Bernas Jogja, Selasa 11 September 2012
Bonaventura Satya Bharata
“Saya lebih baik berhadapan dengan satu batalyon pasukan bersenjata lengkap, daripada harus berhadapan dengan empat buah suratkabar.” Pernyataan klasik yang dilontarkan kaisar terkenal dari Perancis, Napoleon Bonaparte, masih relevan didengungkan kala melihat relasi media dengan audiensnya. Pernyataan klasik tersebut merujuk pada pengalaman Napoleon Bonaparte, yang merasa lebih mudah menaklukkan satu batalyon bersenjata lengkap daripada harus berhadapan dengan media massa yang dalam hal ini adalah suratkabar. Secara implisit Napoleon ingin mengatakan bahwa media massa memiliki kekuatan luar biasa untuk menjatuhkan seseorang atau lembaga dan besarnya kekuatan tersebut bisa lebih dari empat batalyon pasukan bersenjata lengkap. Karenanya, berhati-hatilah bila berhadapan dengan media.
Sejarah membuktikan bahwa terdapat beberapa tokoh pemimpin negara yang akhirnya harus hengkang dari kursi kepresidenan akibat pemberitaan media. Salah satu yang paling fenomenal adalah Presiden Amerika Serikat Richard Nixon yang pada 1970-an harus lengser dari kursinya pasca pemberitaan The Washington Post mengenai dana kampanye pemilu yang terkenal dengan kasus Watergate. Di Indonesia, lengsernya Presiden Soeharto tahun 1998 bukan semata karena desakan demonstrasi besar-besaran mahasiswa di Gedung MPR/DPR Senayan, namun juga karena pemberitaan masif media massa sehingga mampu menggerakkan elemen lain di wilayah berbeda untuk menuntut turunnya Soeharto.
Pasca Orde Baru pun, tidak jarang beberapa tokoh Presiden Indonesia gerah dengan ulah media. Tercatat lengsernya Abdurrachman Wahid (Gus Dur) dari tampuk kursi Presiden RI tahun 2001, juga disebabkan pemberitaan media. Presiden Megawati pun pernah mengkritik media (baca: pers) di hadapan ribuan simpatisan PDI Perjuangan pada Januari 2003 karena mengganggap media sering membuat berita yang tidak berimbang. Megawati merasa sangat terganggu dengan pers yang sering mengkritik kinerja presiden dan kabinetnya.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pun demikian. Pasca terpilih sebagai presiden tahun 2004 dan 2009, masyarakat Indonesia relatif mudah menemukan berita-berita unik yang menyangkut performa SBY, mulai dari kemarahannya pada gubernur atau menteri karena mengantuk atau mengobrol kala SBY berpidato. Kemudian SBY “curhat” karena banyak menterinya tidak menjalankan instruksinya, sampai ia merasa terganggu karena ulah lalat dan rusaknya microphone kala akan memberikan konferensi pers. Yang kontroversial adalah ketika SBY menegur anak-anak yang tertidur saat ia menyampaikan sambutan di Hari Anak Nasional 2012.
Dampak kekuatan media tidaklah melulu negatif seperti yang dirasakan oleh tokoh-tokoh politik internasional dan nasional di atas. Ada kalanya dampak media bersifat positif. Tengok saja pada sosok Joko Widodo, walikota Surakarta yang sedang mencalonkan diri sebagai salah satu calon gubernur DKI Jakarta 2012-2017. Setahun lalu, bisa jadi warga Jakarta belum terlalu mengenal sosok yang biasa dipanggil Jokowi ini. Namun ketika awal tahun media mulai masif memberitakan Jokowi yang bersikeras mengganti kendaraan dinasnya dengan mobil Esemka karya para siswa SMK di Solo, masyarakat Jakarta mulai mengenalnya. Demikian pula dengan Dahlan Iskan, mantan Dirut PLN yang sekarang menjadi Menteri BUMN. Pemberitaan terus menerus mengenai tindakan kontroversialnya, seperti membuka paksa pintu tol Kuningan Jakarta, safari berkeliling Jawa dengan menginap di rumah warga miskin, sampai dengan kaos kontroversialnya buanglah koruptor pada tempatnya semakin melambungkan namanya di hati masyarakat Indonesia. Tidak mengherankan bila Dahlan digadang-gadang menjadi salah satu calon Presiden alternatif untuk tahun 2014.
Tidak hanya tokoh publik yang bisa merah telinganya karena ulah media, organisasi atau lembaga ekonomi juga mengalami hal yang sama. Beberapa perusahaan besar yang pernah mengalami krisis, pasti pernah merasakan dampak pemberitaan media. Sebut saja PT. Indofood Sukses Makmur ketika produk mie instannya dilarang beredar di beberapa negara Timur Jauh. Kemudian perusahaan fast food Mc Donalds, yang pernah terseret kasus flu burung untuk beberapa produk makanan cepat sajinya. Bahkan Unilever dengan produk pasta giginya pernah diisukan menggunakan bahan pengawet formalin sebagai salah satu bahan racikannya. Terakhir, PT Freeport Indonesia yang saat ini sedang hangat dibicarakan media sehubungan dengan masih dipertimbangkannya perpanjangan kontrak operasional di Indonesia. Salah satu penyelesaian krisis yang dilakukan oleh masing-masing perusahaan ini adalah mengendalikan perilaku media agar tidak semakin memperburuk keadaan. Keberhasilan mengendalikan media berujung pada reputasi yang akan semakin membaik.
Semua peristiwa ini memberikan pemahaman kepada kita mengenai dampak media yang bisa berpengaruh sangat kuat kepada masyarakat. Ilmu komunikasi memang mengenal pembahasan dampak komunikasi. Dinyatakan bahwa dampak komunikasi massa dapat berlangsung pada tataran kognitif (pengetahuan), afektif (sikap), dan konatif (tindakan atau perilaku). Pada tataran kognitif, dampak komunikasi massa mengakibatkan perubahan dari sisi pengetahuan, seperti dari tidak tahu menjadi tahu, dari sekedar tahu menjadi semakin memahami. Dalam tataran afektif, terjadi perubahan dari aspek sikap, seperti dari tidak setuju menjadi setuju, suka menjadi tidak suka, demikian pula sebaliknya. Sedangkan tataran konatif ditandai dengan perubahan atau pergerakan perilaku, seperti memutuskan memilih atau tidak memilih kandidat gubernur, membeli atau tidak membeli produk yang ditawarkan oleh iklan di media. (Straubhaar, LaRose dan Davenport, 2010: 402).
Di samping itu, beberapa teori komunikasi massa juga menunjukkan bagaimana kuat dampak yang dimunculkan oleh pesan media. Ada yang meyakini bahwa dampak media sangat kuat sampai pada tataran konatif (seperti teori jarum suntik). Artinya ada beberapa teoritisi yang meyakini bahwa dampak media massa, apapun bentuknya, selalu akan sampai pada tataran perubahan dan pergerakan tindakan atau perilaku. Akan tetapi ada pula yang percaya bahwa kekuatan dampak media hanyalah sampai pada tataran kognitif saja. Artinya dampak pesan media hanya akan sampai pada perubahan kognitif, dari tidak tahu menjadi tahu (Bryant dan Thompson, 2002: 40). Di sisi lain, ada yang mempercayai bahwa pesan media yang datang dalam kapasitas yang besar dan frekuensi yang tinggi memiliki dampak opini publik yang cukup luas bagi masyarakat (Pawito, 2009: 144). Opini publik yang dimunculkan ini dapat bersifat positif, tetapi dapat pula bersifat negatif.
Berangkat dari pemahaman ini ada baiknya pihak-pihak yang berkepentingan dengan media, seperti calon atau pejabat publik, lembaga-lembaga profit dan non profit, serta organisasi masyarakat memperhitungkan dengan baik kekuatan media yang dapat mempengaruhi masyarakat. Besar-kecil pengaruh tersebut dapat tergantung seberapa besar intensitas dan seberapa sering frekuensi pesan media yang disampaikan. Tetapi yang jelas, pemberitaan yang baik, berkemungkinan untuk menghasilkan pengaruh yang positif. Sebaliknya, pemberitaan yang buruk, akan menghasilkan pengaruh yang negatif. Mengingat pengaruh yang dapat ditimbulkan oleh media ini, pihak-pihak tersebut tentu perlu memiliki sikap bersahabat dengan media.
Satu pengalaman menarik ditunjukkan oleh perusahaan penerbangan Singapore Airlines (SQ). Seperti yang diketahui perusahaan penerbangan Singapore Airlines (SQ) terkenal sebagai perusahaan penerbangan teraman di dunia. Reputasi ini tentu tidak diragukan di dunia penerbangan internasional. Namun suatu kali di penghujung bulan Oktober tahun 2000, perusahaan penerbangan ini mengalami nasib nahas di Taiwan. Pesawat jenis boeing 747 milik SQ jatuh pada saat berusaha lepas landas dalam cuaca buruk. Walaupun tidak sampai menyebabkan korban tewas, namun sedikitnya 30 dari 170 penumpang mengalami luka-luka serius. Kejadian ini tentu mencoreng nama baik dari perusahaan penerbangan yang sudah sekian tahun memiliki reputasi yang baik sebagai penerbangan teraman di dunia internasional.
Menjadi menarik ketika mencermati apa yang dilakukan oleh manajemen pengelola SQ. Sadar bahwa peristiwa ini akan menjadi santapan empuk media dan dapat mengakibatkan reputasi yang semakin buruk bila tidak dikelola dengan baik, para petinggi SQ dengan sigap mengundang wartawan yang diprediksi memiliki ketertarikan tinggi dengan musibah tersebut. Melalui koordinasi yang cepat dengan para pekerja SQ yang berada di Taiwan, para petinggi SQ segera menyampaikan semua informasi yang sekiranya diperlukan oleh para wartawan. Tidak lupa SQ menyampaikan permohonan maaf kepada keluarga korban dan berjanji akan menanggung semua pengobatan dan akomodasi bagi para anggota keluarga yang ingin berangkat ke Taiwan untuk menjenguk keluarga yang mengalami musibah.
Krisis yang dialami SQ akhirnya menjadi berkah bagi SQ karena publik internasional justru semakin bersimpati pada SQ yang dengan sigap menangani musibah tersebut serta tidak lupa untuk meminta maaf. SQ justru semakin dipercaya sebagai perusahaan penerbangan yang memiliki reputasi yang baik. Dan ini semua tentu berkat persahabatan yang baik dengan pihak media. Bila saja, tokoh publik, lembaga profit dan non profit, serta organisasi masyarakat menyadari sepenuhnya pentingnya bersahabat dengan media, seperti apa yang telah dilakukan oleh SQ, tentu ketakutan Napoleon Bonaparte sebagai kaisar Perancis akan ‘kekuatan empat buah suratkabar’ tidak perlu menjadi kenyataan.
*Bonaventura Satya Bharata, SIP, M.Si, dosen Ilmu Komunikasi-FISIP, Universitas Atma Jaya Yogyakarta.