Menyambut Royal Wedding Putri Sultan Hamengku Buwono X
Harian Jogja, 3 Oktober 2013
Oleh Olivia Lewi Pramesti
Pada 21-23 Oktober 2013 mendatang, Yogyakarta akan kembali merayakan hajat besar. Royal wedding, begitulah masyarakat mengenalnya. Putri ketiga Sri Sultan Hamengkubuwono X, Gusti Kanjeng Ratu Hayu akan melangsungkan pernikahan dengan Kanjeng Pangeran Haryo Notonegoro. Pernikahan ini merupakan pernikahan pungkas dari kelima putri Sultan.
Tentu saja, perhatian masyarakat di seluruh Indonesia bahkan internasional akan tertuju pada perayaan tersebut. Tak hanya masyarakat, perhatian pun ditunjukkan oleh media. Dari media cetak, elektronik, hingga online, semua berebut untuk menyajikan pemberitaan yang menarik serta lengkap.
Berbincang soal berita, pernikahan anak raja memiliki nilai berita human interest yang cukup tinggi. Lebih lagi di media lokal yang memiliki kedekatan geografis dengan peristiwa tersebut. Dari berbagai pemberitaan media lokal sudah didengung-dengungkan bahwa pernikahan terakhir ini akan istimewa. Pengantin akan ditarik dengan 12 kereta yang diiringi dengan Sultan dan keluarganya. Berbeda dengan pernikahan sebelumnya, jeng Reni, hanya ditarik lima kereta dengan Sultan yang mengiringinya dengan mobil.
Balutan perayaan istimewa ini tentu akan menjadi santapan empuk bagi media. Nilai kebaruan berita hadir dalam peristiwa tersebut. Informasi baru inilah yang pastinya akan ditunggu-tunggu oleh media serta khalayak luas. Hanya saja, kebaruan perayaan agung ini justru menjadi tantangan tersendiri bagi media. Kualitas berita seperti apakah yang akan dimunculkan?
Di era industrialisasi media saat ini, media dihadapkan pada segitiga kepentingan. Kepentingan bisnis grup, tuntutan industri/ rating, dan politik. Tiga kepentingan ini secara tidak langsung berpengaruh dalam kehidupan media saat ini. Tak bisa dipungkiri memang karena media juga merupakan institusi ekonomi yang juga bicara soal keuntungan.
Ironis ketika ketiga kepentingan ini dihadapkan pada fungsi dasar media yakni informasi, hiburan, pengawasan, pendidikan, serta transmisi budaya. Fungsi-fungsi dasar media ini seolah tidak lagi utuh ketika media memiliki banyak kepentingan dalam menjalankan aktivitasnya.
Perayaan royal wedding yang akan berlangsung tiga pekan mendatang akan menjadi pertarungan bagi masing-masing media khususnya media lokal. Sejauh mana media lokal akan menjalankan fungsinya dalam mentransmisikan budaya lokal Yogyakarta? Sejauh mana pula media lokal akan mengutamakan kepentingan bisnisnya?
Media lokal memiliki potensi lebih dalam mentransmisikan budaya lokal. Transmisi budaya berkaitan dengan fungsi media dalam meningkatkan kohesivitas sosial seperti memperluas norma bersama, melestarikan budaya, serta melanjutkan sosialisasi budaya dari berbagai generasi. Fungsi ini akan memperkuat integrasi sosial di sebuah wilayah serta terus memelihara budaya lokal di suatu tempat.
Informasi royal wedding ini tentu saja akan ditunggu-tunggu oleh masyarakat. Tidak sekedar informasi yang berbau infotainment, melainkan informasi yang bermutu yang sesuai dengan fungsi media sebagai transmisi budaya. Masyarakat haus akan informasi yang “berbeda”. Saat ini informasi layaknya seperti barang yang diperdagangkan tanpa memperhatikan kualitas di dalamnya. Keseragaman dimana-mana dan pilihan pun makin tak banyak.
Pemberitaan di media soal royal wedding ini tak sekedar hanya akan memberikan informasi, melainkan akan berdampak lebih jauh lagi. Pelestarian budaya lokal. Entah berapa lama lagi masyarakat akan menyaksikan peristiwa unik ini dan berapa generasi lagi yang akan mengetahuinya.
Media bertanggungjawab atas hal ini. Peristiwa ini tentu saja bukan peristiwa biasa. Lebih lagi Yogyakarta sudah memiliki UU Keistimewaan. Apakah media lokal juga akan menjadi “istimewa” dibandingkan media lainnya?
Media lokal perlu memberikaninformasi yang utuh soal perayaan agung ini. Jurnalis di lapangan pun perlu memahami konteks budaya Yogyakarta sebelum mereka diterjukan untuk meliput peristiwa ini. Ada kecenderungan, jurnalis di lapangan hanya melakukan pelaporan sesuai data di lapangan tanpa memberikan konteks utuh terhadap peristiwa. Contoh ini bisa menjadi refleksi. Mengapa perayaan agung ini bisa dinamakan royal wedding? Mengapa media tidak menggunakan istilah daup ageng yang justru sesuai dengan budaya Yogyakarta? Meski hanya soal istilah, namun ini sangat berpengaruh pada generasi berikutnya.
Istilah, tata cara, busana, dan atribut budaya lainnya menjadi sangat penting dalam pewarisan budaya lokal. Ini menjadi tugas media dalam menyebarkannya pada masyarakat. Kebenaran informasi menjadi taruhan untuk pewarisan budaya di masa mendatang. Sampai sejauh mana media akan melakukan fungsi transmisi budaya ini dengan baik?
Di era masyarakat informasi saat ini, kekritisan media terus terpupuk. Masyarakat makin peka terhadap isi media. Kesadaran kritis inilah yang akan membantu khalayak untuk membandingkan media satu dengan yang lainnya. Apakah media akan melakukan fungsinya? Atau justru disfungsinya? Ini pilihan!
Olivia Lewi Pramesti, Staff Pengajar FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta