena masyarakat memiliki kapasitas untuk melakukan penilaian.
*Bonaventura Satya Bharata, SIP, M.Si, dosen Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP-Universitas Atma Jaya Yogyakarta