Bernas Jogja, Selasa, 22 Juli 2013
Oleh Pupung Arifin
Indonesia selama bulan Juli 2013 mendapat kesempatan berharga dengan kedatangan klub-klub sepakbola terkemuka dari Inggris. Sebut saja kedatangan Arsenal 13 sampai 14 Juli yang kemudian disusul oleh Liverpool seminggu kemudian. Chelsea menjadi klub top negeri Ratu Elizabeth yang datang terakhir ke Indonesia dalam lawatan tur pra musim 27 Juli nanti.
Indonesia sebenarnya bisa digolongkan “anak bawang” alias pendatang baru dalam agenda pra musim klub-klub asal Eropa. Rata-rata persiapan pra musim klub masih seputar Eropa atau Amerika Utara. Terlebih ketika Indonesia dimasukkan ke dalam daftar hitam klub Eropa setelah Manchester United (MU) membatalkan kunjungan medio 2009 terkait bom di Hotel Ritz Carlton, Kuningan, Jakarta. Ledakan bom di hotel tempat MU berencana menginap tersebut terjadi sehari sebelum klub asal kota Manchester itu mendarat di Jakarta.
Sejak peristiwa tersebut, para penikmat sepakbola dalam negeri pesimis Indonesia akan kembali dilirik klub Eropa dalam waktu dekat. Kehadiran timnas Uruguay yang diisi beberapa pemain klub Eropa menjadi pembuka segel “embargo” Indonesia. Walaupun sebenarnya kedatangan timnas Amerika Latin ini karena kedekatan PSSI dengan asosiasi sepakbola Uruguay dalam proyek pembinaan Timnas usia di bawah 19 Indonesia. Sebut saja LA Galaxy, Inter Milan, AC Milan Glorie, Valencia, dan Queens Park Rangers yang kemudian secara berturut-turut datang ke Indonesia pasca bom Kuningan.
Bila dibandingkan dengan negara Asia lain Indonesia memang bisa dikatakan terlambat mendapatkan kesempatan didatangi klub-klub asal Eropa. Thailand, Malaysia, Hong Kong, Jepang, China, dan Uni Emirat Arab sudah kerap menjadi negara tujuan klub asal Benua Biru.
Tahun 2013 Indonesia mendapat durian runtuh dengan kehadiran tiga klub Premier League. Arsenal, Liverpool dan Chelsea merupakan tiga klub papan atas yang masuk ke jajaran top four dalam satu dekade terakhir. Premier League baru saja melakukan perpanjangan kontrak kerja sama dengan perusahaan keuangan asal Inggris senilai 120 juta poundsterling dan menjadi salah satu liga terlaris di Eropa selain Spanyol, Jerman, Perancis dan Italia.
Kehadiran rombongan tim asal Premier League dalam kurun waktu satu bulan ini bisa membuat banyak fans negara Asia lainnya iri. Bagaimana tidak, prestasi timnas Indonesia menurut ranking FIFA berada di kisaran 170 dunia bisa dipilih klub Eropa sebagai tempat tur pra musim. Semangat pra musim sebenarnya diagendakan untuk mempersiapkan ketahanan fisik dan meramu strategi bertanding. Latihan ini menjadi santapan rutin setiap klub karena setelah berlibur, pemain perlu digenjot supaya kembali ke performa terbaik untuk siap mengarungi kompetisi musim berikutnya.
Pertandingan uji coba sangat diperlukan untuk melakukan pengujian ketahanan fisik pemain supaya siap bermain selama 90 menit di kompetisi reguler. Uji coba ini juga menjadi salah satu cara menjaga kekompakan tim, terlebih bila ada pemain rekrutan terbaru di klub tersebut yang memerlukan waktu adaptasi.
Pertanyaannya, bila memang itu tujuannya, mengapa klub-klub tersebut harus menghabiskan waktu 18 jam lebih duduk di pesawat untuk sampai ke Indonesia? Apakah terbang ke belahan bumi lain hanya untuk berlatih tanding dengan negara yang berada di peringkat 170 dunia menjadi pilihan tepat?
George Ankers, kolumnis situs berita sepakbola Goal.com asal Inggris menyatakan tur pra musim ini tidak lebih upaya peningkatan finansial klub. Klub sepakbola layaknya merek yang ingin mengakses pasar berkembang di mana pun. Akan ada tes pasar apakah produk yang mereka jual bisa diterima oleh target konsumen mereka. Produk yang dimaksudkan di sini tentu bukan hanya sekedar jersey atau merchandise sebuah klub, namun justru klub dan pemain itu sendiri. Bila sebuah klub bisa diterima, dan bahkan ada fans fanatik, maka produk apapun yang dijual atas nama mereka, ada peluang laris di pasaran.
Bisnis sepakbola terutama di Eropa memang sudah sangat kompleks. Sebagai contoh di Inggris, banyak produk yang ingin diasosiasikan dengan klub yang bertanding di Premier League. Bahkan sponsor bisa menentukan agenda tur pra musim. Contohnya bisa dilihat di Arsenal. Perusahaan penerbangan raksasa dunia asal Uni Emirat Arab telah menggelontorkan jutaan poundsterling untuk pembangunan stadion baru Arsenal. Selain itu mereka juga memberikan sponsor penuh dalam agenda tur pra musim tahun ini. Kita bisa melihat di beberapa kegiatan jumpa fans atau media Arsenal selama di Jakarta ada beberapa pramugari maskapai penerbangan yang senantiasa menemani. Dalam hal ini terjadi mutual benefit kedua belah pihak untuk mendapatkan ekspos besar-besaran di depan media dan fansnya.
Merebut hati fans juga menjadi agenda utama setiap pemain klub di negara yang mereka kunjungi. Arsenal kembali menjadi contoh ketika pemain diminta berpakaian batik khas Indonesia, belajar gamelan, melakukan kegiatan amal, bahkan komentar pemain Arsenal tentang Indonesia lebih banyak kesan positif. Setiap detail kegiatan sungguh diperhatikan untuk memberikan kesan positif di mata fans, seperti pembentangan spanduk ucapan terima kasih berbahasa Indonesia yang dipegang seluruh pemain Arsenal seusai bertanding melawan tim Indonesia selection. Semua kegiatan ini tentu saja tidak lepas dari sponsor di belakangnya.
Produk dalam negeri Indonesia juga berlomba menjadi sponsor resmi klub atau paling tidak sekedar menjadi sponsor kegiatan tur klub di Indonesia. Kita melihat kerjasama sponsorship antara Garuda Indonesia dengan Liverpool. Garuda Indonesia menjadi mitra penerbangan global bagi Liverpool. Bahkan dalam lawatan tur tahun 2013, Garuda Indonesia menyiapkan satu pesawat yang disulap khusus bagi seluruh pemain dan ofisial tim Liverpool. Pesawat tersebut menjemput klub Liverpool di Inggris yang kemudian mengantarkan ke Indonesia, Thailand dan Australia yang menjadi sasaran tur.
Klub dan sponsor yang berada di sekitarnya sadar bahwa potensi pasar mereka sudah mengalami kejenuhan. Krisis ekonomi yang menerjang kebanyakan negara Eropa beberapa tahun terakhir membuat bisnis sepakbola di benua biru mengalami stagnasi walaupun tidak menunjukkan tren melemah. Tur ke Timur Jauh menjadi alternatif pengembangan pasar yang sungguh menggiurkan. Jumlah penduduk yang banyak dan tingkat perkenomian negara-negara Asia yang terus mengalami peningkatan menjadi gula-gula finansial yang tidak dapat disingkirkan bergitu saja.
Loyalitas fans juga menjadi komoditas utama yang harus dipertahankan oleh klub dan sponsor. Liverpool sengaja memilih Indonesia untuk dikunjungi pada tur kali ini karena Indonesia menyumbang 16 persen basis fans mereka dari seluruh dunia. Kita lihat di Jakarta ada Manchester United Cafe atau di Bandung ada hotel yang diberi nama sesuai dengan sebutan Kapten Liverpool, Stevie G.
Komodifikasi terlihat gamblang. Tur pra musim kemudian dimaknai sebagai upaya menjangkau pasar seluas-luasnya. Manfaat bagi pemain tidak terlalu terasa karena mereka memiliki jadwal cukup padat atas permintaan sponsor dan promotor. Fans kemudian hanya dijadikan sarana peningkatan kapital sebuah klub. Kecintaan besar dari fans kemudian coba dipakai oleh pihak sponsor agar memperoleh atensi besar pula dari fans terhadap produk mereka.
Arsenal yang selama diarsiteki Arsene Wenger alergi melakukan tur pra musim di luar Eropa, namun dalam dua musim terakhir runtuh juga. Akhirnya kekuatan tim komersil menang, dan tibalah dia dan timnya di hadapan kita beberapa minggu lalu. Variabel kelelahan pemain selama tur di Asia menjadi hal yang harus diterima karena konsekuensi pemasukan finansial yang lebih besar.
*Pupung Arifin adalah Staf Pengajar di FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta