Mengenang Mereka, Menjaga Bangsa

Bernas Jogja, Selasa, 25 Februari 2014

Oleh Birgitta B. Puspita

London, ibu kota Inggris selalu berusaha mengingatkan warganya  tak melupakan mereka yang gugur baik ketika perang di masa lalu, maupun mereka yang wafat karena hal-hal yang lebih sederhana, misalnya polisi dan petugas pemadam kebakaran. Setidaknya ada empat monumen peringatan yang cukup menyita perhatian. The Police Memorial Trust merupakan monumen peringatan yang didirikan untuk mengenang para polisi yang tewas saat menjalankan tugas.  Monumen  dilengkapi  daftar nama yang hingga hari ini tercatat hampir 1600 nama perwira polisi  (londonremembers.com, 2014). Selain itu, London juga memiliki monumen yang didirikan 1991  khusus untuk menghormati petugas pemadam kebakaran yang tewas menjalankan tugas dan sekitar 1.192 nama  terpahat di sana (firefightersmemorial.org.uk, 2011).

Bahkan London pun peka terhadap gender untuk pendirian monumen di ruang publik. Salah satunya  The Women of the World War II. Monumen ini berdiri di ruas jalan protokol dari arah National Art Galery menuju  Big Ben dan didirikan untuk mengenang para perempuan Inggris yang turut berjuang di Perang Dunia II dengan caranya masing-masing, di medan perang maupun di rumah. Monumen ini juga bertujuan  memberikan semangat bagi perempuan generasi mendatang agar tak melupakan sejarah (The Telegraph, 2005). Monumen lain yang menyita perhatian di ruang publik London adalah Bali Bombing Memorial  berbentuk bola dunia berukir 202 merpati perlambang jumlah korban tewas dari 21 negara dalam peristiwa bom di Kuta, Bali tahun 2002 (BBC, 2006).

Penempatan monumen peringatan di ruang publik di  London menjadi tempat strategis bagi masyarakat kota London untuk menunjukkan simpatinya kepada para orang-orang yang berjasa bagi negara. Empat contoh monumen peringatan di atas hanya sebagian kecil dari total lebih dari 300 monumen tersebar  di London bagian selatan sungai Thames (Secret-london.co.uk, 2014). Bukannya menjadi tempat terlupakan karena dilewati setiap hari, monumen-monumen ini justru menjadi tempat bagi masyarakat  meletakkan bunga kertas berwarna merah dengan titik hitam, yang biasa disebut poppy. Poppy adalah satu-satunya bunga yang hidup di antara jenazah para tentara ketika bumi dihancurkan dalam perang dunia, sehingga poppy menjadi simbol pengorbanan para tentara perang (BBC, 2014).

Sama halnya di Indonesia, London Poppy Day yang merupakan hari  mengenang jasa pahlawan juga jatuh setiap November. Pada hari itulah bunga-bunga poppy  dijual di tempat umum dengan harga hanya £ 1 sebagai donasi untuk disematkan di pakaian atau diletakkan bersama kenangan lain di area monumen. Indonesia, negara kita yang baru mengecap kemerdekan 68 tahun lamanya, juga memiliki cara  mengenang mereka yang berjasa bagi negara.  Pendirian monumen peringatan juga menjadi salah satu caranya. Di kota Yogyakarta, misalnya, dikenal  Monumen Jogja Kembali atau sering disebut Monjali. Monumen ini didirikan untuk mengenang peristiwa ditariknya tentara Belanda dari Ibu kota Yogyakarta  29 Juni 1949, yang sekaligus menjadi tanda awal bebasnya Indonesia dari kekuasaan pemerintahan Belanda. Di halaman  museum terdapat  dinding yang memenuhi satu sisi selatan monumen berisi daftar 422 nama pahlawan yang gugur antara  19 Desember 1948 sampai  29 Juni 1949 (monjali-jogja.com, 2011). Tugu peringatan lain yang cukup dikenal masyarakat Jogja adalah Monumen Serangan Umum 1 Maret. Monumen yang terletak di kawasan Nol kilometer ini didirikan  mengenang pendudukan kota Yogyakarta selama 6 jam oleh TNI untuk menunjukkan bahwa Republik Indonesia masih ada (Jogjatrip.com, 2010). Walaupun jumlah monumen peringatan di kota Yogyakarta tidak sebanyak yang ada di kota London, namun Yogyakarta sudah memberikan ruang publik bagi masyarakat untuk mengenang jasa para pahlawan.

Akan tetapi ada hal lain yang menjadi nilai lebih Indonesia yaitu upacara bendera. Walaupun terkadang para siswa malas mengikuti upacara yang biasanya dilaksanakan rutin, dan menganggap bahwa upacara adalah hal yang tidak ada artinya,  namun hal-hal sederhana dalam upacara justru menjadi sarana penanaman nasionalisme penerus bangsa. Misalnya ketika pengibaran Sang Merah Putih secara perlahan diiringi lagu kebangsaan kita “Indonesia Raya” yang mengingatkan peserta upacara akan kegembiraan, kebanggaan, dan keharuan ketika bendara Indonesia pertama kali dikibarkan setelah  kemerdekaan. Alangkah sedihnya anak-anak, ketika mereka tidak bisa menikmati momen tersebut karena tidak ada pengibaran bendera saat upacara, seperti dialami Sekolah Dasar Ilmu Sains dan Teknologi Al Albani Matesih, Karanganyar. Baru dua tahun lalu, akhirnya sekolah tersebut mengadakan upacara lengkap dengan pengibaran bendera, disambut antusias anak-anak didiknya,  lengkaplah upacara mereka (Tempo.co, 17 Juni 2011).

Mungkin masih ingat sepenggal lirik lagu karangan T.Prawit yang tak pernah absen kita nyanyikan saat mengikuti upacara bendera. Saat mengheningkan cipta, di mana kita dididik untuk selalu mengenang dan mengingat jasa pahlawan bangsa yang telah menghadiahi  negara merdeka. Mengheningkan cipta menjadi bagian kecil dalam upacara memupuk rasa nasionalisme dengan cara yang sederhana. Saya tak yakin ketika mengheningkan cipta para peserta upacara benar-benar mengingat kembali perjuangan pahlawan sebelum tahun 1945, mungkin sebagian dari mereka hanya diam saja dan menunduk. Namun demikian, lirik lagu mengheningkan cipta sampai kapan pun bahkan ketika kita sudah tidak lagi bersentuhan dengan upacara bendera, akan terus terkenang. Dalam liriknya yang sederhana itulah, kita selalu diingatkan bahwa kemerdekaan dan bendera yang kita punya saat ini bukan sesuatu yang didapatkan secara gratis dan mudah, tetapi penuh perjuangan dan dibayar dengan nyawa.

Memang yang penting bukan jumlah monumen dan bukan pula simbol yang kita berikan untuk  mengenang jasa para pahlawan, namun bagaimana kita sebagai warga negara mampu dan mau mengingat jasa mereka. Peringatan Hari Pahlawan memang telah berlalu, sementara Dirgahayu Kemerdekaan masih jauh di depan. Namun tak ada salahnya kita mencermati sejenak penghargaan  pahlawan menjelang hajat besar politik negeri ini. Tidak perlu kita membangun puluhan monumen baru di Yogyakarta ini untuk menghormati para pahlawan, namun cukuplah kita menjaga monumen yang memang sudah ada, menjaga kebersihan dan keutuhannya. Menjadi warga masyarakat Yogyakarta layaknya bunga poppy, mampu tumbuh dan berkembang dalam situasi negara yang tak kunjung stabil baik dari segi politik maupun bencana.  Menjadi warga negara yang baik dan memilih calon pemimpin secara bijaksana di Pemilu mendatang, mungkin itu menjadi salah satu cara  terbaik  mengucap terima kasih kepada pahlawan bangsa. “Nan gugur remaja di ribaan bendera…Bela nusa bangsa... Kau cah’ya pelita…bagi Indonesia merdeka…”

Birgitta B. Puspita, dosen Prodi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Search

Pengumuman