Bernas Jogja, Selasa, 4 Februari 2014
Oleh : Dina Listiorini
WHO, organisasi kesehatan di bawah PBB menetapkan setiap 6 Februari sebagai International Day of Zero Tolerance to Female Genital Mutilation, atau Hari Internasional untuk Tidak Bertoleransi Terhadap Sunat Perempuan. Sunat perempuan (selanjutnya disebut FGM) mengacu pada definisi WHO adalah prosedur yang dilakukan dengan sengaja melukai organ genital perempuan untuk alasan non medis. Disebut demikian karena FGM secara medis tidak bermanfaat pada perempuan dan bayi perempuan. Dampak jangka pendek menyebabkan terjadinya pendarahan dan masalah buang air kecil. Berakibat kematian bila dilakukan dengan alat-alat yang tidak steril. Dalam jangka panjang bisa berakibat rasa nyeri yang luar biasa bila melakukan hubungan penetrasi seks dengan pasangannya, infertilitas, disfungsi haid dan disfungsi seksual bagi perempuan.
Laporan UNICEF pada Juli 2013 menyebutkan sekitar 125 juta perempuan dan anak-anak perempuan telah dikenai tindakan FGM. Sebagian besar praktek FGM terjadi di negara-negara Afrika dan Timur Tengah. Di negara seperti Amerika dan Eropa, aktivitas FGM banyak dilakukan oleh kelompok migran asal Afrika dan Asia. Di Amerika, Eropa, Kanada dan Australia tindakan FGM dikategorikan kriminal. Di Asia Tenggara, Malaysia dan Indonesia adalah 2 negara terbanyak pelaku FGM. Praktek FGM oleh PBB kemudian diklaim sebagai tindakan pelanggaran hak asasi perempuan dan anak perempuan. Alasan terbesar tindakan FGM adalah karena hal tersebut dianjurkan oleh agama dalam hal ini Islam.
Comfort Momoh di bukunya Female Genital Mutilation (2005) menjelaskan bahwa praktek FGM secara sistemik dipengaruhi banyak faktor seperti kepercayaan tertentu, norma-norma perilaku, norma, tradisi, ritual, hirarki sosial dan agama, sistem ekonomi dan politik. Ia juga menjelaskan bahwa mayoritas praktek FGM dilakukan dalam pernikahan di bawah sistem patriarki di mana perempuan tidak memiliki otonomi atas dirinya, kekuasaan, status dan pendidikan. Hal ini tidak hanya tampak pada praktek FGM itu sendiri di negara-negara yang mengacu pada agama Islam, juga terlihat pada pemberitaan atau penulisan informasi mengenai FGM.
Perdebatan tentang FGM juga banyak dilakukan di dunia maya. Internet menjadi sumber pengetahuan terbesar saat ini bagi setiap orang untuk mendapatkan beragam informasi termasuk FGM. Mulai dari portal yang dimiliki organisasi international seperti WHO, UNESCO, UNICEF, Amnesty International, sampai ke ormas lokal suatu negara. Belum termasuk portal berita yang dimiliki media lokal, internasional dan sekian banyak ormas yang merasa berkepentingan dengan isu FGM.
Siapa Berkata Apa
Di Indonesia kontroversi praktek FGM muncul terutama setelah kebijakan mendua pemerintah melalui Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) RI No. 1636/MENKES/PER/XI/2010 yang berisi panduan bagi tenaga medis untuk melakukan sunat perempuan. Hal ini membingungkan sebab pada 2006 pemerintah mengeluarkan Surat Edaran Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan RI Nomor HK.00.07.1.3.104.1047a Tahun 2006 yang melarang petugas medis mengambil bagian dalam praktek FGM karena tidak memberikan kontribusi pada kesehatan. Surat edaran ini merupakan tindak lanjut sebuah lokakarya pada Juni 2005 yang melibatkan organisasi profesi, LSM, Komisi Nasional dan seluruh aspek program dan sektor yang saat itu menyepakati bahwa sunat perempuan tidak berguna bagi kesehatan, bahkan merugikan dan menyakitkan.
Munculnya kebijakan mendua ini menyebabkan kebingungan pada masyarakat. Pertanyaan terbesar mengarah pada BOLEH atau TIDAK praktek FGM dilakukan. Para pelaku dan penggiat HAM menilai bahwa kebijakan ini merupakan kemunduran bagi praktek HAM di Indonesia dan tindak kekerasan bagi perempuan dan anak-anak perempuan. Pendapat ini muncul dalam berbagai pernyataan di portal-portal berita yang mendukung para aktivis HAM. Majalah Femina, sebuah majalah yang ditujukan untuk perempuan dalam edisi online femina.co.id meski judulnya mengacu pada kontroversi FGM dengan “Sunat Perempuan, Melindungi atau Melukai?” namun memberikan keberpihakan bahwa FGM memang tidak perlu dilakukan dengan narasumber Nong Darol Mahmada, seorang aktivis perempuan yang menentang FGM. Penentangan FGM juga muncul di beberapa portal media cetak nasional. Kompas.com menyatakan ketidaksetujuannya pada FGM melalui beberapa artikel di rubrik kesehatan seperti “Inilah Bahaya di balik Sunat Perempuan”, “Izinkan Sunat Perempuan, Menkes Dikecam”. Majalah Tempo edisi tempo.co memuat berita “OKI Menentang Praktek Sunat Perempuan” mengutip pernyataan Sekjen OKI (Organisasi Kerjasama Islam) Ekmeleddin Ihsanoglu, bahwa FGM adalah bentuk kekerasan dengan mengatakan, ”Isu penting yang ingin saya tekankan, mutilasi alat kelamin perempuan harus dihentikan. Islam tidak mendukung praktek itu.”Pernyataan Sekjen OKI dalam wacana FGM menjadi penting mengingat isu FGM selalu dikaitkan bahwa hal tersebut merupakan ajaran agama Islam. Masih di dalam “perspektif Islam”, tempo.co memuat berita berjudul “Fatayat NU: Khitan Perempuan Tak Ada di Al-Qur’an”. Hal ini menjelaskan bahwa dalam cara pandang Islam pun “kebenaran pengetahuan” tentang FGM beragam dan tidak absolut.
Hal sebaliknya tentang FGM di portal-portal berita milik ormas Islam dan yang mendukung perjuangan Islam menyatakan FGM sudah selayaknya dilakukan atas nama syariah Islam. Tulisan di portal milik Hizbut Tahrir berjudul “Nafsiyah Mboi dan Kriminalisasi Sunat Perempuan” menyebut bahwa aktivitas menentang FGM baik yang dilakukan oleh badan Internasional seperti PBB dan para penggiat HAM dianggap sebagai ‘kafir’ dan ‘liberal’ penyeru kebatilan yang menggugat hukum dan syariat Islam dan dipandang sebagai ancaman. FGM sendiri tidak dianggap sebagai kekerasan melalui artikel “Khitan Perempuan Bukanlah Kekerasan”. Majelis Ulama Indonesia menjadi “pahlawan” karena dianggap mampu mempengaruhi kebijakan pemerintah. Hal senada juga didapati pada sebuah tulisan di voa-islam.com dan Facebook bahwa FGM sebetulnya melindungi perempuan dari syahwatnya yang berlebihan.
Wacana FGM
Wacana bukan lemparan isu, melainkan sebuah tindakan komunikasi dalam berbagai teks media yang di dalamnya terkandung muatan ideologis yang berasal dari pengetahuan tertentu. Pengetahuan tentang seksualitas memiliki pengaruh atas terbentuknya wacana seksualitas. Foucault (1978) menyatakan bahwa wacana seksualitas ketika muncul dalam konteks relasi kuasa selalu bersifat negatif di mana di dalamnya berisi pengendalian, penyangkalan, serta pengucilan dan selalu mengatakan TIDAK untuk kenikmatan seksual.
Pertarungan wacana FGM di portal lokal dunia maya menyatakan bahwa tubuh perempuan menjadi pertarungan kuasa ideologi dalam setiap arena termasuk teks media. Kontrol atas tubuh perempuan melawan kebebasan perempuan atas tubuhnya muncul vis a vis dalam pemberitaan tentang FGM. Pertarungan akan tetap terjadi, dan kemenangan atas teks tidak akan pernah terjadi secara absolut, karena perlawanan selalu ada dan menjadi keniscayaan yang absolut.
Dina Listiorini, staf Pengajar FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta