Bernas Jogja, Selasa, 29 Januari 2012
Oleh Pupung Arifin
Masih segar dalam ingatan ketika bencana gempa bumi hebat terjadi di Yogyakarta pada 2006, ribuan warga Yogya tiba-tiba harus kehilangan sanak saudara dan tempat tinggal. Penulis sendiri masih cukup ingat beberapa jam setelah terjadi gempa bumi, ada isu tsunami dari arah selatan yang merebak di masyarakat, dan konon akan sampai di Kota Yogya dalam hitungan menit. Sontak ketika itu banyak warga yang masih belum pulih syok karena gempa, berlanjut panik karena isu tsunami tersebut. Isu tersebut kemudian dikonfirmasi oleh pemerintah bahwa tidak benar akan terjadi tsunami, walaupun memang titik epicentrum gempa ada di laut selatan Jawa.
Peristiwa meletusnya gunung Merapi yang terjadi pada Oktober 2010 juga mengingatkan kita kembali dengan isu awan panas (wedhus gembel) yang menyebar luas di masyarakat. Tersebar isu bahwa jarak luncuran awan panas Merapi akan mencapai radius 65 km dari puncak, yang berarti akan meluluhlantakkan seluruh wilayah propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Isu ini semakin diperkuat dengan ulasan acara infotaiment di salah satu televisi swasta yang mengkaitkan hal tersebut dengan penanggalan Jawa. Padahal ketika itu Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Yogyakarta mengatakan bahwa jarak aman adalah 20 KM dari puncak gunung. Ketika itu masyarakat sudah terlanjur panik, bahkan ada beberapa orang tua mahasiswa di kampus tempat saya bekerja yang menarik anaknya untuk pindah kuliah dari kota ini.
Berkaca dari dua peristiwa yang terjadi di Yogyakarta tersebut, menarik untuk melakukan kajian lebih lanjut terhadap manajemen komunikasi bencana banjir di DKI Jakarta awal 2013. Jakarta sendiri memang sudah akrab dengan banjir sejak zaman kerajaan Tarumanegara 1.600 tahun yang lalu yang berlanjut pada masa penjajahan Belanda di abad 19 (Viva.co.id 16/1/2013).
Banjir pada Januari 2013 cukup luas area cakupannya karena air tidak hanya merendam wilayah daerah langganan banjir seperti Kampung Melayu atau Kampung Pulo, namun juga banyak daerah lain di Jakarta seperti Daan Mogot, Kembangan, Pluit, Sunter, Kelapa Gading, bahkan pusat kota Jakarta di daerah Menteng, Sudirman-Thamrin, Bundaran Hotel Indonesia, Medan Merdeka tidak luput dari kepungan banjir. Memang banjir kali ini tidak hanya karena curah hujan yang tinggi di Jakarta, namun banjir kiriman akibat debit air hujan yang tinggi di hulu sungai yang bermuara di Jakarta.
Semua elemen stakeholder serempak bergerak mengatasi banjir. Tim relawan yang terdiri dari berbagai elemen mulai dari mahasiswa, pejabat kecamatan/kelurahan setempat, pihak swasta dan pihak TNI/Polri serempak bekerja memberi bantuan. Joko Widodo dan Basuki Cahaya Purnama yang baru beberapa bulan menjabat sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur langsung dihadapkan pada pekerjaan rumah mengatasi bencana banjir tersebut.
Tulisan ini tidak membahas solusi apa saja yang dilakukan dan ditawarkan oleh Joko Widodo atau bahkan turut memberikan saran, karena memang bukan kapasitas dan kompetensi dari penulis. Penulis berfokus pada dinamika komunikasi yang terjadi saat bencana banjir tersebut.
Pertama tentang candaan yang tersebar melalui saluran media sosial dan blackberry messenger. Empati kepada korban dan dukungan kepada semua pihak yang memberikan bantuan seharunya menjadi tajuk utama dalam setiap diskusi di dunia maya. Namun saya melihat beberapa pihak merasa kejadian banjir ini hanya sekedar bahan lelucon yang layak untuk ditertawakan. Termasuk salah satu gambar yang saya terima melalui blackberry messenger adalah gambar suasana banjir di sekitar Bundaran Hotel Indonesia Jalan Thamrin. Namun gambar tersebut kemudian ditambahkan dengan gambar tokoh superhero asal Jepang, Ultraman yang sedang bertarung dengan monster di area banjir tersebut.
Tentu maksud dari si pembuat gambar lelucon ini tidak lebih dari hanya sekadar untuk bercanda. Namun dari kacamata korban banjir candaan seperti ini bukan hal utama yang mereka butuhkan. Mereka berharap segera dijemput tim evakuasi untuk mengungsi ke posko pengungsian, lalu mendapatkan bantuan makanan dan kebutuhan pokok lain karena kehidupan ekonomi terhenti. Mereka juga harus memikirkan kerugian yang diderita pasca banjir surut nanti.
Kedua, yang membuat penulis cukup miris adalah bagaimana coverage media massa dalam meliput dan memberitakan bencana banjir. Liputan yang ditujukan untuk memberikan informasi akurat perkembangan peristiwa banjir dibelokkan beberapa media seturut dengan kepentingannya. Seperti yang penulis tahu tentang bagaimana TV One menggunakan izin wawancara dengan Joko Widodo (Jokowi) mengenai penanggulangan banjir, kemudian digunakan untuk Program 100 Hari Jokowi-Ahok yang ditayangkan TV One pada Senin, 21 Januari 2013.
Belakangan diketahui dari informasi yang beredar di beberapa forum dunia maya, Jokowi marah besar setelah wawancara yang dilakukan TV One tersebut. Bersumber dari ajudan Jokowi, ternyata sejak awal Jokowi hanya ingin diwawacara seputar penanggulangan banjir dan tidak ada narasumber lain selain dia. Pada perkembangan wawancara ternyata topik interview melebar ke aspek lain di luar banjir, dan ada narasumber lain selain Jokowi, yang digunakan oleh TV One untuk meng-counter wacana yang dilontarkan Jokowi.
Ternyata acara 100 Hari Jokowi-Ahok ini diduga karena atas nama persaingan media. TV One tidak ingin kecolongan Metro TV yang sudah beberapa kali melakukan wawacara eksklusif dengan Jokowi terkait 100 hari pemerintahannya. Tidak sampai di situ saja, dari transkrip wawancara acara di TV One tersebut, terlihat jelas bahwa pertanyaan dan wacana yang dilontarkan oleh news anchor seolah terus mencecar jawaban Jokowi. Dikatakan oleh beberapa orang di dunia maya, pertanyaan yang dilontarkan oleh news anchor miskin riset, sehingga seolah hanya pertanyaan mendasar saja.
Lain peristiwa di mana beberapa reporter televisi di lapangan nampak tidak bisa memberikan empati dan apresiasi terhadap korban dan relawan banjir yang sedang berjuang di daerah bencana. Dalam satu wawancara reporter dengan relawan di posko bantuan, sang reporter terlihat menanyakan hal-hal yang lebih bersifat tendensius sembari memberikan penilaian benar dan salah. Seolah sang reporter ini adalah orang yang paling tahu bagaimana memberikan bantuan kepada korban banjir.
Persaingan media massa memang kerap terbukti mampu menyingkirkan segala hal lain, selain mengutamakan kepentingan tayangan yang penuh sensasi dan dramatis bagi pemirsa, termasuk program acara berita. Pada titik ini, penulis paham bahwa seorang reporter berita televisi kemudian tidak bisa ditunjuk sebagai satu-satunya pihak yang dipersalahkan. Sang reporter sudah terlanjur masuk ke dalam labirin dunia industri media televisi penuh dengan jebakan dan intrik untuk merebut kue iklan yang memang manis. Masyarakat lagi-lagi dijadikan komoditas, bahkan ketika mereka sedang tertimpa bencana.
*Pupung Arifin, Dosen Prodi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta