Oleh Lukas S. Ispandriarno
Bernas Jogja, Selasa 10 April 2012
Wakil Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana, mendapat cobaan dalam mengawal reputasi politiknya. Tindakannya sebagai pejabat pemerintah saat melakukan inspeksi mendadak di Lembaga Pemasyarakatan Pekanbaru menuai sorotan publik dan media. Lusinan media mengabarkan ia menampar petugas LP, DL Sihombing, lantaran tak sabar menanti dibukanya pintu gerbang. Sang ajudan menendangnya.
Media mengutip pernyataan Indrayana yang “simpang siur” antara menampar dan tidak menampar. Sejumlah tokoh dan politisi mengecam. Menteri Hukum dan HAM membentuk Tim Pencari Fakta, anggota Komisi III DPR Bambang Soesatyo mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memecat Denny Indrayana jika terbukti Denny bersalah menampar petugas tersebut. Meski heboh namun Humas di Kementrian Hukum dan HAM tak bergerak. Pak Wamen seolah tampil sendirian di tengah pertaruhan pemerintah membangun komitmen memberantas mafia hukum, kejahatan dan korupsi.
Reputasi Denny
Kepopuleran Denny makin menanjak awal Februari 2012 ketika menyampaikan pidato pengukuhan sebagai guru besar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada. Pidato berjudul “Sistem Presidensial yang Adil dan Demokratis” di hadapan sidang Senat UGM dihadiri Wakil Presiden Budiono, beberapa anggota kabinet serta politisi. Kini genaplah capaian tertinggi di dunia akademik yang dirintisnya sejak tahun 1995.
Di kampus pulalah nama baik dan prestasi Denny dibangun. Ia mengawalinya sebagai aktivis mahasiswa, dosen, dan pendiri sekaligus penggiat pemantau peradilan, Indonesian Court Monitoring serta Pusat Studi Anti Korupsi Fakultas Hukum UGM. Sebagai intelektual dan aktivis ia dikenal kritis terhadap pemerintah. Komentar dan pendapatnya bertaburan di media massa, termasuk lontaran “pemakzulan” terhadap Presiden SBY dalam kasus aliran dana nonbudgeter Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) serta hak angket BBM. Iapun berbicara soal “dana haram” pemilihan presiden tahun 2004 yang dapat menggerus legitimasi pemilu tersebut.(ANTARA News, 3/9/08).
Seperti dilakukan terhadap beberapa aktivis dan intelektual kampus lain, Presiden SBY lantas merekrut Denny sebagai Staf Khusus, menempatkannya di bidang Hukum, HAM dan Pemberantasan Korupsi Kolusi dan Nepotisme. Di posisi inilah Indrayana menggelar gebrakan penting seperti melakukan sidak ke LP yang dihuni Atalyta Suryani. Sebagai bagian dari Satuan Tugas Anti Mafia Hukum, ia juga “sukses” membujuk pulang ke tanah air Gayus Tambunan, koruptor belia di Direktorat Pajak yang melarikan diri ke Singapura.
Karir politik Indrayana sebagai pejabat pemerintah dikukuhkan saat diangkat menjadi Wakil Menteri Hukum dan HAM, sebuah pekerjaan yang memang menjadi habitatnya. Reputasi Denny di posisi ini sempat “goyah” ketika ahli hukum Yusril Ihza Mahendra mengkritisi keabsahan pelantikan Jaksa Agung Hendarman Supandji September 2010 bersama dengan sejumlah pejabat lain sebagai anggota Kabinet Indonesia Bersatu jilid II. Silang pendapat pendapat antara Yusril dengan Denny mewarnai pemberitaan kala itu.
Awal tahun 2011 ketika media massa sibuk meliput sidang Gayus Tambunan, Denny dituduh pengacara Gayus kerap menekan Milana Anggraeni, istri terdakwa Gayus melalui pesan di Blackberry Messanger. Gayus juga mengajukan protes pada Denny setelah dirinya dijatuhi vonis 7 tahun penjara dan denda Rp 300 juta. Dalam pembicaran melalui BBM sebelum berangkat ke Singapura, Denny menjanjikan keringanan bagi Gayus lantaran berstatus wistle blower.
Lalu tibalah saat melakukan sidak ke Lapas Pekanbaru, Riau. Dari lusinan media yang mengabarkan kesimpangsiuran perangainya, Kantor Berita Antara menulis wawancara dengan petugas LP: “Kami ikhlas meski sudah menjadi korban penamparan Wamen dan pemukulan ajudannya,” kata DL Sihombing dalam keterangan resmi di Lembaga Permasyarakatan Kelas II A Pekanbaru, Rabu. (ANTARA News, 5/4).
Political Public Relations
Sebagai pejabat publik, Denny memang tampil sendirian, tanpa bantuan kantor Humas. Padahal pegawai Humas di setiap kementrian mesti sigap membangun relasi dengan media massa guna menghindari berita-berita negatif atau memojokkan pimpinan maupun organisasi. Berbagai strategi dapat disiapkan seperti menggelar jumpa pers, menyebar rilis, mengontak jurnalis, wawancara eksklusif. Pejabat publik dengan dukungan kantor Humas berperan sebagai motor penggerak political public relations (PPR).
Dalam kehebohan seperti itu, pegawai Humas Kementrian Hukum dan HAM selayaknya membantu sang Wakil Menteri untuk merawat reputasi politik yang telah dibangun. Namun sampai dengan seminggu setelah peristiwa di Pekanbaru, tak ada satu rilispun di situs Kementrian Hukum dan HAM http://www.kemenkumham.go.id menyangkut kasus ini. Mereka mungkin lupa pernyataan praktisi PR Amerika, Ivy Lee, tentang keterkaitan public relations dengan politik. Lee mengatakan, dalam iklim demokrasi, keselamatan demokrasi masa depan bergantung pada jaminan pilihan rakyat, sedangkan jaminan pilihan rakyat bergantung pada sejumlah besar informasi yang diterimanya. Bila dikaitkan dengan kasus ini, kejujuran Denny perihal tindakannya di LP Pekanbaru akan berefek pada reputasinya di masa depan.
Sebagai sebuah agen komunikasi, PR dapat menyatukan kepentingan yang berlainan untuk berinteraksi, dan di mana demokrasi berada, di sanalah PR berperan (Moloney, 2006). Dalam merespon peristiwa di LP Pekanbaru, terlihat munculnya sejumlah kepentingan, misalnya tampak dalam berbagai komentar pakar hukum dan terutama para politisi. Namun demokrasi memang memberi peluang bagi kehadiran bahkan pertumbuhan kelompok-kelompok penekan agar bersuara. Di sini akan terlihat kepedulian sejumlah individu atau kelompok yang bersuara membentuk opini publik untuk menekan penguasa agar melahirkan kebijakan publik yang baru.
Dalam pandangan Nigel Jackson (2010) PPR dimaknai sebagai pemanfaatan media untuk mengomunikasikan interpretasi politik atas isu spesifik sehingga mendapat dukungan publik. Manajemen atau pengelolaan reputasi (reputation management) merupakan salah satu pendekatannya. Dengan mengubah pengelolaan relasi, pengelolaan reputasi berfokus pada identifikasi, pengelolaan maupun pengubahan reputasi korporat dari sebuah organisasi, termasuk citra organisasi, branding dan keseluruhan reputasi. Fokus pada reputasi menyiratkan bahwa PR dipakai secara persuasif untuk membangun opini khalayak kunci dan opini publik secara lebih luas. Jadi, komunikasi adalah penyebaran pada khalayak luas maupun khalayak tertentu.
Memanfaatkan pendekatan Jackson, para pegawai Humas Kementerian Hukum dan HAM maupun Wamen Denny Indrayana sebagai orang nomor dua di organisasi ini mesti mengidentifikasi seberapa jauh berita penamparan di LP Pekanbaru telah menyebar dan ke mana arah isi pesannya. Positifkah? Negatifkah? Berimbangkah? Sampai seberapa buruk pula citra yang ditimbulkan oleh isu penamparan dan cap macam apa yang telah dilekatkan media atau tokoh tertentu atas isu ini? Perlukah merespon tuduhan seorang pengacara beken bahwa perbuatan Wamen merupakan tindakan kriminal?
Dari pemantauan terhadap isi berita media, terbersit harapan agar Wakil Menteri Hukum dan HAM yang masih menggenggam predikat intelektual kampus tidak berperilaku dan tampil layaknya sebagian politisi pemerintah dan partai politik yang terlanjur dicap suka berbohong. Hal ini tentu menjadi kepedulian para praktisi Humas pemerintah sehingga memilih sebuah filosofi etika komunikasi tanpa mengorbankan kepentingan publik. Pilihan etika ini sangat dibutuhkan di tengah kelangkaan pejabat publik yang jujur dan berintegritas. Kejujuran pejabat publik dan keseriusan memberantas mafia hukum, kejahatan serta korupsi merupakan perpaduan utama dalam membangun kredibilitas pemerintah yang semakin anjlok.
Lukas S. Ispandriarno, dosen FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta.