Bernas Jogja, Rabu 16 Oktober 2013
Oleh Pupung Arifin
Setiap tahun saya meminta peserta didik di mata kuliah yang saya ampu untuk melakukan kajian sosial masyarakat menggunakan berbagai alternatif tema. Ada satu tema menarik yang hampir selalu muncul setiap tahun yaitu pendidikan formal dan pendidikan alternatif. Melalui tema ini mahasiswa menemukan banyak hal menarik terkait dinamika pendidikan di Indonesia, khususnya pendidikan dasar. Meskipun pendidikan formal yang selama ini kita kenal masih menjadi pilihan utama masyarakat, ternyata ada beberapa komunitas yang mencoba menawarkan pendekatan lain dalam memberikan pendidikan bagi putra-putri bangsa. Pendekatan tersebut antara lain dengan model sekolah alam, permainan tradisional, lingkungan hidup, kebudayaan lokal.
Fokus tulisan ini bukan pada sekolah formal versus sekolah alternatif, ataupun pembahasan spesifik terkait sekolah alternatif tersebut. Tulisan ini lebih membahas persoalan pendidikan formal yang selama ini diterapkan di Indonesia. Pada akhir September 2013, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menggelar Konvensi Nasional Ujian Nasional (KNUN). Konvensi awalnya membicarakan semua permasalahan terkait pendidikan kemudian direduksi hanya membahas Ujian Nasional. Hal ini disinyalir sebagai usaha mengeliminir atau bahkan menghentikan silang sengkarut UN.
Sudah menjadi rahasia umum penyelenggaraan ujian nasional dalam beberapa tahun terakhir menuai banyak kritikan. Kekacauan penyelenggaraan terjadi terus berulang, bahkan bisa dikatakan semakin tidak bisa ditolerir kesalahannya. Lihat saja penyelenggaraan UN Mei 2013. Banyak siswa tidak bisa ujian bukan karena kesalahan yang mereka perbuat. Ujian harus ditunda karena soal belum terdistribusi ke sekolah-sekolah sampai pada hari-H. TNI sampai turun tangan membantu pendistribusian soal pada detik-detik terakhir jadwal ujian dilaksanakan.
Salah satu majalah terkemuka melansir tulisan terkait dugaan korupsi dalam proyek pengadaan logistik UN 2013. Bangkai yang paling kuat tercium baunya adalah ketika tender pencetakan soal ujian dilakukan perusahaan yang tidak memiliki rekam jejak baik. Kemenangan tender dipertanyakan karena nyata-nyata perusahaan kewalahan melakukan pencetakan soal yang harus didistribusikan ke seluruh Indonesia. UN akhirnya dilihat sebagai proyek belaka dan meninggalkan esensi penting dari ujian itu sendiri.
Kembali pada KNUN, Kemendikbud mencoba meredam arus penolakan dengan mengemukakan bahwa UN wajib dilakukan karena merupakan amanat undang-undang. Pokok konvensi juga bisa ditebak karena terjebak dalam pembahasan di tataran teknis penyelenggaraan. Pertemuan yang diawali pra konvensi di beberapa kota besar hanya membahas teknis pencetakan soal ujian dan prosentase nilai kelulusan. Memang betul kedua hal tersebut merupakan permasalahan paling kentara dalam UN 2013, namun menjadi kurang bijak jika pembahasan hanya berkutat di situ tanpa mencoba mencari akar permasalahan yang lebih substansial.
UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) memang mengamanatkan diselenggarakannya evaluasi proses pendidikan. Evaluasi mencakup dua hal. Pertama evaluasi mutu pendidikan untuk menjaga penyelenggaraan pendidikan tetap pada jalurnya dan akuntabel. Evaluasi ditujukan kepada semua stakeholder mulai dari pengelola, penyelenggara, program dan siswa sebagai peserta didik. Evaluasi pertama bukan ditujukan sebagai syarat kelulusan siswa, namun lebih menguji proses pendidikan yang dilakukan penyelenggara pendidikan. Pengendalian mutu penting karena melalui evaluasi akan diketahui apakah peserta didik mendapatkan pendidikan berkualitas atau belum. Kementrian akan mendapatkan data terkait permasalahan yang dihadapi peserta didik dalam proses pendidikan yang mereka jalani. Evaluasi ini bila mengacu pada undang-undang, harus dilaksanakan lembaga independen bernama Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).
BSNP bisa melihat standar ini hanya dengan mengambil data milik tenaga pendidik di sekolah-sekolah. Ujian tidak perlu lagi dilakukan setiap tahun dalam skala nasional, karena memang esensi evaluasi adalah menentukan kebijakan strategis dari Kemendikbud guna menjawab kekurangan yang ditemukan oleh BSNP.
Evaluasi kedua mengenai hasil belajar peserta didik. Evaluasi dilakukan secara mandiri oleh tenaga pendidik untuk mengetahui proses dan kemajuan hasil belajar peserta didik secara berkala. Ujian tidak perlu dilaksanakan secara nasional setiap tahun karena tenaga pendidik bisa mengadakan tes kapanpun tergantung pada kompetensi yang ingin diukur.
Salah satu koran nasional melansir secara berkala hasil Simposium Pendidikan Indonesia-Finlandia di Jakarta pada 8-9 Oktober 2013. Kegiatan yang diprakasai Kemendikbud dan Kedutaan Besar Finlandia untuk Indonesia ini mencuatkan temuan cukup menarik. Sistem pendidikan di Finlandia memberikan otoritas dan tanggung jawab besar kepada guru. Penilaian kepada siswa bisa dilakukan dengan beragam cara, mendorong siswa menyadari peningkatkan kapasitas kompetensi dirinya. Pendidikan tidak hanya fokus pada masalah akademik, namun kekhasan dari masing-masing peserta didik justru diakui. Pendidikan ramah kepada anak menjadi titik berangkat sehingga berani tidak membebani anak dengan pekerjaan rumah, pelajaran tambahan di luar jam sekolah, sistem ranking, dan tidak menyelenggarakan UN kecuali di level SMA ada tes masuk perguruan tinggi.
UN dapat tetap dilaksanakan, namun hasilnya tidak untuk menilai kelulusan, namun lebih memberi masukan perbaikan pihak sekolah. Berdasarkan sistem tersebut guru menjadi tokoh sentral dalam perkembangan ilmu dan keterampilan peserta didik. Sebenarnya jumlah tenaga kependidikan yang lulus setiap tahun cukup besar. Ada sekitar 250.000 lulusan dihasilkan oleh Lembaga Pendidik Tenaga Kependidikan (LPTK) setiap tahunnya (Kompas, 10/10/13). Besarnya jumlah tenaga kependidikan tidak serta merta membuat mutu pendidikan di Indonesia semakin baik. Buruknya distribusi guru ke seluruh wilayah Indonesia dan mutu guru yang belum optimal menjadi problem tersendiri.
Bagi Indonesia, untuk bisa sampai tahap ini memang menyisakan banyak perkerjaan. Jauh dari kondisi saat ini bukan berarti tidak mungkin dilaksanakan. Pertama-tama guru harus ditempatkan pada posisi terhormat dan profesional. Guru profesional bisa dibentuk dari proses seleksi yang ketat. Selain pengukuran kemampuan intelektual calon mahasiswa yang melamar sekolah di LPTK, faktor motivasi dan minat menjadi guru juga tidak kalah penting. Pendidikan guru yang kuat dalam pendidikan, pelatihan, dan penelitian diharapkan mampu mencetak guru profesional. Profesi guru akan terpandang dan membanggakan. Akhirnya kepada guru-guru profesional inilah Kemendikbud percaya bahwa sistem penilaian, kelulusan dan evaluasi kompetensi siswa ada di tangannya. Guru memiliki otonomi menilai serta mengembangkan kurikulum sesuai dengan kebutuhan peserta didik.
* Pupung Arifin, dosen FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta