Kabar-kabar Kecelakaan

Analisis Kedaulatan Rakyat, Rabu, 18 Desember 2013

Oleh Lukas S. Ispandriarno

KABAR kematian karena kecelakaan di jalan raya tidak putus-putusnya diwartakan media massa dengan perspektif besaran (magnitude) akibat ataupun kemanusiaan (humanism). Dalam dua minggu terakhir berita kecelakaan memenuhi halaman depan media cetak, ditayangkan berulang di televisi, disiarkan radio dan media dalam jaringan. Dua Pegawai Negeri Sipil Kabupaten Gunungkidul penumpang Izusu Elf meninggal dalam kecelakaan di jalan tol Cipularang (30/11). Mobil Toyota Avanza masuk jurang, pengemudi bersama lima penumpang tewas di Demak (6/12). Di Bintaro Jakarta sebuah truk tanki Pertamina kapasitas 24.000 liter minyak menerobos palang pintu pelintasan mengakibatkan  tabrakan hebat disertai ledakan dan kebakaran, tiga awak kereta api commuter line serta empat penumpang wafat (10 dan 11/12).

Tentu masih banyak kabar kecelakaan maut di media massa. Boleh dibilang setiap hari media mewartakan kecelakaan lalulintas karena dalam sehari ada puluhan atau ratusan kecelakaan akibat kecerobohan manusia. Kapokkah manusia? Adakah pengaruh berita kecelakaan bagi khalayak dalam keluarga,  masyarakat,  pemerintah?

Dua hari usai tabrakan di Bintaro sebuah media cetak Jakarta melukiskan suasana lintasan kereta api di kawasan Senen Jakarta Pusat. Sirene  memekik keras 60 detik, penutup lintasan turun  menghentikan laju semua kendaraan, namun lima sepeda motor melejit cepat tanpa mengurangi kecepatan, menerobos palang yang hampir tertutup. Beberapa pengendara tertawa puas, riang gembira, berhasil lolos dari maut. Penjaga pintu lintasan mengelus dada, untuk kesekian kali.

Itukah efek berita kecelakaan? Ternyata tidak seperti digagas teori jarum suntik, begitu manusia dipasok informasi ia langsung bertindak, bagaikan disuntik obat bius, segera terlelap. Barangkali kelima pengendara sepeda motor itu tak pernah mengakses informasi karena berbagai alasan. Mereka, dan manusia lain  yang berperilaku serupa  seolah memiliki nyawa berlapis. Manusia-manusia yang mengalami kesulitan  berterima kasih atas karunia kehidupan dari Tuhan. Suasana miris mengancam nyawa  dapat kita saksikan setiap saat di sekitar Yogya, di perlintasan kereta  api di Sapen, Baciro,  Lempuyangan, Cokroaminoto,  di banyak persilangan jalan  berlampu lalulintas, di Gondomanan, Wirobrajan, dan di rambu-rambu larangan. Menyerobot rambu hitung mundur, melawan arus di ring road, di jembatan Gondolayu, seolah menjadi pemandangan lazim. Namun belakangan ini masyarakat kota Yogyakarta sedikit lega meski sebagian lain mungkin menggerutu atas operasi Zebra Progo yang dilakukan Polisi Lalu Lintas. Polisi bahkan menyita 100 motor murid SMP Negeri 2 Gamping Sleman dari  dua lahan parkir dekat sekolah. Kapok jugakah para pelajar itu? Orangtua protes?

Menjelang kecelakaan hebat di Jakarta, media mengulas fenomena kemacetan ibu kota yang juga terjadi  di  Semarang, Surabaya, Bandung, Medan, Palembang, Makassar, Bali, dan  Yogyakarta. Memang ada hubungan erat antara pertambahan penduduk, peningkatan jumlah kendaraan, ketersediaan fasilitas publik dan perilaku warga. Pemerintahan yang cerdas, dibantu para cerdik pandai tentu dapat merancang pertumbuhan  kota, pertambahan penduduk dan ketersediaan fasilitas publik. Sangat mendesak  komitmen politik  kalangan eksekutif dan legislatif  bergotongroyong menyepakati program dan pendanaan transportasi publik yang nyaman untuk lima tahun ke depan dan puluhan dekade kemudian. Selain itu, pemerintah sebagai wakil negara melaksanakan penegakan hukum agar tertib sosial berjalan harmonis, termasuk di jalan raya. Demikian pula, keluarga-keluarga sebagai bagian dari masyarakat senantiasa mengajari para anggotanya agar menjadi warga negara yang baik, beradab, mencintai kotanya.

Kabar-kabar kematian karena kecelakaan memang tidak segera membuat khalayak merespons dengan sejumlah aksi positif. Beragam faktor memengaruhinya termasuk nilai-nilai sosial, kebudayaan, kesusilaan, keagamaan. Mengikuti Drijarkara,  dalam pandangan berdasarkan Tuhan YME seluruh hidup, tiap-tiap tingkatannya, titik-titik yang terakhir semua itu memiliki nilai. Lalu, nilai manakah yang menjadi tuntunan kita?

(Lukas S Ispandriarno. Dosen FISIP UAJY, penggagas komunitas Marka Jalan)

Search

Pengumuman