Media Darling: Apa yang Salah?

Bernas Jogja, Selasa 30 Juli 2013

Oleh: Yudi Perbawaningsih **

Harian Kompas (24/7)  memuat hasil survei nasional Indikator Politik Indonesia bertajuk “Internet, Apatisme dan Alienasi Politik” yang menyebutkan media sosial memberi andil besar dalam membentuk ketidakpercayaan publik terhadap institusi politik.

Disebutkan dalam penelitian tersebut ketidakpercayaan publik pada parpol mencapai 58%, politisi 57%, DPR 49% dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) 26%. Peneliti mempercayai bahwa ketidakpercayaan tersebut dipengaruhi oleh media sosial seperti facebook dan twitter, sekalipun responden yang memiliki akun twitter hanya 3% dan facebook sebesar 11%. Pramono Anung, Wakil Ketua DPR, memberikan analisis bahwa anggota DPR sering menjadi bulan-bulanan pemberitaan. Sistem demokrasi saat ini masih dalam level media darling. Sebagai contoh pada 2009 media darling tertuju pada SBY, sedangkan sejak tahun 2013 media darling beralih pada Joko Widodo yang kini menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Media darling adalah tokoh popular yang sering memperoleh perhatian dan menyenangkan media berita.

Pernyataan Pramono ini dapat dimaknai bahwa media darling adalah hasil dari bentuk demokrasi media  yang tidak sempurna karena peranan media yang terlalu besar dalam mengarahkan apa yang dipikirkan publik dan bagaimana memikirkannya. Popularitas Joko Widodo sebagai aktor politik pada tahun 2013 bisa jadi lebih banyak ditentukan oleh media dibanding oleh sesuatu yang faktual, objektif adan berdasarkan realitas sosial. Oleh karena itu, publik perlu memahami fenomena ini secara kritis dan tidak gampang percaya.

Fenomena media darling ini mengingatkan pada teori agenda setting, salah satu teori efek media yang mengasumsikan bahwa media memiliki kekuatan  besar untuk membentuk pikiran orang atau publik. Apa yang dipikirkan media sama dengan apa yang dipikirkan publik. Ketika media memberitakan Jokowi secara positif dengan frekuensi dan intensitas yang tinggi, maka publik akan memikirkan Jokowi secara positif pula. Demikian juga ketika media memberitakan hal yang buruk tentang DPR maka publik akan menilai DPR sedemikian rupa. Hal inilah yang dikeluhkan oleh Pramono kepada media yang sering memberitakan DPR secara negatif. Maka, ini berbuah pada tingginya ketidakpercayaan publik pada DPR.

Persoalannya adalah sekuat itukah media membentuk pikiran publik? Benarkah secara empiris, ketidakpercayaan publik terhadap tokoh tertentu sebagai akibat pemberitaan yang buruk tentangnya ataukah sebaliknya media darling akan selalu  berbuah persepsi positif publik?

Press Agency

Jaman dulu di Amerika ada lembaga yang disebut dengan press agency atau keagenan pers. Lembaga ini adalah lembaga profit, menawarkan jasa untuk mempopulerkan atau membesarkan nama seseorang melaui media, pada saat itu media yang dimaksud adalah surat kabar. Biasanya orang yang memerlukan jasa ini adalah tokoh politik untuk memperoleh dukungan suara dalam pemilihan politik. Jadi konsep bahwa media mampu membangun citra seseorang sudah ada sejak lama.  Asumsi bahwa dengan pemberitaan yang positif akan meningkatkan elektabilitas seseorang juga sudah ada sejak lama. Kekuatan media seperti ini  dapat dipahami dalam konteks atau kondisi pada saat itu, yakni (1) media belum beragam dan jumlahnya tidak banyak sehingga kompetisi media rendah, dan (2) media hanya dapat menawarkan komunikasi satu arah atau linier yang menempatkan media adalah sumber dan pembaca adalah penerima. Dalam relasi seperti ini, posisi penerima adalah lemah dan pasif sehingga tidak memiliki kesempatan dan kemampuan untuk mengkritisi dan mengelaborasi. Hal ini juga didukung dengan sedikitnya jumlah media menyebabkan publik tidak memiliki pilihan sehingga ada kecenderungan tingginya ketergantungan publik pada media.

