Terjebak Pesan dalam Berita Media Massa

Bernas Jogja, Selasa 9 September 2014

Oleh Theresia D. Wulandari*

Nama Florence Sihombing belakangan menjadi buah bibir banyak media, baik dalam maupun luar negeri. Bukan dikenal sebagai artis berprestasi atau penerima penghargaan dalam ajang bergengsi, namun namanya kini tersohor sebagai pesakitan akibat aksi kicauan di sosial media tentang Kota Yogyakarta.

Perempuan 26 tahun yang merupakan mahasiswa Pascasarjana Kenotariatan UGM ini ditetapkan sebagai tersangka pada Sabtu (30/9/2014) setelah dilaporkan ke pihak berwajib. Dia dikenakan sangkaan pasal 311 KUHP tentang Pencemaran Nama Baik dengan ancaman hukuman pidana 4-6 tahun penjara dan pasal 28 ayat 2 UU No.11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elekronik (UU ITE) dengan ancaman hukuman pidana kurungan maksimal 6 tahun dan atau denda sebesar Rp1 miliar.

Mengapa demikian? Florence pada Rabu (27/8/2014) menyantumkan status di akun media sosial yang berisi makian atas kekesalannya mengantri di SPBU wilayah Baciro Yogyakarta. Status ini  bermasalah di kemudian hari karena berisi makian atas Kota Yogyakarta dan dianggap provokatif  mengajak teman-temannya untuk tidak tinggal di Yogyakarta. Tidak lama, status Florence marak dibicarakan di media sosial, diduplikasi, bahkan menghiasi banyak berita di media massa, baik cetak, elektronik, maupun internet.

Satu sisi banyak pihak mengecam apa yang dilakukan Florence. Di sisi lain, banyak juga yang membela Florence. Banyak sudut pandang yang melatarbelakangi kasus ini menuai kontroversi di ranah publik, namun ada baiknya menelaah kasus ini secara lebih obyektif dari kacamata ilmu komunikasi massa.

Sebagai salah satu saluran pengirim pesan, media massa tidak lepas dari hal-hal yang muncul sebagai bagian dari konsekuensi pesan yang dikirimkan kepada khalayak. Hal tersebut adalah efek media. Menurut pakar media massa Steven M. Chaffee, efek media dapat dilihat salah satunya berkaitan dengan jenis perubahan yang terjadi pada diri khalayak, yaitu perubahan pada aspek kognitif, afektif, dan konatif. Aspek kognitif efek media berhubungan dengan informasi yang disampaikan mengenai orang, benda, lokasi, maupun hal-hal yang ditampilkan. Dengan kata lain, pesan media menambah pengetahuan dan pikiran manusia mengenai hal-hal yang disampaikan. Dari yang tidak tahu menjadi tahu, dari yang tidak jelas menjadi sangat jelas.

Efek afektif memberi rangsangan kepada khalayak media untuk tidak hanya sekedar tahu, namun juga turut merasa iba, haru, sedih, marah, gembira, benci, kesal. Efek afektif muncul karena  dipengaruhi faktor lain, misalnya suasana emosional, predisposisi individual, dan identidikasi khalayak terhadap objek pesan yang ditampilkan media.

Seakan menjadi sintesa dari kedua aspek sebelumnya, maka efek konatif berhubungan dengan perilaku, kegiatan, dan tindakan yang dilakukan  khalayak pasca merasakan  efek kognitif dan afektif  tayangan media. Tindakan ini bisa bermacam-macam, tergantung stimulan pesan yang timbul akibat pesan  di media.

Pada kasus Florence, barangkali perlu dikaji secara lebih mendalam, apakah tindakan hukum yang dialami Florence  memenuhi rasa keadilan bagi pelakunya. Jangan-jangan publik “terjebak” pada pesan media yang mempersepsikan tindakan Florence dan menjadikannya sebagai penjahat dunia maya dan layak di-bully, bahkan dianggap layak dipenjara.

Seperti diuraikan sebelumnya, pesan media dengan beragam efek yang ditimbulkan, seakan turut berpengaruh pada persepsi kita pada objek benda, orang, atau apapun yang ditampilkan media massa. Mengapa demikian? Pakar media Universitas Toronto Marshal McLuhan mengemukakan kosep “global village” yang menegaskan bahwa manusia hidup di era teknologi. Akibatnya, kehidupan manusia ditentukan pula oleh moda komunikasinya karena nothing remains untouched by communication technology, kata Em Griffin.

Tidak mengherankan, bentuk kalimat uneg-uneg yang terpampang di akun media sosial menjadi konsumsi publik semata diawali dengan pengetahuan publik atas kasus ini dari media massa.Tahap selanjutnya, eksposure kicauan Florence yang dilakukan media secara terus menerus dan berulang-ulang memicu emosi dan kemarahan publik yang langsung maupun tidak langsung merasa berhubungan dengan Kota Yogyakarta. Alhasil, banyak orang ikut mem-bully Florence, tersulut emosinya, bahkan ada kelompok-kelompok melaporkan aksi Florence kepada pihak berwajib. Ya, suasana emosional, predisposisi individual pemirsa yang merasa dekat dengan Kota Yogyakarta, dan identifikasi khalayak terhadap pesan yang disampaikan Florence di media massa seakan menyumbang  argumen mengapa banyak orang turut memanaskan suasana bahkan melaporkan Florence ke pihak berwajib.

Namun, Florence yang sudah terlanjur diciduk aparat dan dibui, dibela oleh beberapa pihak. Mereka menganggap sangkaan UU ITE yang berimbas pada penahan Florence melanggar hak asasi manusia. LBH Pers, Aliansi Jurnalis Independen Yogyakarta, LBH Yogyakarta dan Komisi Masyarakat Informasi Publik mengatakan tindakan Florence sepenuhnya dilindungi oleh Pasal 28 UUD 1945 tentang kebebasan berpendapat, serta UU No.9/1998 tentang Tata Cara Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, UU No.39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan UU No.12/2005 tentang Ratifikasi Hak Sipil Politik. Alhasil, Mapolda DIY mengabulkan permohonan penangguhan penahanan atas Florence yang diajukan pihak UGM setelah dua hari lamanya Florence tinggal di balik jeruji besi.

Barangkali kasus ini menjadi cerminan bahwa khalayak  media massa perlu mencermati dengan sangat dalam, bagaimana media mengemas pesan dalam beritanya. Setidaknya khalayak publik tidak serta merta terjebak dengan pesan media massa yang dikemas sedemikian rupa dalam bentuk berita, sehingga mengabaikan prinsip humanis dan empatinya. Selain cerdas memilih tayangan berita, publik juga wajib menelaah pesan yang disampaikan  sehingga  turut mengontrol media agar tidak mengabaikan hak-hak seseorang atau pihak lain sebagai objek berita.

*Penulis adalah dosen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Atma Jaya Yogyakarta

 

Search

Pengumuman