Dari Senayan ke Istana

Oleh Lukas S. Ispandriarno

Bernas Jogja, Selasa, 24 Januari 2012

Kegagalan Dewan Perwakilan  Rakyat membangun gedung baru bernilai 16,1 trilyun akibat derasnya kritik masyarakat ternyata bukan merupakan pelajaran bagus yang harus ditiru. Pemerintah di bawah pimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang berkali-kali menginstruksikan dan mengajak berjihad melawan korupsi justru mengekor jejak orang-orang Senayan.

Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran memiliki catatan bahwa ada pengalokasian  dana yang berlipat-lipat oleh kantor Kementrian Sekretaris Negara. Bila tahun 2011 Kementrian ini mengeluarkan anggaran Rp 8,83 miliar untuk pemeliharaan dan renovasi istana presiden, tahun ini anggarannya menjadi 21,89 miliar (Kompas, 21/1/2012). Istana yang akan direnovasi tidak hanya di Jakarta yang memakan dana terbesar Rp 10,68 miliar, tetapi juga Gedung Agung atau Istana Negara di Yogyakarta (Rp 2,3 miliar), Istana Bogor (Rp 3,34 miliar), Istana Tampak Siring (Rp 1,55 miliar) dan Istana Cipanas (Rp 3,90 miliar). Pemerintah rupanya benar-benar telah terinfeksi virus Senayan yaitu gemar memboroskan dana APBN dan sekaligus melupakan derita rakyat yang sekolahnya roboh, berbagai fasilitas di luar pulau Jawa dan wilayah perbatasan  sangat menyedihkan, dan transportasi publik di semua kota  belum memadai.

Pemborosan

Presidien SBY memiliki posisi amat strategis dan  kuat sebagai “Presiden” Partai Demokrat dan sekaligus Kepala Pemerintahan yang membawahkan semua Kementerian. Dalam dua periode jabatannya, dua modal utama ini tidak dipergunakan dengan baik. Ia lebih sekadar berbicara, berpidato dan mengeluarkan instruksi ketimbang  “berdiri paling depan”. Terdapat sejumlah kasus terindikasi korupsi yang bisa diselesaikan segera bila ia  turun tangan menindak anak buahnya sendiri, seperti kasus Bank Century, Nazaruddin, Wisma Altlet, kasus di Kemenakertrans, Kemenpora, Kemendiknas dan berbagai pemborosan di  Kementrian.

Menurut catatan Badan Pemeriksa Keuangan, menjelang akhir September 2011 penyerapan anggaran pemerintah mencapai 54,4 persen dari target Rp 717,9 triliun, sehingga APBN-P 2011 masih surplus Rp 72 triliun. Pada bulan-bulan itulah terjadi aktivitas kagetan berbagai kementrian dengan tujuan memperepat penyerapan anggaran tapi tanpa perencanaan. BPK mendapati 899 kasus berupa  kelemahan Sistem Pengendalian Internal  dan 1.251 kasus ketidakpatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan dengan potensi kerugian negara sebesar Rp 5,89 triliun. Kasus itu terdiri dari kerugian, potensi kerugian, kekurangan penerimaan, ketidakhematan, ketidakefisienan dan ketidakefektifan yang dapat dinilai dengan uang (Koran Jakarta, 4/10/2011).

Temuan seperti ini sebenarnya terjadi setiap tahun  dan di semua periode pemerintahan, sehingga  dibutuhkan sistem pengendalian yang sangat serius, ketat dan terukur. Ironisnya, ketika BPK menemukan banyak kasus terindikasi pemborosan uang negara, BPK sendiri pernah masuk dalam sorotan Koalisi LSM untuk APBN Kesejahteraan. Koalisi menemukan sejumlah potensi pemborosan dalam belanja modal untuk kepentingan birokrasi. Hal itu berdasarkan penelusuran pada Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga  2011 (Media Indonesia, 17/10/2010). Salah satu pos anggaran yang menjadi sorotan adalah pengadaan kendaraan dinas. Merujuk  Perpres nomor 54/2010 tentang pengadaan barang/jasa, pengadaan kendaraan dinas dapat dilakukan dengan penunjukkan langsung. Selain itu, untuk 20 kementerian/lembaga  diadakan  3.927 kendaraan dinas roda empat dan roda dua dengan total dana Rp 595 miliar.

Koalisi mengatakan, banyak standar biaya kendaraan dinas yang melebihi standar biaya yang ditetapkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 100/2010 tentang standar biaya umum. Contohnya, pengadaan 49 kendaraan dinas BPK dengan dana Rp 24,8 miliar atau Rp 506,6 juta per kendaraan, sedangkan menurut  PMK standar biaya pengadaan kendaraan setingkat eselon I hanya Rp 400 juta.

Isu ini masih sangat relevan karena pengadaan mobil dinas tidak saja terkait dengan (pemborosan) anggaran, tetapi juga dengan kesungguhan niat pemerintah  memiliki mobil nasional sendiri seperti Malaysia, Korea Selatan dan tentu saja Jepang. Di sinilah keseriusan pemerintah  membangun dan merealisasikan semangat kebangsaan mendapat tantangan.

Instruksi bukan Solusi

Pemerintah terus berusaha mencari solusi atas berbagai persoalan bangsa antara lain dengan menciptakan dasar hukum atau peraturan baru termasuk untuk melawan pemborosan anggaran. Belum lama ini Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Hatta Rajasa, menyatakan draft Instruksi Presiden  sudah selesai dan dengan Inpres diharapkan dari 34 Kementrian dan Lembaga di tingkat pusat, bisa terjadi penghematan sebesar Rp 40-60 triliun. Benarkah demikian?

Tentu saja tidak. Pengalaman mengatakan bahwa yang kita butuhkan bukan sekadar dasar hukum, aturan atau (apalagi) Inpres karena sudah terlalu banyak aturan dan instruksi berkaitan dengan niat memberantas korupsi. Di awal-awal masa reformasi ketika Komisi Pemberantasan Korupsi belum lahir kita sudah memiliki Lembaga yang cukup kredibel untuk mencegah  pemborosan dan korupsi dengan mencatat kekayaan pejabat pemerintah,  namun lembaga tersebut justru dibubarkan. Setelah kita memiliki KPK, lembaga yang tergolong kredibel ini juga terus mendapat gangguan terutama dari politisi di Senayan dan para koruptor.

Sebenarnya apa yang dilakukan KPK lebih pada penegakan dan penindakan berdasarkan hukum. Ini tentu tidak memadai sejauh aparat hukum tidak bertindak. Ironisnya lembaga kepolisian dan kejaksaan justru bermasalah, kredibitasnya rendah dan muaranya ada pada mentalitas, kejujuran, integritas sebagai aparat negara yang mestinya profesional. Model pemberantasan korupsi seperti ini akan berhasil bila hukum bekerja dengan tegas, efektif, tidak pandang bulu, misalnya menerapkan pembuktian terbalik,  hukuman mati, menyita kekayaan koruptor, dan sanksi sosial seperti memuat fotonya di buku “Daftar Koruptor Indonesia Terbaru.”

Upaya hukum perlu didampingi dengan pencegahan untuk membenahi sistem pembentuk kualitas dan kredibilitas manusia Indonesia. Maka berbagai upaya membangun integritas anak-anak, remaja, hingga mahasiswa dan kaum muda  patut mendapat apresiasi dan dukungan terutama di lembaga pendidikan. Nilai-nilai integritas tentu saja  telah ditanamkan oleh keluarga, melalui agama dan budaya masing-masing. Tanpa pemberlakuan model atau sistem ini, anak muda yang idealis, suci, bersih dan jujur akan larut ketika terjun dalam sistem yang bobrok di dalam pemerintahan, industri atau partai politik.

Dalam konteks politik, upaya seperti ini masuk dalam  etika publik, yaitu refleksi tentang standar/norma yang menentukan baik/buruk, benar/salah perilaku, tindakan dan keputusan untuk mengarahkan kebijakan publik dalam menjalankan tanggungjawab pelayanan publik (Haryatmoko, 2011: 3). Dalam bukunya yang berjudul “Etika Publik untuk Integritas Pejabat Publik dan Politisi” Haryatmoko telah mengusulkan sejumlah langkah kronkrit. Beberapa di antaranya adalah membentuk Komisi Etika, transparansi pengadaan barang/jasa publik, pemberdayaan civil society dengan mendorong partisipasti masyarakat dalam pengawasan melalui Kartu Pelaporan Warga, pembentukan jaringan dan pendidikan /pelatihan pemberantasan korupsi dan ikut serta dalam pengawasan APBD.

Intinya, pemerintah di bawah pimpinan SBY  harus berniat sungguh memberantas korupsi dan berbagai pemborosan  sedangkan masyarakat warga mengawasi serta membentuk jaringan melawan korupsi. Tanpa perlawanan warga, koruptor terus tertawa mengejek dan negara Indonesia akan bangkrut.

*Lukas S. Ispandriarno, dosen FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta

 
 

 

 

 

 

 

Search

Pengumuman