Kondisi tersebut tentu sudah berubah pada saat ini. Kompetisi media sudah sangat tinggi bukan hanya karena banyak penerbit surat kabar, tetapi juga tipe media yang lain seperti radio, televisi, bahkan media berbasis internet. Hal ini tentu memberikan banyak pilihan bagi publik pengguna media. Ketergantungan publik pada satu media kemungkinan tidak terjadi lagi. Yang kedua adalah publik semakin kritis karena mungkin latar belakang pendidikan juga semakin baik. Kekritisan ini menyebabkan kemampuan elaborasi terhadap pesan media juga meningkat. Publik akan membandingkan isi media yang satu dengan yang lain, dan akan menentukan media yang paling kredibel. Publik juga tidak hanya membandingkan pesan antar media tetapi juga membandingkan pesan media dengan realitas empiris.

Ketiga adalah karakter media yang memungkinkan  adanya interaksi, baik interaksi antar pengguna media dan interaksi antara pengelola media dengan pengguna. Interaksi ini juga memungkinkan meningkatnya kemampuan elaborasi terhadap pesan media. Merujuk  kondisi baru ini, secara teoritik mestinya  kekuatan media akan berkurang. Sekali pun media menyuarakan secara positif seorang politisi dalam intensitas yang tinggi, publik tidak akan semata-mata membangun persepsi yang sama. Bahkan ketika media tersebut dinilai publik tidak kredibel, maka pesan tersebut  akan diabaikan. Berdasarkan asumsi ini, media darling tidak berpengaruh pada sikap ataupun tindakan publik. Jadi ketidakpercayaan publik pada DPR – dalam kasus di atas – bukan disebabkan oleh pemberitaan media semata, namun juga disebabkan oleh pengalaman dan pengamatan publik secara empiris pada sepak terjang anggota DPR. Begitu juga dengan Joko Widodo sebagai media darling 2013 belum tentu akan mengarahkan pada persepsi positif publik. Secara teoritik dapat disimpulkan bahwa peranan media pada saat sekarang ini mengalami penurunan yang diakibatkan oleh kemampuan kritis dan elaboratif publik,  keragaman media dan keragaman isi berita, dan termasuk karakter interaktif dari media online.

Fakta Empiris

Apakah masyarakat Indonesia adalah publik yang kritis? Apakah banyaknya media di Indonesia juga menawarkan keragaman pesan atau informasi? Apakah ketergantungan kita pada media dalam memperoleh informasi menurun?

Ketiga pertanyaan  wajib dijawab untuk bisa mengukur kekuatan media di Indonesia. Jumlah stasiun TV di Indonesia sudah lebih dari cukup, penerbit surat kabar tentu juga banyak, demikian juga dengan radio, tetapi banyaknya media ini ternyata tidak diikuti keragaman informasi. Acara di televisi atau radio, rubrik di koran atau majalah, memiliki tema yang cenderung sama. Isi berita juga relatif sama pada semua media. Interpretasi terhadap berita yang ditawarkan media juga sama. Mengapa bisa demikian? Hal ini disebabkan media melihat khalayak pembaca dan penonton adalah pasar, dan informasi adalah komoditas. Jadi, informasi yang dijual mengikuti apa yang sudah jelas telah diterima dan diminati khalayak. Hasilnya adalah saling mengekor dan meng’copy’. Dalam kondisi semacam ini, khalayak akhirnya toh  tidak memiliki pilihan media kecuali mencari informasi dari sumber lain. Namun, seberapa banyak masyarakat Indonesia yang memiliki waktu untuk melakukan hal ini? Mungkin tidak banyak. Dengan kata lain, khalayak pengguna media di Indonesia tidak mampu menjadi kritis dan elaboratif karena sistem dan iklim komunikasi massa di Indonesia tidak kondusif. Perlu waktu dan upaya untuk membangun publik yang kritis dan mandiri sehingga mampu membentuk atau mengubah sistem dan iklim komunikasi massa yang seperti ini.

Apa yang Salah?

Media memiliki hak menentukan siapa yang akan menjadi media darling dalam pemberitaannya namun juga tetap menjaga objektivitas dan independensinya. Menjadi keliru jika media darling ditentukan atau dipengaruhi oleh pihak-pihak lain yang memiliki agenda atau kepentingan tertentu, termasuk kepentingan publik atau pasar. Sebagai media yang diharapkan turut membangun bangsa,  media darling semestinya ditentukan berdasarkan fakta empiris, yang memang memiliki reputasi yang positif bagi bangsa. Hal ini  sangat perlu dan mendesak mengingat kekritisan publik atau masyarakat Indonesia ditentukan oleh sistem, iklim dan karakter media.

** Penulis adalah dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta

 

Search

Pengumuman