Search

Tantangan dan Keunikan Polisi Wanita

Bernas Jogja, Selasa 2 September 2014

Oleh Amelberga Vita Astuti*

Polisi wanita (polwan) adalah profesi yang unik dan penuh tantangan karena terkandung dua makna  berlawanan secara sosial dan budaya di dalam dua kata tersebut. Sebagai polisi, para polwan sebagian besar bertugas  menghadapi kekerasan yang bermakna maskulin. Sebagai wanita, mereka diharapkan mempunyai sisi feminin dalam sikap dan tindak-tanduk baik di dalam maupun di luar pekerjaan. Suatu tantangan besar untuk menghadapi dua persepsi  berlawanan tersebut. Lalu bagaimana perkembangan tantangan dan keunikan polwan sampai pada hari ulang tahunnya ke 66  tanggal 1 September 2014?

Polwan dibentuk  tahun 1948 ketika terjadi Agresi Militer Belanda II. Pada waktu itu di Bukittinggi berlangsung pemeriksaan  Pemerintah Darurat Republik Indonesia terhadap para pengungsi untuk menghindari penyusupan musuh. Para pengungsi wanita tidak mau digeledah aparat keamanan berjenis kelamin pria. Berawal dari kebutuhan tersebut Pemerintah Indonesia mendirikan Sekolah Kepolisian bagi kaum wanita yang sampai sekarang berkembang tugasnya tidak hanya menangani tugas khusus berkaitan dengan perempuan dan anak-anak tapi juga bertanggung jawab atas tugas lain yang sama dengan polisi pria.

Sosok polisi masa kini diharapkan punya tampilan androgini, memiliki ciri-ciri positif maskulin dan feminin (Santi, 1996). Terutama saat ini, polisi tidak hanya bertugas mengatasi keamanan dari tindakan kekerasan tapi juga menjadi polisi lingkungan dan sahabat warga. Menurut penelitian Santi, polisi diharapkan bersikap menjauhi kejantanan/maskulinitas tanpa meninggalkan ketegasan dan kedisiplinan dalam kelembutan dengan penuh kasih sayang. Polwan dianggap memenuhi kriteria di atas karena bisa memberikan sentuhan feminin yang konstruktif. Namun di dalam perkembangannya, beberapa polwan menghadapi benturan-benturan sosial dan budaya yang sangat erat hubungannya dengan kesetaraan gender.

Beberapa tahun terakhir, polwan menjadi sorotan media karena beberapa anggotanya menarik perhatian publik karena kecantikannya. Bahkan Tempo menerbitkan kumpulan artikel dengan edisi khusus tentang “Polwan Jelita” (September 2013). Fenomena kecantikan beberapa polwan  terbentuk dan tersebar dengan cepat karena dukungan media sosial seperti Twitter dan Facebook. Sebagai contoh Brigadir Avvy Olivia, Briptu Eka Frestya dan Briptu Dara Intan yang memiliki ribuan follower dan fans di akun Twitter dan Facebook mereka. Para follower dan fans pengguna media sosial dengan cepat membagi foto-foto dan berita tentang polwan cantik yang bertugas di kantor  Kepolisian dan di lapangan. Selain itu media visual juga mendukung kondisi ini ketika menampilkan polwan   berwajah cantik sebagai pembawa acara lalu lintas di televisi.

Fenomena ini menjadi tantangan juga keunikan polwan di era digital. Sempat juga menjadi trending topik tentang polwan di pertengahan tahun 2013, yaitu pengajuan Briptu Rani dalam kasus pelecehan seksual yang dialami ketika bertugas di Polres Mojokerto. Ditinjau dari sisi feminisme, perlakuan masyarakat terhadap polwan  bisa membatasi makna profesi  karena membentuk opini bahwa polwan hanya dianggap sebagai sekedar pelengkap polisi pria karena kecantikannya dan “penghibur” para pria pada umumnya.

Dalam menjalani pendidikan, sebenarnya para polwan menerima penekanan dan proses yang sama dengan para polisi pria. Kepala Sekolah Polwan, Kombes Sri Handayani, menjelaskan tiga poin penting yang ditekankan dalam pembentukan karakter seorang polisi, termasuk seorang polwan. “Akademik, fisik, dan mental,” katanya (Tempo, 2/9/2013). Walaupun jumlah mereka masih sedikit dibandingkan dengan jumlah polisi pria dan mendapat tugas khusus dalam penanganan kasus yang melibatkan perempuan dan anak-anak, menurut Brigjen Basaria Panjaitan, Widyaiswara Madya Sekolah Pimpinan Polri, mereka tidak merasa bersaing dengan rekan lawan jenis. Dengan demikian, polwan merasa harus mendapatkan kesempatan yang sama karena mendapat pendidikan yang tidak berbeda dengan polisi lain.

Maka, tantangan terberat polwan adalah ketika mendapat hal yang sama dengan polisi yang lain tetapi masih mempunyai beban sosial dan budaya sebagai perempuan. Polwan berbeda dengan polisi pria dalam banyak aspek. Pertentangan yang cukup ramai adalah kebijakan Polri tentang pemakaian jilbab bagi polwan. Selain konteks agama perbedaan ini juga dalam konteks gender, salah satunya adalah beban tugas domestik dalam keluarga yang dilakukan setelah pulang dari bertugas. Hal ini tidak terjadi pada polisi pria karena istrinyalah yang mengemban tugas domestik tersebut. Tidak jarang juga pengertian wanita sebagai makhluk lemah membuat polwan merasa dibedakan dari polisi pria, misalnya dalam pekerjaan fisik di lapangan dan jam kerja yang panjang yang dianggap tidak bisa dilakukan polwan.

Sebuah penelitian mengatakan sisi femininitas pada diri polwan bisa menghambat untuk merespon secara positif  karir yang ditawarkannya. Menurut Rosiana (2010), peneliti perwira pertama polisi wanita di Polda Jabar, semakin tinggi derajat femininitas semakin tinggi tingkat keengganan  berkarir. Penelitian lain mengungkapkan bahwa lingkungan kerja kadang mempengaruhi pola pengasuhan anak para polwan menjadi bergaya otoriter, disiplin dan tegas (Putri, 2013). Sehingga selain keunikan, profesi ini juga menunjukkan kompleksitas dalam kehidupan mereka.

Meskipun demikian, karakter polwan yang dianggap sangat feminin sangat menguntungkan pihak kepolisian dalam menyelesaikan kasus-kasus kejahatan. Misalnya, polwan memiliki kelebihan dengan sentuhan kewanitaan dalam melaksanakan tugas dibandingkan polisi pria. Biasanya polwan dianggap bekerja lebih detail, rapi, rinci dan teliti serta terbiasa multitasking di pekerjaan domestik sehingga mereka dinilai lebih jago mengatasi banyak pekerjaan. Kesimpulan ini bermakna ganda juga seperti makna profesi ini, bisa merugikan karena mendapat beban lebih berat dari polisi pria namun juga menguntungkan dalam mendukung perjuangan  mendapatkan kesetaraan gender.

Pernyataan Kombes Sri pada Tempo (22/8/2013) cukup mencengangkan ketika mengakui bahwa kecantikan adalah salah satu prasyarat utama menjadi polwan. Walaupun sebenarnya mendiskriminasi  perempuan calon polwan, pernyataan ini kemungkinan mendasarkan pada fungsi unik polwan dalam tugas-tugas kepolisian. Selain muncul di televisi, polwan juga kadang bertugas menyamar sebagai pekerja seks komersial dalam tugas sebagai penyidik dan reserse. Kecantikan mereka mendukung sukses penyelesaian kasus ini serta menjadi salah satu bukti bahwa polwan tak kalah militan dibandingkan rekan pria dalam menyelesaikan  kejahatan  penuh resiko.

Keunikan lain dari institusi ini adalah ketika merayakan hari ulang tahun. Polwan mengadakan kegiatan aksi sosial yang berhubungan dengan isu-isu perempuan. Selain aksi donor darah, mereka mengadakan fashion show kebaya, seperti yang dilakukan oleh Polwan Polrestabes Surabaya (Surabayanews, 20/8). Kegiatan ini mereduksi sisi kekerasan dan maskulinitas polisi. Hal unik yang tidak mungkin dilakukan  polisi pria dalam kegiatan mereka adalah penyuluhan tentang penggunaan kosmetik. Polwan diharapkan selalu terlihat segar dan sehat saat bertugas, maka menurut polwan di Polda Jatim, penggunaan kosmetik harus tepat ketika bertugas di dalam kantor ataupun di lapangan.

Selain memenuhi kebutuhan polisi yang androgini, semoga di usia yang dewasa institusi polwan bisa mendukung tugas-tugas kepolisian dengan segala tantangan dan tetap mendapat tugas strategis sesuai keunikannya.

*Amelberga Vita Astuti, dosen Prodi Ilmu Komunikasi FISIP, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, yang sedang studi doktoral di Monash University, Australia.

 

Search
Categories