Bernas Jogja, Selasa 12 Agustus 2014
Oleh Suryo Adi Pramono
Beberapa minggu terakhir banyak kalangan di Indonesia membicarakan dan merespon kiprah Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS) di Irak dan Suriah dan keteribatan sejumlah WNI di berbagai tempat yang mendukung ISIS. Tayangan Youtube menunjukkan keterlibatan orang Indonesia yang mendukung ISIS dalam perang melawan pemerintah baik di Irak maupun Suriah. Penulisan sejumlah grafiti dan pengibaran bendera, di samping tertangkapnya terduga teroris yang menyimpan bendera dan sejumlah berkas terkait di beberapa tempat di Indonesia, menunjukkan keberadaan gerakan ISIS di Indonesia.
Mencermati fenomena ISIS itu, setidaknya ada tiga hal yang perlu dibahas: (1) apa efek ISIS bagi Indonesia; (2) bagaimana respon kita terhadap ISIS; dan (3) apakah berkah fenomena ISIS itu bagi agenda kebangsaan kita ke depan?
Efek ISIS
Efek ISIS sekurang-kurangnya dapat dikategorikan ke dalam 3 ranah: (1) sosial; (2) politik; (3) teologis. Ketiga ranah ini juga memiliki keterkaitan tertentu.
Secara sosial, gerakan ISIS di Indonesia menimbulkan segregasi sosial dengan ditemukannya sejumlah orang terduga memiliki kaitan dengan ISIS. Keluarga di mana anggotanya terlibat, atau rumahnya disewa oleh terdakwa, maka akan menghadapi jarak sosial yang ditimbulkan oleh tetangga. Para proses kemudian, tak mustahil hal ini menimbulkan stereotipe negatif terhadap terduga atau pemilik rumah yang disewa. Relasi sosial yang semula cair dan tanpa swaksangka lalu berubah menjadi “beku” dan bernuansa sangkaan. Mereka yang selama ini berbusana tetentu, misalnya berkopiah putih, berjenggot, berdahi hitam, bercelana congklang, berbaju koko, bisa-bisa diduga sebagai pendukung gerakan radikal yang berafiliasi kepada ISIS. Meskipun hal ini tidak terjadi di seluruh daerah di Indonesia, tetapi hal ini sangat mungkin terjadi di lokasi di mana terduga pelaku jaringan ISIS ditemukan atau di mana grafiti dan bendera ISIS ditemukan.
Pada ranah politis, ISIS mengancam keberadaan tata pemerintahan kita yang menopang keberadaan NKRI. Bila sampai ISIS memenangkan ambisi politiknya di Indonesia maka NKRI akan hilang, dan Indonesia menjadi semacam “propinsi” di dalam kekhalifahan Islam yang beribukota di Mosul, kota kedua terbesar di Irak. Hilangnya NKRI berarti seluruh simbol, tata-nilai dan struktur pemerintahan akan secara keseluruhan digantikan oleh seluruh atribut simbolik dan sistem politik kekhalifahan yang dipimpin oleh mantan perwira intelijen militer Irak ini. Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, Bendera Merah Putih, dan Garuda Pancasila akan hilang.
Secara teologis, gerakan ISIS mengabrogasi upaya menunjukkan Islam sebagai agama damai, rahmat bagi semesta alam, dan toleran. Seluruh simbol-simbol Islam, terutama berujud bangunan yang dapat ditafsirkan mendekatkan umat pada pemujaan yang syirik bisa dihancurkan, sebagaimana penghancuran makam Nabi Yunus, masjid syiah, gereja berumur 1800 tahun, dan seluruh bangunan yang dijadikan tujuan ziarah umat. ISIS pun merencanakan penghancuran Ka’bah karena ditafsirkan sebagai obyek pemujaan umat Islam.
Bilamana gerakan ini kian membesar, dan bahkan dominan, maka Indonesia akan diwarnai oleh aneka kekerasan untuk memaksakan tafsir akidah terhadap aneka ormas Islam yang lain. Oleh karena itu wajar, bila NU, Muhammadiyah, Persis, dan lain-lain, lalu bersatu untuk menolak ISIS dan meminta pemerintah bertindak tegas terhadap gerakan ISIS di Indonesia. Keberadaan ormas-ormas Islam yang telah mapan dan dominan itu terancam oleh keberadaan ISIS yang, dalam perspektif Durkheimian, seperti “social current” terhadap ormas-ormas besar yang selama ini telah dominan dalam mengarahkan kesadaran keberimanan umat (sosial fact). Sebaliknya, keberadaan ISIS juga menunjukkan kebenaran gagasan Foucault bahwa dominasi tak akan bersifat total; selalu saja ada elemen yang luput dari dominasi. Gerekan ISIS di Indonesia menunjukkan bahwa aneka ormas Islam besar itu tak pernah mendominasi total penafsiran dan orientasi teologis umat.
Berkah
Bagi kita, di hari-hari menjelang peringatan kemerdekaan RI ini, keberadaan ISIS kiranya dapat dianggap sebaga “berkah”. Pertama, pendidikan agama di sekolah dan perguruan tinggu perlu dire-orientasi. Ajaran agama tidak lagi mengarah pada pembentukan subyek umat yang beriman dan bertakwa saja, melainkan juga perlu diarahkan dalam membangun persaudaraan sesama bangsa dan manusia, selain didialogkan dengan sila-sila Pancasila. Kedua, pendidikan agama di sekolah dan perguruan tinggi perlu diarahkan dari sekitar ibadah dan identitas yang membangun fanatisme dan segregasi sosial menuju pendidikan agama yang transformatif ke arah kesadaran nasionalisme, humanisme dan ekologisme. Maka, tema-tema pendidikan agama perlu dirumuskan ulang. Ketiga, ustadz dan da’i, sebagaimana juga ulama, perlu menyesuaikan seluruh tema khotbah mereka dengan tema kebangsaan, kemanusiaan dan kesemestaan (lingkungan hidup).
Keempat, bila selama ini pemerintah hanya mengakui agama-agama besar saja, maka, berkaca pada derita minoritas di Irak dan Suriah, seluruh agama dan kepercayaan yang selama ini belum diakui keberadaannya secara resmi, seperti Baha’i, Sikh, Sunda Wiwitan, Kaharingan, Subud, perlu diberi ruang hidup. Dengan demikian, kita memberikan anti-tesis terhadap perilaku kekerasan ISIS yang tak toleran terhadap minoritas. Kita perlu merawat keberagaman kepada siapa dan apapun orientasi keagamaan anak bangsa. Kelima, dialog karya antarumat beragama atau berkepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa perlu dilakukan sejak dari sekolah, perguruan tinggi, organisasi agama, dan masyarakat luas. Kohesi sosial perlu ditumbuhkan dari bawah dengan memberi suasana dan ruang untuk berdialog dan bekerjasama secara tulus. Keenam, Pancasila yang tidak dimasukkan ke dalam kurikulum sebagaiman dilakukan oleh UU Sisdiknas, kiranya perlu dimasukkan dan diperkuat keberadaanya, dan praksis pendidikannya di setiap jenjang dan jenis pendidikan kita. Ketujuh, aneka tradisi dan kearifan lokal perlu diintensifkan agar anak bangsa tak tercerabut dari akar budayanya sebagai bentuk perlawanan kultural terhadap gerakan ISIS yang menolak kultur yang tak ada dalam ajaran yang mereka tafsirkan. Perkuatan aneka budaya dan tradisi lokal keindonesiaan akan mempersempit ruang gerak aktivis ISIS. Kedelapan, kohesi pendatang yang tak mau beinteraksi dengan penduduk asli atau yang lebih lama tinggal, beserta aneka budaya dan tradisinya. Aneka langkah masih bisa ditambahkan.
Dengan itu semua, semoga kita bisa menuai “berkah” bagi peringatan hari kemerdekaan kita. Kita memang akan menapaki fungsionalisme konflik melalui fenomena gerakan ISIS untuk merajut kembali tekad berbangsa, bernegara dan bertanah air dalam pelukan NKRI, Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika dan UUD 1945. Semoga.
*Suryo Adi Pramono, dosen program studi Sosiologi FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta