Bernas Jogja, Rabu, 15 Januari 2014
Oleh Olivia Lewi Pramesti
“Opo ora eman dhuitmu, gawe tuku banyu oplosan”. Alunan lagu berjudul Oplosan tak henti-hentinya didendangkan setiap hari di acara Yuk Keep Smile (YKS) TransTV dari pukul 20.00 hingga 23.30. Tak hanya itu, lagu dangdut lain berjudul Kereta Malam, Bukak Sitik Joss, serta Simalakama pun tak luput didendangkan menghibur pemirsa televisi.
Lagu- lagu tersebut tengah naik daun. Penyanyinya memiliki goyangan khas yang tiap harinya dipertontonkan lewat acara YKS. Goyangan yang mengiringi lagu-lagu ini tak pernah absen dalam berbagai acara yang digelar oleh masyarakat (detik.com, 10/1).
Kepopuleran goyangan menjadi andil menaikkan rating acara YKS. Lebih lagi ketika artis papan atas seperti Olga Syahputra, Raffi Ahmad, Deni Cagur, Wendi Cagur, Soimah, Adul, Caisar, dan artis lain tampil mengeluarkan banyolan-banyolan lucu. YKS menjadi idaman masyarakat Indonesia. Berdasarkan data Informasi Daily Rating dan Dunia Pertelevisian Indonesia yang mengutip Forum Lautan Indonesia (9/1/2014), YKS menduduki rating pertama dari berbagai program hiburan dan sinetron seluruh televisi di Indonesia.
Terlepas kontroversinya ada di mana, YKS dinilai tidak memberikan hiburan mendidik. YKS menjadi bukti bahwa budaya massa Indonesia terus berorientasi pada konsep-konsep Barat. Komersial, menghibur, popular, modern, mempunyai audiens luas, dan dapat diperoleh secara demokratis (Kayam, 1997:28)
Mass Culture dan High Culture
Kebudayaan massa atau mass culture adalah istilah Inggris yang berasal dari bahasa Jerman Masse dan Kultur. Mass atau Masse mengacu pada masyarakat Eropa tak terpelajar atau sering disebut kelas menengah bawah. Kebudayaan massa ini merupakan pasangan dari high culture di mana kebudayaan tersebut menjadi milik kaum elite terpelajar dalam masyarakat Barat.
Seiring perkembangan teknologi dan komunikasi, kebudayaan massa tidak menjadi milik kelas menengah bawah semata. Ia membaur dengan kebudayaan elite sehingga muncullah penyeragaman budaya. Pembauran ini tak lain karena perhitungan keuntungan.
Penyeragaman kebudayaan jelas terbingkai dalam acara YKS. Salah satu contoh adalah goyang YKS (caisar, oplosan, simalakama, dsb) yang fenomenal. Goyang ini bermuara pada musik dangdut di mana musik tersebut pada tahun 1950-an dianggap sebagai simbol kaum marginal. Musik ini mengalami masa puncaknya pada tahun 1980-an hingga 1990-an dan bisa diterima semua kalangan masyarakat (nationalgeographic.co.id, 26/4/2012).
Bila dilihat perkembangannya hingga sekarang, musik dangdut masih identik dengan musik kalangan marginal. Kalangan elite Indonesia cenderung menyukai musik-musik modern seperti musik pop, boyband, dan lainnya.
Acara YKS berhasil melakukan penyeragaman ini. Musik dangdut yang dibingkai dengan goyangan energik akhirnya menjadi daya tarik semua kalangan. Setiap hari kita bisa melihat di layar kaca, penonton sangat antusias menarikan goyangan musik dangdut. Tidak ada rasa malu, semua kalangan bercampur menjadi satu dan terlarut dalam hiburan YKS.
Keberhasilan penyeragaman budaya ini tak lain disebabkan kondisi masyarakat massa yang cair. Dari tinjauan historis, masyarakat Indonesia terbentuk dari gelombang migrasi berbagai generasi yang tidak hanya terbentuk dari dinamika industri melainkan dari dinamika birokrasi pemerintahan, unsur non industri, dan lainnya (Kayam, 2007: 33).
Kondisi masyarakat Indonesia yang cair ini membuka peluang pengusaha bidang industri untuk menciptakan produk budaya yang sifatnya komersial dan popular. Hal ini terjadi pada dekade sebelumnya di mana wayang wong sebagai salah satu pertunjukan asli Indonesia diubah menjadi pertunjukan yang lebih popular, singkat, dan menarik. Perubahan tersebut untuk menciptakan kebudayaan yang potensial bagi massa urban.
Selanjutnya, acara YKS memang memang terus berorientasi pada konsep budaya massa Barat. Selain bersifat komersial, popular, modern, memiliki audiens luas, acara YKS diperoleh secara demokratis. Demokratis merujuk pada definisi untuk, oleh, dan dari rakyat.
Dalam acara YKS, masyarakat dapat menyaksikan dengan gratis. Tidak hanya gratis menonton, penonton studio pun secara langsung dapat melihat artis ternama yang mungkin hanya dapat mereka lihat di layar kaca. Lebih lagi, penonton mendapat suguhan hiburan luar biasa. Dari banyolan lucu artis papan atas, goyang bersama artis, permainan hipnotis yang menguak privasi artis, hingga lomba joged yang mendatangkan hadiah uang. Kemasan inilah yang membuktikan acara ini menjadi suguhan yang dekat dengan masyarakat dan berbagai keuntungan dapat diperoleh masyarakat.
Rating dan Keseragaman
Rating sangat berpengaruh dalam kebijakan redaksional televisi. Rating oleh stasiun televisi tidak saja dipandang ukuran keberhasilan atau gengsi, melainkan penentu kelanjutan hidup.
Pernyataan di atas bukan isapan jempol. Melihat acara YKS dan goyang fenomenalnya yang berhasil memperoleh rating urutan teratas, beberapa stasiun televisi mulai mengkonsep acara hiburan dengan model yang sama dengan artis yang sama pula. Audiens banyak, hipnotis disertai curhat artis, banyolan artis, permainan berhadiah, goyang bersama.
Rating akhirnya menjadi acuan stasiun televisi menampilkan acara yang disukai masyarakat. Akibatnya acara hiburan makin tidak mendidik dan seringkali melanggar kode etik penyiaran. Sayangnya produsen televisi tidak begitu menghiraukannya.
Di tengah situasi ini konsumen menjadi pribadi yang benar-benar harus menentukan pilihan. Produk budaya begitu massal disuguhkan dan masyarakat mesti “pandai” menyeleksi.
*Olivia Lewi Pramesti, dosen prodi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta.