Segmentasi, Bukan Sekadar Pasar

Bernas Jogja, 13 Maret 2012

Oleh Birgitta Bestari Puspita

Teringat waktu kecil, hobi membaca selalu terpuaskan oleh salah satu majalah anak-anak. Konten majalah tersebut dapat memuaskan rasa ingin tahu  sebagai anak dan juga sekaligus  memberikan hiburan versi anak-anak, dengan berbagai kisah lucu, cerita pendek dan juga dongeng yang dihadirkannya setiap minggu. Tak hanya fiksi dan fakta ilmiah yang dapat menghibur anak-anak seusia sekolah dasar. Profil seorang idola atau sosok terkenal pun menjadi salah satu daya tarik tersendiri.

Masih segar dalam ingatan, ketika di usia sekolah dasar  membaca berbagai profil tokoh nasional seperti Didik Nini Thowok,  Guruh Soekarno Putra, tokoh dalang,  penyanyi cilik, dan banyak lagi. Tokoh-tokoh tersebut diharapkan bisa menginspirasi anak-anak untuk berkarya, berprestasi, meraih mimpi, serta mengharumkan nama bangsa. Bahkan profil dalam majalah tersebut tidak harus tokoh terkenal, bisa jadi “hanya” seorang anak sekolah dasar dengan prestasi luar biasa yang pantas diketahui dan menjadi penyemangat bagi anak Indonesia lainnya.

Itu dulu. Zaman memang sudah banyak berubah. Teknologi  berkembang pesat. Tren di masyarakat pun berubah mengikuti tren global, bukan lagi tren lokal,  ketika penyebaran informasi belum sebebas sekarang. Kemajuan teknologi memungkinkan kita untuk mengetahui dan mengikuti isu-isu  yang sedang hangat dibicarakan di dunia.  Dengan adanya internet, kecepatan penyebaran informasi pun berlipat ganda. Benar kata McLuhan (1964) tentang global village, batasan ruang dan waktu tak lagi jelas dan tak lagi menjadi penghalang. Tak perlu lagi kita menunggu lama untuk bisa up date informasi tentang dunia di luar kita. Peribahasa “bagai katak dalam tempurung” pun bisa jadi hanya berlaku bagi segelintir orang yang belum bisa mengakses internet. Toh kalau mereka belum bisa mengakses internet, informasi terbaru akan disediakan oleh media mainstream, seperti televisi, radio, dan media cetak, yang notabene juga memperoleh isu-isu global melalui internet. Arus infomasi nampaknya “membabi buta’ meringsek kehidupan kita.

Media dan Khalayak Sasaran

Media cetak maupun elektronik memiliki target khalayak yang ingin disasar. Bicara soal media cetak, majalah terutama, segmentasi khalayak sasarannya cukup jelas. Ada yang berdasarkan gender, misalnya majalah untuk perempuan dan majalah untuk laki-laki. Ada yang berdasarkan usia, majalah  anak-anak, remaja dan dewasa. Ada pula majalah yang ditujukan untuk keluarga. Belum lagi khalayak pecinta hobi tertentu yang dijadikan sasaran, misalnya otomotif, berkebun, desain interior, dan sebagainya. Apakah pembagian tersebut hanya berfungsi sebagai pembeda majalah satu dengan yang lainnya? Tentu saja tidak. Segmentasi juga mempengaruhi konten media yang bersangkutan, mulai dari kemasan, informasi yang diberikan, bahkan sampai pada gaya bahasa yang digunakan. Dan bagi perusahaan media, spesifikasi khalayak  sasaran berarti market atau pasar, yang nantinya tidak jauh dari urusan  profit.

Hal tersebut berlaku pula pada majalah anak. Jelas di sini khalayak yang dituju adalah anak-anak. Anak-anak berarti bukan remaja, karena rentang usia  berbeda. Rentang usia yang bisa dikatakan anak-anak adalah usia sampai 12 tahun. Maka, konten majalah anak selayaknya, berbeda dengan konten majalah remaja.

Sedikit terkejut ketika kembali mengamati majalah anak-anak yang dulu menjadi favorit saya. Dari segi rubrikasi tak banyak berubah, tetap menarik seperti biasanya. Namun ada satu konten yang fatal, Profil. Satu grup girlband menjadi profil di sebuah edisi. Dari sini terlihat bahwa terpaan informasi global  mempengaruhi majalah anak. Pertanyaannya, apakah ketika bicara segmentasi khalayak kita hanya bicara tentang tren,  pasar dan profit? Bukankah salah satu fungsi media adalah mengedukasi dan bukan sekedar memberi informasi?

Tidak dimungkiri bahwa mengikuti dan mengetahui sesuatu hal  serta isu yang tengah hangat diperbincangkan dunia adalah sesuatu yang penting bagi khalayak, termasuk anak-anak. Satu di antaranya adalah fenomena K-Pop. K-Pop memang tengah menjadi  tren menarik yang bisa kita amati di media. Aliran musik ini pun mempengaruhi aliran musik yang ada di Indonesia, termasuk beberapa konten media, misalnya program khusus salah satu radio swasta di Jogja yang menyiarkan lagu-lagu Korea. Namun menjadi tidak pas ketika demi mengikuti tren global, profil untuk majalah remaja ditampilkan di majalah anak-anak usia sekolah dasar.

Profil dalam Media Anak

Secara teoritis memang tidak ada persyaratan tentang siapa yang patut dimunculkan sebagai sosok dalam rubrik profil untuk majalah anak-anak. Namun secara etika, sudah menjadi tanggung jawab media untuk menjaga konten yang dihadirkan bagi khalayak sasaran, termasuk  ketepatan isi.

Rubrik profil berbicara tentang kisah hidup seseorang. Bisa saja dalam bentuk cerita kisah, ataupun hasil wawancara berupa tanya-jawab. Umumnya rubrik ini menampilkan mereka yang memiliki prestasi secara nasional, memberikan kontribusi bagi negara, atau mereka yang dianggap mampu menjadi inspirasi bagi orang lain. Untuk majalah anak, tentu lebih pas apabila yang memenuhi ruang artikel adalah mereka yang memiliki kontribusi pada dunia anak, atau justru anak-anak yang berprestasi dan mampu menginspirasi teman-temannya.

Salahkah bila satu grup girlband menjadi sosok dalam rubrik profil majalah anak-anak? Tentu saja tidak, asalkan ada hubungan dengan dunia anak dan atau memberikan kontribusi bagi anak-anak, terutama kontribusi positif. Menjadi kurang ideal jika dari segi lagu saja sudah tidak pas dengan segmen majalah tersebut.  Lagu-lagu yang dibawakan oleh grup ini adalah lagu-lagu cinta, yang notabene bukan konsumsi anak sekolah dasar.  Apabila  hanya untuk menunjukkan tren global serta lifestyle atau fashion, maka majalah remaja akan lebih cocok untuk icon-icon musik seperti ini. Paduan lagu cinta dan high heels  belum bisa sinkron dengan dongeng dan komik dalam majalah anak.

Di sisi lain, hal ini bisa menjadi kritik bagi  kita. Seharusnya kita lebih hati-hati dalam menyeleksi arus informasi yang masuk ke ranah media. Apa yang menjadi tren di luar sana, belum tentu pas untuk khalayak Indonesia. Masuknya icon remaja di majalah anak, seolah menunjukkan bahwa kita tak lagi memiliki tokoh dunia anak yang pantas untuk diprofilkan. Benarkah demikian?

Ataukah media hanya melulu mengejar profit dan lupa menghadirkan apa yang sebaiknya diberikan untuk khalayak? Sangat disayangkan bila demikian adanya. Anak-anak adalah penerus bangsa. Informasi yang edukatif dan sesuai dengan perkembangan usia akan menjadi teman pertumbuhan untuk menjadi insan yang cerdas dan berprestasi. Dan media memiliki andil cukup besar di dalam proses tersebut.***

Birgitta Bestari Puspita, dosen Ilmu Komunikasi FISIP, Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Search

Pengumuman