Kecepatan Berita “Cebongan”

Oleh Lukas  S. Ispandriarno

Kedaulatan Rakyat, 3 April 2013

Sabtu (23/3) pagi jam enam lebih 15 menit, sejumlah media daring (dalam jaringan, online), mengabarkan peristiwa penyerbuan lembaga pemasyarakatan Cebongan, Sleman. Media melaporkan peristiwa terjadi sekitar pukul 01.00. Sejumlah media daring bahkan telah menyebut lembaga pelakunya.

Dibanding media cetak, media daring  hadir lebih cepat. Beritanya singkat namun dengan narasumber terbatas, belum memenuhi syarat cover both side untuk memberikan keberimbangan informasi. Keberimbangan (balance) baru ditemukan bila orang membaca  berita-berita lanjutan yang terbit belakangan, pada saat mana media berita elektronik (radio dan televisi) mulai mengudara. Media cetak menyusul terbit Sabtu sore dan Minggu pagi.

Kecepatan informasi menjadi tuntutan sebagian warga  di dunia yang seolah serba instan ini. Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi mengubah jurnalisme namun prinsip dasarnya tetap sama. Berita harus memenuhi kelengkapan sesuai rumus 5W+1H (what, who, why, when, where, how). Semakin jauh dari rumus ini semakin besar peluang sebuah berita menimbulkan salah paham, salah tafsir, karena tidak akurat. Ada pengelola media mendaku menjalankan prinsip cover all sides, meliput dari semua sisi. Sebuah prinsip yang sulit dipenuhi media daring yang menomorsatukan kecepatan.

Mengikuti Allan (Jones dan Salter, 2012), jurnalisme tidak berhubungan dengan teknologi tertentu, tetapi teknologi baru cenderung mengancam praktik jurnalisme. Lebih dari itu jurnalisme adalah tentang manusia, maka kemajuan teknologi, seperti dimanfaatkan bidang lain, lebih sebagai sarana membantu manusia agar makin mudah mengatasi  persoalan hidup.  Teknologi hanyalah alat bantu, bukan tujuan, maka jurnalisme dengan teknologi baru (internet) yang kadang disebut jurnalisme digital, jurnalisme online, harus tetap berpusat pada manusia. Jurnalisme memberitakan tentang manusia, kemanusiaan, peradaban. Jurnalisme berperan membantu manusia mengatasi peperangan,  perebutan kekuasaan, kemacetan ekonomi, kemiskinan. Maka media tidak cukup sekadar memenuhi rasa (sense) manusia,  rasa heran, rasa senang, rasa puas. Media bahkan tidak dimaksudkan untuk memenuhi sensasi seperti kejamnya kejahatan, jumlah peluru yang bersarang di tubuh korban, kecepatan pelaku menjalankan aksi. Tentu saja informasi seperti itu bisa memberi gambaran sekilas siapa penyerbu LP Cebongan. Teroriskah, militerkah, atau gabungan keduanya.

Terdapat sejumlah pertanyaan yang layak dijawab media, apalagi dalam sistem politik yang sedemikian terbuka, katakanlah demokratis. “Penyerbuan,” istilah yang banyak dipakai media, di LP Cebongan ini sebenarnya persoalan apa? Persoalan politik  dalam arti kekuasaan dan pengambilan keputusan,  perkara ekonomi yang dimaksud sebagai pengelolaan atau perebutan sumber daya, atau sosial  di mana terdapat keterkaitan di antara  beragam kelompok.

Bila ini masalah politik, pertanyaan lanjutannya, siapakah yang berkuasa (bertanggungjawab) dalam hal keamanan  tahanan, siapa saja pengambil keputusan pemindahan tahanan dari Polda ke LP Cebongan? Sebuah media daring menulis dengan jeli bahwa renovasi rumah tahanan  Polda sebagai alasan pemindahan tersangka  tidak terbukti karena tidak ada renovasi. Masyarakat juga menyimak  dengan teliti pemberitaan (foto) media cetak pasca perkelahian di Hugo’s Café di mana aparat kepolisian menjaga ketat tahanan di sel Polda, tetapi tidak melakukan  hal yang sama di LP Cebongan.

Media cetak, beda karakter dengan media daring, menggunakan  sejumlah istilah untuk menamai pelaku antara lain “gerombolan bersenjata,” “gerombolan tak dikenal,” “pasukan siluman,”  “pasukan tak berindentitas.” Media ini dituntut menulis lebih dalam, termasuk mengorek  pernyataan Pangdam IV Jawa Tengah  tentang teroris yang disebutnya lebih terlatih ketimbang TNI dan Polri. Masih banyak informasi perlu  digali untuk membuktikan kebenaran pernyataan Pangdam, Kapolda DIY, maupun keterangan Kepala Staf Angkatan Darat. Dalam era kemerdekaan pers, upaya menggali informasi  tidak  boleh dihalang-halangi. Selain Undang-Undang Pers, Undang-Undang Kebebasan Informasi Publik mendukung keterbukaan informasi lembaga publik, termasuk instansi Polri dan TNI.

Dengan  menjawab satu pertanyaan politik, media niscaya menyajikan informasi lebih tajam, memaparkan keterkaitan keamanan tahanan dengan keamanan warga masyarakat serta keamanan negara secara keseluruhan. Perkara politik adalah perkara kemanusiaan. Media cetak, khususnya majalah, akan mengulas lebih dalam, lebih komprehensif,  diharapkan lebih akurat.  Dengan demikian, masyarakat  mendapatkan informasi yang benar, tidak menyesatkan,  agar kehidupannya lebih cerah,  sehingga tahu ke mana harus melangkah. Kecepatan berita “Cebongan” memang harus diimbangi dengan akurasi dan kedalaman. Ketelitian, kelengkapan, uraian menyeluruh dalam mengabarkan kekejaman di LP Cebongan mengurangi kehadiran gosip atau rumor yang disebarkan lewat pesan di telepon selular atau media sosial.

Kendati demikian tugas media adalah menyajikan fakta, kebenaran sebuah peristiwa. Tanggungjawab menuntaskan peristiwa itu  berada di pundak pemerintah, para pejabat dan pimpinan negara. Pertanyaannya, maukah mereka?

*Lukas S. Ispandriarno, Dekan FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Search

Pengumuman